08 September 2008

Esia Transfer: Bermula dari Keadaan Darurat

Ketika para operator seluler sibuk menggaet pelanggan dengan iming-iming tarif termurah. Esia justru aktif menjalin keeratan sesama pelanggannya melalui program transfer pulsa. Bagaimana ceritanya?

Tidak banyak memang yang sudah terbiasa dengan program baru berlabel Esia Transfer yang dikeluarkan PT Bakrie Telecom. Tapi, tahukah Anda bahwa ini merupakan salah satu saluran yang digunakan Esia untuk memperluas penyebaran jaringan distribusi yang bersifat direct selling.

“Esia Transfer mulai ada sejak tahun 2006 lalu. Melalui program ini, pelanggan bisa mentransfer pulsa yang dimilikinya kepada pelanggan Esia lainnya tanpa terikat waktu dan lokasi,” ujar Charles Sitorus, Executive Vice President of Sales PT Bakrie Telecom ketika ditemui di Gedung Wisma Bakrie, Jakarta Selatan.

Meskipun bersifat program promo—sama halnya dengan program Untung Pakai Esia seperti menelepon GSM dan jual konten bisa dapat talk time, sebenarnya Esia Transfer juga berfungsi sebagai sarana jualan yang dikemas apik dengan melibatkan partisipasi pelanggannya. Di sini, pelanggan bisa masuk ke dalam sistem distribusi tanpa adanya paksaan dan keharusan tertentu.

Dijelaskan Charles, Esia Transfer hanyalah sebagian kecil dari instrumen distribusi yang diterapkan Esia. Kemunculannya dilatarbelakangi oleh adanya kendala-kendala dari pelanggan yang hendak mendapatkan pulsa. Misalnya, pelanggan tersebut dalam kondisi yang tidak memungkinkan seperti tutupnya outlet di malam hari atau terjebak macet di jalan. “Jadi, pelanggan bisa meminta kepada orang yang dikenalnya untuk mentransfer pulsa. Sistem transaksinya dilakukan di antara mereka sendiri, termasuk cara pembayarannya.”

Penggunaan Esia Transfer ini sederhana saja. Pelanggan cukup mengirimkan short message service (SMS) kepada pelanggan lainnya. Jika pelanggan tersebut mentransfer pulsa, maka si penerima akan mendapat informasi tentang pengisian pulsa yang dapat digunakannya. “Tentu saja ada benefit yang akan diperoleh si pengirim pulsa. Dari Esia berupa bonus talk time, sedangkan dari penerima berupa keuntungan hasil jual pulsanya,” lanjut Charles seraya menuturkan bahwa pihaknya menerapkan konsep win-win dengan pelanggan.

Hanya saja, diakuinya, sistem Esia Transfer masih membutuhkan komunikasi ekstra dalam penetrasi pasar. Untuk memudahkan sosialisasinya, Esia mengadakan campaign dan training di outlet-outlet. Sebab, di benak pelanggan sering muncul pertanyaan mendasar tentang bagaimana tata cara pembayarannya kepada si pemberi pulsa. Karena itulah, penyebarannya hanya terbatas di kalangan teman, rekan kerja, dan keluarga saja. “Sedikit sulit untuk go public,” ungkapnya.

Fenomena transfer pulsa, lanjutnya, di masa mendatang akan meningkat seiring kebutuhan dan gaya hidup masyarakat yang menginginkan kemudahan dalam layanan dan services. Kelebihan dan kekurangannya pun sudah diperhitungkan. Termasuk soal cost yang dirasakan sangat menguntungkan, yakni tidak diperlukan biaya untuk mendirikan outlet baru dan membayar insentif untuk para sales.

Charles optimistis, melalui Esia Transfer tersebut, distribusi memiliki kesempatan untuk memberikan kecepatan layanan kepada pelanggannya. Kini, bisa diibaratkan pelanggan tak perlu susah payah datang ke outlet untuk mendapatkan pulsa. Bagi Esia, tentunya ini bisa menghemat waktu dan tempat. “Sedangkan bagi pelanggan, kami memberikan kesempatan untuk menjalankan usaha dan mendapat penghasilan tambahan,” klaimnya.

Perlu diketahui, Esia memiliki dua sistem distribusi, yakni direct dan indirect selling. Kedua sistem ini punya keunggulan masing-masing. “Tapi, kontribusi yang paling besar tetap berasal dari yang indirect dengan pencapaian angka 90%. Ini mencakup penyebaran wilayah distribusi dan kecepatan memperoleh produk Esia dari gerai ke pelanggan, termasuk services,” tegasnya.

Untuk menunjang penyebaran distribusinya, Esia memiliki total 53 gerai di seluruh Indonesia. Gerai-gerai tersebut bekerja sama dengan distributor setempat untuk memperluas area pemasaran. Disebutkan Charles, di Jakarta saja berjumlah 2.000 outlet yang dipegang satu distributor. Adanya distributor sangat membantu Esia dalam pemasarannya. Hingga kini, Esia sudah merambah ke Jabodetabek, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Makassar, Samarinda, dan lainnya.

Banyaknya gerai yang terus tumbuh selaras dengan meningkatnya jumlah pelanggan Esia. Pada akhir tahun 2005 berjumlah 500 ribu; tahun 2006 mencapai 1,5 juta; dan di penghujung tahun 2007 sekitar 3,8 juta pelanggan. Pencapaian ini didukung sales force yang kompak. Meski enggan menyebutkan jumlah pastinya, ia menjelaskan, tugas sales force secara garis besar adalah memantau situasi harga, ketersediaan produk, dan membantu gerai jika mengalami masalah. “Yang penting jangan sampai kehabisan barang di tiap-tiap gerai, jadi supply barang harus terus dilakukan demi kepuasan pelanggan,” imbuhnya.

Uniknya, Esia belum memiliki patokan baku tentang syarat dan ketentuan mendirikan gerai baru. Tidak ada alasan spesifik mengapa suatu area menjadi pilihan. Bahkan, untuk membaginya secara geografis saja tidak diterapkan. Jumlah pelanggan pun belum tentu jadi ukuran dibukanya gerai tersebut.

“Umpama di Wisma Bakrie ini, hanya dilihat dari strategis eksistensi saja. Tujuannya, hanya ingin mencoba mendekatkan diri dengan gerai-gerai yang ada sehingga lebih efektif dan efisien. Tapi, satu hal, dalam mendirikan gerai baru, patut diperhitungkan potensi pasarnya,” ujarnya.

Diharapkan dengan dibukanya gerai baru di suatu area, mereka bisa memberikan pelayanan kepada pelanggan semaksimal mungkin. Jangan sampai pembukaan gerai baru malah berdampak pada penurunan kualitas pelayanan daripada yang sebelumnya. “Services harus tetap jadi prioritas,” tegasnya.

Ia juga melihat persaingan antara operator seluler semakin panas, plus perang tarif masih berlanjut. Esia pun pasang kuda-kuda. Ia mengatakan, Esia tidak ingin bermain di perang tarif tersebut. “Kami fokus pada kualitas agar perusahaan bisa survive,” ujar Charles menutup pembicaraan.

Fisamawati
Majalah MARKETING

0 komentar:

Posting Komentar