Belajar dari pengalaman pribadi ketika mempunyai anak pertama, Tedriya terinspirasi untuk membuka usaha rental perlengkapan bayi.
“Awalnya saya sempat ragu untuk membuka rental perlengkapan bayi. Maklum saja, selain tidak punya bakat mengelola usaha, rental seperti ini belum marak di kalangan masyarakat khususnya bagi kaum ibu-ibu,” ucap Tedriya mengawali perbicaraan.
Bisa dikatakan usaha yang diberi nama Baby’s World ini adalah pionir di bidang rental perlengkapan khusus untuk bayi dan batita. Saat berdiri tahun 2007 silam, usaha yang banyak menyedot perhatian kalangan pebisnis adalah bisnis franchise. Maka, tak banyak terbersit ide untuk berbisnis rental seperti yang ditekuni Tedriya ini.
Iya—begitu panggilan akrabnya—memulai usaha dari pengalaman pribadinya ketika memiliki anak pertama, Zaki. Untuk menyambut kelahiran sang buah hati, Iya sibuk mengumpulkan benda-benda untuk memberikan “pelayanan” terbaik. Meluapnya kegembiraan tersebut dituangkannya dengan membeli perlengkapan bayi di mal dan toko-toko bayi.
“Belum genap satu tahun, perlengkapan bayi tersebut sudah tidak terpakai dan disimpan di gudang,” ujarnya. Sebab, perkembangan bayi yang tumbuh pesat membuat kegunaan perlengkapan tersebut terasa singkat. Lho, kan bisa disimpan untuk generasi berikutnya? “Pastilah benda tersebut sudah berdebu dan usang. Belum lagi baunya yang apek bisa bikin bayi sesak napas,” lanjutnya.
Faktor di atas bukanlah satu-satunya alasan yang mendorong alumnus Universitas Gunadarma, Depok, ini untuk terjun ke “bisnis langka” tersebut. Pasarnya juga cukup menjanjikan lantaran harga perlengkapan bayi dan pernak-perniknya tergolong mahal. Ini terlihat dari kecenderungan ibu-ibu mengeluh ketika hendak membeli perlengkapan tersebut.
Akhirnya, setelah merasa mantap, Iya mempromosikan rentalnya dengan memasang iklan di sebuah harian lokal. Di samping itu, ia juga gigih menyebarkan brosur-brosur di beberapa rumah sakit dan klinik bersalin—tempat yang efektif untuk berpromosi. Dari situlah pesanan mulai berdatangan satu per satu. “Jadi above the line dan below the line sama-sama memberikan hasil,” katanya.
Diceritakannya, waktu itu perlengkapan bayi yang tersedia cuma boks tempat tidur yang terdiri dari kasur, guling, kelambu, bantal, mainan gantung, music box, dan bed cover. Ditambah stroller, baby walker, dan carseat. Itu pun jumlahnya tak memadai alias terbatas, hingga terkadang pesanan bersifat “waiting list”.
“Tapi, sekarang sudah mengalami kemajuan yang signifikan. Sedikit demi sedikit, saya menambahkan jumlah barang dengan beberapa model sehingga customer bisa memilih model yang pas dengan dekorasi kamarnya. Kalau ditotal, seluruhnya kini berjumlah 100 item plus berbagai macam perlengkapannya,” jelas Iya.
Kendala utama yang dirasakannya adalah masalah transportasi. Keterbatasan armada untuk pengantaran barang menghambat sistem distribusi ke pelanggan. Tak jarang, Iya harus menjelaskan kepada pelanggan untuk sabar menunggu pesanan diantar hingga hari Sabtu dan Minggu—sesuai dengan jadwal hari libur kerja sang suami.
Untuk mempertahankan usaha yang bermodal awal Rp 15.000.000 ini, Iya menjunjung tinggi nilai kepercayaan dan kejujuran pelanggan. Menurutnya, ini penting mengingat kelanggengan usahanya terletak pada nilai tersebut. “Maka untuk menjaga hubungan itu, dibuatlah perjanjian antara saya dan customers dengan melampirkan fotokopi KTP, rekening telepon, dan rekening listrik,” imbuhnya.
Profesionalismenya juga dapat dilihat dari ketentuan-ketentuan yang diterapkan Baby’s World. Misalnya, Iya membuat ketentuan penyewaan minimal selama dua bulan dengan sistem pembayaran di muka. Kalau terjadi kerusakan barang oleh pelanggan, maka dikenakan denda yang berkisar antara Rp 3.000 hingga Rp 5.000.
“Saya pun memberikan services kepada customer dengan mengantarkan barang pesanan sampai ke rumahnya. Ini untuk memudahkan pengiriman, karena umumnya perlengkapan yang disewa berukuran besar dan terkadang tidak bisa dibongkar-pasang,” akunya sambil menunjuk boks tempat tidur kayu sebagai contoh.
Alhasil, kini nama Baby’s World sudah merambah pasar lokal maupun luar daerah seperti kawasan Bogor, Pamulang, Bumi Serpong Damai, Lemah Abang, dan Cibitung. Diakuinya, pesanan lebih banyak berasal dari luar kota ketimbang dari wilayah Depok dan sekitarnya. Mereka datang dengan alasan, penyewaan di daerah mereka tergolong mahal dan prosedurnya sulit.
Baby’s World sendiri memasang tarif yang lebih terjangkau untuk kalangan menengah ke bawah, pun lebih murah dibandingkan kompetitor. Sebagai gambaran, untuk kurun waktu sebulan, harga sewa boks tempat tidur berkisar Rp 30.000–90.000; stroller Rp 20.000–40.000; carseat Rp 50.000–80.000; dan baby walker Rp 13.000–23.000.
Ditambahkannya, khusus di kawasan Jakarta dan sekitarnya, masih jarang pemain yang bergelut di bisnis rental perlengkapan bayi. Kalau pun ada, kompetitor itu pasti berasal di luar kota. Tetapi, ada beberapa dari mereka yang berkonsultasi kepadanya mengenai tata cara mengelola rental, biasanya dari segi manajemen. “Jadi, masih banyak peluang untuk bisnis babies market seperti ini,” ucapnya optimistis.(fis)
Majalah MARKETING
29 Agustus 2008
Mencuri Celah di Babies Market
Lomba Rakit Olympic Khusus Jurnalis
Dalam rangka memperingati Hari Kartini dan memberikan experiential marketing kepada pelanggan, Olympic menyelenggarakan lomba gemar merakit khusus untuk para jurnalis. Acara yang berlangsung di Makro Store Kelapa Gading, Jakarta Timur, ini merupakan bagian dari rangkaian lomba sebelumnya, yakni lomba merakit khusus selebriti, anak-anak, dan wanita.
Pada kesempatan yang sama, Olympic juga telah meresmikan Olympic Funiture Centre (OFC) yang berlokasi Makro Store Pasar Rebo dan Makro Store Alam Sutera. “Ini merupakan bukti nyata hasil kerja sama antara PT Cahaya Sakti Multi Intraco dengan PT Makro Indonesia yang terjalin dengan baik dan akan ditingkatkan ke depannya,” kata Jacky Handoko, Chief Operating Officer Olympic.
Ditambahkannya, tujuan keberadaan OFC semata-mata untuk memberikan kemudahan bagi konsumen setia Makro dan masyarakat pada umumnya. Jenis produk-produk furnitur Olympic yang tersedia antara lain office furniture, kamar set, ruang tamu, ruang dapur, dan lainnya. “Semoga berdirinya OFC bisa menjadi solusi tepat untuk mengisi rumah maupun kantor dengan pelayanan mudah dan cepat,” ujarnya.(fis)
Majalah MARKETING
Kampanye Kotex “Be You”
PT Kimberly-Clark Indonesia meluncurkan kampanye bagi remaja putri bertajuk Kotex “Be You”. Ajang ini diharapkan menjadi sarana bagi remaja puteri dalam mengapresiasikan diri agar berani menunjukkan jati diri dan potensi yang unik dan khas.
“Kotex mengajak para remaja putri Indonesia untuk tidak berhenti mengekspresikan jati diri serta berani menyuarakan apa yang menjadi aspirasi mereka. Apresiasi ini Kotex berikan dalam rangka mencari sosok remaja puteri yang memiliki karakter smart, bold dan daring,” kata Andy Iskandar, Marketing Manager Feminine Care PT Kimberly-Clark Indonesia.
Dalam ajang ini, Kotex akan menggelar roadshow di empat kota besar di Pulau Jawa, yakni Jakarta, Bandung, Yogyakarta dan Surabaya. Serangkaian tahap audisi dan berbagai tes harus dilalui oleh para peserta untuk masuk menjadi 20 finalis. Selanjutnya diadakan proses karantina untuk memilih pemenang Kotex ‘“Be You”.
Acara yang berlangsung di EX Plaza Indonesia, Jakarta, ini dihadiri Dina Olivia sebagai Kotex Brand Ambassador, pakar psikologi remaja Roslina Verauli, dan dipandu oleh Sarah Sechan. Bersamaan dengan kampanye tersebut, Kotex secara resmi juga meluncurkan website www.beyoucomer.com yang ditujukan untuk memberikan fasilitas dalam mencari informasi seputar dunia remaja.(fis)
Majalah MARKETING
Tupperware Gelar CHC 2008
Sebagai perwujudan dari visi Tupperware peduli kepada perempuan dan anak-anak, khususnya untuk program Tupperware Children’s Fund, Tupperware Indonesia kembali menyelenggarakan program Children Helping Children (CHC) 2008.
Acara yang berlangsung di Rumah Kaca Taman Menteng, Jakarta Pusat ini, merupakan program edukasi berupa lomba mengarang tingkat SD, SMP dan SMA bertema “Kepedulian saya kepada teman-teman yang kurang beruntung”.
Setiap satu buah karya yang dikirimkan oleh masing-masing peserta, Tupperware Indonesia akan menyumbangkan Rp 10.000 atas nama mereka ke program Tupperware Children’s Fund , untuk kemudian disalurkan kepada anak-anak yang kurang beruntung agar mereka dapat bersekolah kembali. Tampak dalam gambar beberapa pemenang CHC 2007 berfoto bersama juri program CHC 2008.(fis)
Majalah MARKETING
28 Agustus 2008
Dove Kukuhkan 3 Brand Ambassador
Minggu keempat Juli 2008, di Four Season Hotel, Jakarta, Unilever Indonesia mengumumkan pemenang Dove Moment of Truth. Ada tiga pemenang, mereka antara lain Rizka Ambadar, Ananda, dan Fransisca Rathy. Ketiga pemenang akan menjadi brand ambassador Dove yang baru, melengkapi Terry Putri dan Fiantika Ambadar.
Sebagai brand ambassador, ketiga pemenang terpilih akan menjadi bintang iklan shampo Dove selama satu tahun. “Diharapkan mereka mampu menyuarakan semangat Dove for real beauty kepada perempuan Indonesia lainnya,” kata Tia Bahrawi, Brand Manager Dove.
Melalui kampanye Dove Moment of Truth ini, shampo Dove ingin mengukuhkan positioning-nya sebagai spesialis perawatan rambut rusak (hair damage care expert) dengan mengganti seperempat moisturizing cream menjadi rangkaian repair serum.(fis)
Majalah MARKETING Agustus 2008
Agus Prajitno Wirawan: Tak Perlu Pilih Peran Lagi
Ibarat tokoh pewayangan, peran Agus Prajitno Wirawan, Marketing Division Head & Operational Manager JKI Auto2000, kini sudah tergambar jelas. Sepak terjang kariernya di PT Astra International menuntutnya bergerak cepat.
“Dalam kurun waktu tahun 1996 sampai 2002, saya sudah ‘keluar-masuk’ di Astra. Setiap jenjang karier sudah saya coba, termasuk salesman hingga kepala cabang. Waktu itu, saya dipercaya sebagai kepala cabang Bekasi, lalu Tebet, Bintaro, Juanda, Garuda, Cilandak, Radio Dalam, Sudirman, dan Ambassador,” kata pria kelahiran 21 Agustus 1970 ini.
Diungkapkannya, perpindahan dalam berkarier tidak dirasakan sebagai beban. Justru, Agus sangat bersyukur. Sebab, dari situ ia bisa bergerak bebas untuk mengembangkan perusahaan, bertambah pengalaman, wawasan, dan teman. Meski harus pindah-pindah, ia juga tak kesulitan beradaptasi.
“Karena masih dalam naungan perusahaan yang sama, perannya pun sama. Apalagi, saya masih di area Jakarta, di mana karakteristik customer masih di level yang sama. Beda jika ditempatkan di daerah, mungkin butuh adaptasi lagi. Bagi saya ini adalah tantangan,” ujar alumnus Unika Atma Jaya Jakarta ini.
Pemegang falsafah “Hidup ini penuh perjuangan” ini sempat mengecap getirnya mencari uang. Dulu, ketika jadi salesman, ia pernah diusir sewaktu hendak menawarkan produk. Tapi, kejadian tersebut ia maknai sebagai tahapan yang mesti dilewati. Agus terus menyemangati diri hingga meraih predikat “top sales“ untuk penjualan mobil Kijang. “Peran keluarga pun memotivasi saya untuk selalu menjadi yang terbaik,” aku pehobi traveling ini.(fis)
Majalah MARKETING
Apoteknya Terus Menggurita
Apotek K-24 sukses mewaralabakan retail khusus obat-obatan. Jumlah gerainya kini lebih dari 75 buah. Apa resepnya?
Di antara pembaca pasti ada yang pernah kesulitan membeli obat saat larut malam, terlebih ketika hari libur. Pasalnya, apotek-apotek di sekeliling sudah tutup. Padahal, kebutuhan konsumen akan layanan apotek tidak kenal waktu. Kapan saja orang bisa sakit dan butuh obat.
Pengalaman pribadi seperti inilah yang mengilhami Gideon Hartono mendirikan Apotek K-24. “Karena itu, saya terdorong untuk membuka usaha apotek yang buka 24 jam nonstop,” kata Direktur Utama PT K-24 Indonesia ini. Berdiri sejak 24 Oktober 2002, apotek ini merupakan apotek jaringan pertama yang buka nonstop setiap hari. Nama Apotek K-24 sendiri memiliki dua makna: “K” berarti komplet, dan “24” berarti 24 jam. Artinya, selain komplet obatnya dan apotek ini dapat diakses selama 24 jam.
Meskipun juga beroperasi malam hari, terang Gideon, harga yang ditawarkan merupakan “harga normal”. Tidak ada perbedaan harga antara pagi, siang, malam, bahkan hari libur. Ini merupakan bentuk penjabaran visi dari Apotek K-24 yang ingin memberikan pelayanan kepada masyarakat yang membutuhkan obat.
Selain menjual obat resep atau racikan, Apotek K-24 juga menyediakan obat tanpa resep dokter. Kelengkapan tersebut ditambah dengan obat pendukung seperti multivitamin, food supplement, alat kesehatan, bahkan produk non-obat seperti susu dan bubur bayi. Setiap gerai Apotek K-24 menyediakan obat sebanyak 6.000 item. Sedangkan apotek lain, menurutnya, biasanya cuma menyediakan sekitar 2.000-3.000 item obat.
“Ketika membeli obat di sini pun tak perlu merasa takut karena sudah ada jaminan keasliannya. Maklum saja, sekarang ini banyak obat palsu yang beredar di masyarakat, jadi harus hati-hati membeli,” imbuh Gideon. Ia mengaku hanya ingin membeli obat dari distributor resmi atau obat yang ada fakturnya.
Sebenarnya, banyak yang menawarkan obat ilegal dengan harga sangat murah, tapi ia tidak mau karena asal usulnya tidak jelas. Gideon pun menyatakan cuma mengambil margin 17-25% dari obat yang dijualnya, meski dari pihak distributor ada peluang mendapatkan laba 20-40%.
Menariknya, dari segi pelayanan juga tergolong bagus. Apotek K-24 tersohor dengan kualitas service yang prima. Selain menerapkan budaya kerja dalam melayani konsumen, mereka juga punya ruang khusus yang dinamakan pojok konsultasi. Konsumen pun diberi kemudahan dengan adanya layanan delivery order. Bagi konsumen yang membutuhkan obat namun tidak bisa datang, layanan ini dapat dimanfaatkan.
Apotek yang logonya didominasi warna hijau, merah dan kuning ini buka pertama kali di daerah Yogyakarta. Lantaran sambutan masyarakat setempat sangat bagus, Gideon lantas memutuskan untuk membuka gerai berikutnya. Tepat pada 23 Maret 2003, gerai kedua resmi dibuka di daerah Gejayan. Disusul gerai selanjutnya di Gondomanan dan kota Semarang.
Saat ini, Apotek K-24 telah menggurita hingga berjumlah lebih dari 75 gerai. Lokasinya tersebar di Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Jakarta, Bogor, Tangerang, Depok, Bekasi, Bandung, Cilacap, Kudus, Pati, Ungaran, Kediri, dan Bondowoso. Bahkan di luar Pulau Jawa juga ada, yakni di Medan, Palembang, Kupang, dan Bali. “Di antara semua gerai tersebut, tujuh di antaranya adalah company own dan sisanya milik franchisee,” ujar Gideon antusias.
Rupanya, melihat peluang bisnis yang terbuka lebar, sejak 2005 Gideon mulai menawarkan sistem waralaba. Dipaparkannya, sistem jaringan waralaba ini membuka kesempatan bagi orang yang ingin memiliki usaha apotek, meskipun tidak punya background atau pengalaman di bidang farmasi. Pasalnya, para franchisee yang merupakan active investor tersebut akan mendapat pelajaran sebagai “pengusaha apotek” (ada transfer of knowledge).
Dengan membayar Rp 60 juta untuk masa waralaba 6 tahun, lanjut Gideon, para franchisee akan memperoleh sederet benefit. Antara lain cara meminimalkan risiko kegagalan; penggunaan brand Apotek K-24; berbagai support seperti perekrutan apoteker dan asisten apoteker, pelatihan awal, pendampingan praoperasional hingga soft opening, termasuk pula stok obat awal dan sistem IT, penggunaan franchise operational manual dan dukungan promosi bersama. “Investasi akan balik modal (break event point) kurang dari tahun ketiga, apabila target omzet terpenuhi,” klaim Gideon yang mengaku mendapat omzet 250-300 juta per gerai.
Ditegaskannya, apotek adalah usaha jangka panjang yang sudah ada sejak dulu. Artinya, bukan bisnis musiman yang kadang terpengaruh tren tertentu. Baginya, apotek selalu menjadi tempat pemenuhan “kebutuhan primer”—setelah pangan. Terbukti, usaha miliknya bisa bertahan, meski terjadi krisis ekonomi.
Pastinya, upaya mendekatkan diri dengan konsumen juga tidak dilupakan. Gideon memaparkan, kegiatan promosi yang dilakukan sering kali berkaitan erat dengan acara bakti sosial kemasyarakatan. “Kami sudah menerapkan program Corporate Social Responsibility sebagai bagian dari budaya perusahaan, sekaligus upaya promosi dan marketing brand Apotek K-24 dalam skala nasional,” ujarnya.
Berbagai kegiatan lain pun dilakukan. Tahun 2006, mereka memberikan bantuan peduli gempa Yogyakarta, lalu pemeriksaan dan pengobatan gratis bagi korban banjir di Jakarta tahun 2007. Kegiatan semacam ini menjadi agenda rutin dalam setiap pembukaan Apotek K-24. Begitu pula dengan perayaan hari besar, apotek ini turut aktif mengadakan event seperti Tahun Baru, Natal, dan Idul Fitri.
“Untuk materi promosi, biasanya kami menggunakan brosur, spanduk, banner, gimmick, dan beberapa aksesoris lainnya. Promosi Apotek K-24 juga bisa dilakukan dengan cara menginformasikan melalui media massa, baik cetak maupun elektronik,” tambahnya.
Peraih penghargaan MURI kategori “Apotek Jaringan Pertama yang Buka 24 Jam Nonstop Setiap Hari” dan “Apotek Asli Indonesia yang Pertama Diwaralabakan” ini, rencananya akan terus membuka gerai baru. Wilayah selanjutnya adalah Aceh, Batam, Lampung, Jambi, Balikpapan, Palangkaraya, Makassar, Atambua, dan Maumere—Flores, Nusa Tenggara Timur.
Pihak manajemen perusahaan menetapkan, tahun 2010 mereka bisa mencapai target 500 gerai yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. “Target ini akan tercapai dengan mengajak para mitra usaha untuk ikut bergabung menjadi Keluarga Besar Apotek K-24. Percepatan pertumbuhan sangat memungkinkan karena K-24 memiliki panduan pendirian dan pengoperasian gerai,” ujarnya mengakhiri perbincangan.(fis)
Majalah MARKETING
Maudy Koesnaedi: Plus-Minus Jadi Bintang Iklan
Sejak awal kemunculannya di dunia entertain saat membintangi sinetron Si Doel Anak Sekolahan sebagai Zaenab, satu ciri khas Maudy Koesnadi adalah rambut hitam panjang terurai. Sampai sekarang pun ia tetap begitu. Hanya saja sedikit beda. Kalau dulu lurus hitam, kini pakai poni dan diwarnai.
“Saya sempat berpikir untuk memangkas rambut lebih pendek lagi agar terkesan praktis,” kata pemilik nama lengkap Maudy Kusnaria Koesnaedi ini. Namun, keinginan tersebut harus ia pendam sementara waktu. Alasannya sederhana, demi image Kerastase—sebuah merek perawatan rambut dari Paris yang diendorsenya.
Ketika ditemui di Atrium Mal Taman Anggrek dalam acara talkshow produk nutrisi bayi, istri Erik Meijer ini tengah menikmati tugasnya sebagai moderator. “Pastinya, pekerjaan moderator lebih enak dibandingkan iklan. Selain pundi yang didapat lebih besar, bisa juga menambah pengetahuan, wawasan, dan berbagi pengalaman,” ungkap wanita kelahiran Jakarta, 8 April 1975 ini.
Minat Maudy langsung terpancar jika acara yang ditawarkan kepadanya menyangkut dunia anak-anak. Ibu dari Eddy Malik Meijer ini tampak sangat peduli akan tumbuh kembang anak semata wayangnya. “Bahkan, ketika ada tawaran dari salah satu produk untuk ibu menyusui, saya ajak Eddy untuk jadi bintangnya,” papar None Jakarta tahun 1993 ini.
Di sisi lain, bintang iklan kecap Sedaap ini pun menambahkan, kelebihan yang didapat dari iklan adalah kelancaran pasokan produk yang dibintanginya. Selama masih terikat kontrak, ia tak perlu mengeluarkan uang untuk mendapatkan produk tersebut. Namun, ketika disinggung kecap merek apa yang dipakai sebelumnya, Maudy enggan menyebutkan. “Pastinya, saya menggunakan produk yang saya iklankan karena mendapat kiriman dari produsennya langsung,” tandasnya.(fis)
Majalah MARKETING
Cara Lain Menjual “Kenangan”
Konsep Hall of Fame yang diadopsi 3D Baby Prints ternyata mampu mendulang untung. Bagaimana upaya sang pemilik merintis bisnis ini?
Rasanya, sudah banyak pengusaha yang bergelut di bisnis pernak-pernik bayi. Ada yang dibuat secara massal, ada pula yang handmade. Namun, sesaknya pemain di segmen bayi ini tidak menyurutkan niat Henny Tan untuk ikut mencicipi renyahnya bisnis tersebut.
Di bawah bendera PT Tatacipta Mega Pelangi, Henny menjalankan bisnis berlabel 3D Baby Prints. Perusahaan yang berdiri tahun 2006 lalu ini mengkhususkan diri pada pembuatan replika kaki, tangan, maupun anggota tubuh lainnya—sesuai permintaan pelanggan.
“Terinspirasi dari para orangtua yang ingin mengenang masa indah saat bayi mereka lahir, betapa mungil tangan dan kaki mereka, maka saya membuat produk replika ini,” katanya. Bayi memang tumbuh terlalu cepat. Oleh karena itu, Henny menawarkan produk yang membuat momen indah itu dapat dikenang seumur hidup.
Sebenarnya, produk replika semacam ini sudah marak di luar negeri, salah satunya Amerika Serikat (AS). Di Indonesia sendiri, pemainnya tergolong langka. Hampir dipastikan jumlahnya bisa dihitung dengan jari karena tidak terdengar sepak terjangnya. “Tahun 1996, ada beberapa pemain, tetapi pasarnya tidak meluas. Hanya terfokus di Jakarta saja,” ungkapnya.
Henny pun memutuskan untuk melebarkan sayap bisnisnya hingga ke luar kota. Sayang, keinginannya tak semudah membalikkan telapak tangan. “Untuk membuat satu pesanan replika, saya harus datang ke customer guna proses pencetakan bentuk. Apalagi, pembuatannya sangat tergantung pada mood sang bayi agar hasilnya sesuai keinginan,” tambahnya.
Kalau sudah begitu, bisa dibayangkan berapa budget yang harus dikeluarkannya untuk menyambangi pelanggan di daerah. Maka, satu strategi jitu ditempuhnya, yakni membuat konsep waralaba. Tepat tahun 2008, waralaba miliknya resmi diluncurkan. Dijelaskannya, sistem ini sangat membantunya menggulirkan roda bisnis, yang semula cuma dijalankan oleh tiga orang.
Kini gerai 3D Baby Prints sudah bisa ditemui di Solo, Surabaya, Malang, Semarang, Manado, Riau, Medan, Bali, Makassar, dan Balikpapan. Namun, satu daerah tidak boleh dipegang lebih dari satu franchisee. Tujuannya agar tidak terjadi bentrokan. Tempat usaha yang digunakan bisa berbentuk rumah, toko ataupun outlet di dalam mal. “Jadi, tidak ada kendala dalam pemilihan lokasi penjualan. Yang terpenting adalah sistem jaringan penjualan,” tegasnya.
Untuk menjadi franchisee, harga yang ditetapkan terdiri dari tiga pilihan: Rp 38 juta, Rp 58 juta, dan 138 juta untuk masa 5 tahun. Selain mendapat suplai bahan dasar pembuatan replika, juga diberikan training cara pembuatan replika selama 3 hari, selanjutnya diinformasikan lewat e-mail.
Produk-produk 3D Baby Prints terbagi dalam beberapa kategori. Harga yang dipatok berbeda untuk skala usia yang dimulai dari nol hingga 8 tahun. Sebagai informasi, pemesanan 1 pieces tangan bayi berusia nol sampai 3 bulan seharga Rp 149 ribu; 4-12 bulan Rp 199 ribu; 13-24 bulan Rp 249 ribu; 25-36 bulan Rp 299 ribu; 3-5 tahun Rp 399 ribu; dan usia 6-8 tahun seharga Rp 399 ribu. Harga tersebut belum termasuk frame, panel kayu maupun plakat nama. Selain itu, masih dibagi lagi menurut jumlah pieces yang dipesan yakni 1 pieces tangan/kaki, 2 pieces tangan/kaki, serta 4 pieces berupa 2 tangan dan 2 kaki.
“Memang harga yang ditawarkan terkesan mahal. Tetapi, saya menilai produk ini adalah karya seni dan dibuat secara handmade. Jadi, wajar saja harganya seperti itu. Di samping itu, pengukuran harga juga dipengaruhi oleh human resource,” ujarnya.
Yang jelas, produk ini didesain khusus untuk setiap pelanggan. Hasil satu desain berbeda dengan desain lainnya. Jadi, sifatnya eksklusif. Menurutnya, bahan yang digunakan pun berkualitas tinggi. Bahan tersebut tidak berbahaya bagi bayi karena terbuat dari rumput laut yang berasal dari AS. Kelebihan lainnya, obyek replika bisa diraba secara utuh lantaran diabadikan dalam bentuk tiga dimensi.
Ditegaskan Henny, target market-nya tak sebatas kalangan menengah ke atas saja, masyarakat menengah ke bawah juga banyak yang memesan. Apalagi replika yang dibuatnya bukanlah barang yang mengikuti tren pasar. Siapa saja bisa menikmati produk ini selama orang tersebut menyukai karya seni—apa pun bentuknya.
Oleh karena itu, ia tak sungkan-sungkan menawarkan kerja sama dengan beberapa rumah sakit dan toko yang khusus menjual pernak-pernik bayi. Sejauh ini, sudah ada 4 rumah sakit yang menjadi mitranya, 2 di Solo dan 2 lagi di Medan. Di luar itu, ada beberapa data mitra lainnya yang belum masuk ke laporannya karena jumlahnya kian menumpuk.
Untuk promosi, 3D Baby Prints menggunakan jalur above the line dan below the line. Hal pertama yang dilakukan Henny adalah mengikuti pameran-pameran di beberapa mal untuk menarik calon pembeli. Kegiatan tersebut diselenggarakan secara kontinu sebulan sekali. Satu pameran mampu membukukan hingga 100 order. Ia pun mengandalkan word of mouth dalam strategi marketingnya.
“Sekarang saya juga mulai memasang iklan di beberapa media massa untuk menjaring pasar yang lebih luas lagi. Materi iklan ini tak hanya difokuskan pada produk bayi saja, tapi juga dewasa seperti replika wedding. Istilahnya, menggarap pasar family,” ujarnya.
Diceritakannya, selama menggeluti bisnis replika, ia hampir tak pernah mengalami kendala. Selain minimnya jumlah kompetitor, omzet yang didapat pun cukup menggiurkan. Jika mampu menjual 30 pieces sebulan, maka rata-rata laba yang bisa diraup mencapai Rp 5-6 juta per bulan. Hanya saja, kesulitan terletak pada bahan yang mudah pecah sehingga harus berhati-hati saat melakukan finishing.
Lantas, bagaimana prospek bisnis replika ini ke depannya? “Bisnis ini akan terus berjalan selama masih ada bayi yang lahir. Juga selama masih ada orang yang menyukai karya seni atau ingin mengabadikan momen,” pungkasnya optimistis.(fis)
Majalah MARKETING
Kuasai Pasar dengan 7 Langkah
Bagi Asaba, menggarap pasar B2B tidaklah mudah. Butuh strategi jitu memenangkan pasar. Tujuh langkah pun diterapkan. Seperti apa?
Persaingan di bisnis perlengkapan kantor tidak bisa dikatakan sepele. Kendati jumlah pemainnya tidak terlalu banyak, tapi persaingan di antara para pemain tergolong ketat. Begitulah situasi yang dihadapi Asaba saat ini. “Beruntung kami merupakan perusahaan utama di bidang ini, jadi tak perlu khawatir,” kata Irene Sugiarto, Product Manager PT Asaba.
Sekadar informasi, Asaba Group terbentuk pada 11 Mei 1974, namun mereka sudah mendistribusikan alat-alat kebutuhan kantor sejak tahun 1962. Perusahaan ini sekarang telah menjema menjadi perusahaan yang memiliki reputasi terbaik di bidangnya dengan menonjolkan keunggulan berbisnisnya, yaitu di alat-alat kantor.
Asaba Gruop terdiri dari lima divisi, yaitu: office equipment and stationery, information technology, manufacturing, distribution, dan food industry. Yang mereka pasarkan cukup beraneka ragam, utamanya alat-alat kantor seperti pensil Staedler, pulpen Zebra, staples Max. Termasuk pula menyediakan mesin fotokopi, layanan jasa komputer, serta ritel.
Sementara itu, PT Asaba—anggota Asaba Group—terus bertumbuh seiring waktu. Dari semula hanya menyediakan alat-alat perkantoran, kini mereka menjadi pemain yang berpengaruh di bisnis kebutuhan kantor, manajemen data, sistem keamanan, sistem survei, dan sebagainya.
Di divisi peralatan kantor, jelas butuh teknik tersendiri dalam memasarkan produk. Maklum, karakteristik produk dan target pasarnya berbeda dari produk massal lainnya. Dari segi target market, misalnya, Asaba menggarap segmen korporat atau pasar Business-to-Business (B2B). Untuk itu, mereka membangun jaringan pemasaran yang efisien di beberapa kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Medan, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, dan Balikpapan.
“Biasanya, segmen yang menjadi fokus pemasaran kami adalah kalangan menengah ke atas. Jadi, untuk bisa masuk, harus melalui orang dalam yang mempunyai pengaruh di perusahaan tersebut, misalnya langsung ke jajaran direktur. Oleh karena itu, agar berhasil, dibutuhkan pendekatan pemasaran yang khusus guna meyakinkan mereka akan kualitas produk yang ditawarkan,” ungkap Irene. Merek produk yang dipasarkan di sini antara lain Ibico, Dahle, Kobra, Uchida, KW Trio, dan Deli.
Dalam menggarap B2B, lanjut Irene, Asaba menerapkan tujuh langkah, antara lain melakukan branding the people, brand architecture, audience identification, brand positioning, brand personality, dan konsisten. Dipaparkan Irene, faktor-faktor ini penting jika dilihat dari perbedaan pasar B2B dengan B2C, di mana para karyawan harus bisa mempresentasikan brand promise-nya. Kemudian, dari situlah brand Asaba bisa digaungkan.
PT Asaba pun gencar melakukan komunikasi terhadap para karyawannya. Di benak karyawan, harus tertanam pemahaman bahwa produk Asaba merupakan produk yang unik. Jika dalam diri karyawan sudah ada pemahaman itu, maka secara tidak langsung mereka akan “menularkannya” pada pelanggan yang ditemui. “Ini pun didukung dengan langkah brand personality, di mana kepribadian karyawan bisa mempengaruhi citra produk dan perusahaan,” ujarnya.
Dilanjutkan Irene, langkah lainnya adalah melakukan identifikasi terhadap pelanggan. Hasil identifikasi berhubungan langsung dengan positioning yang dimiliki Asaba. Tentunya, ini harus diimbangi dengan konsistensi awal saat memulai kerja sama dengan pihak lain. “Jangan sampai, pelayanan yang kita janjikan pertama kali tidak dilakukan pada proses berikutnya. Ini bisa membuat customer menjadi kecewa, terutama dari segi kualitas produk,” tegasnya.
Ia pun tak memungkiri, sejumlah perusahaan yang menggarap pasar B2B, sering kali mengabaikan arsitektur merek (brand architecture). Apalagi, perusahaan ini mengeluarkan bermacam-macam merek sehingga perlu ada sinergi antara merek satu dengan yang lain. Baginya, arsitektur merek sangat penting guna menjaga citra perusahaan secara global.
“Oleh karena itu, sebelum fokus terjun ke segmen B2B, perlu dilakukan pemisahan kategori untuk segmen yang akan dituju dengan membuat cluster-nya. Ini bisa dilakukan dari database yang ada, sehingga tahu target customer-nya. Setiap waktu, Asaba selalu memperbaharui database pelanggan, mana yang potensial dan tidak,” jelasnya.
Guna melebarkan sayap, imbuh Irene, Asaba mulai merambah ke mesin cetak digital dengan memanfaatkan jaringan yang ada dan para pelanggan. Dari data yang diperoleh, tingkat penjualan di segmen B2B saja bisa mencapai 60%. “Perbedaan kualitas produk Asaba jauh lebih baik dibandingkan kompetitor. Untuk disebut kompetitor pun (mereka) tidak bisa, karena beda level,” klaim Irene.
Ini pulalah yang membuat Asaba tertarik untuk bermain di segmen B2B. Salah satu alasan Asaba lebih fokus di pasar B2B karena adanya perbedaan pemikiran antarsegmen—khususnya dengan segmen eceran. “Segmen eceran masih menggunakan pemikiran tradisional. Lagi pula, untuk ke depannya pasar B2B jauh lebih bagus,” tambahnya.
Diceritakan Irene, lazimnya untuk mencapai kesepakatan bisnis antara kedua belah pihak, pihaknya harus melewati beberapa tahapan proses seperti pengajuan proposal, presentasi, dan transaksi. Namun, setiap pelanggan memiliki karakter yang berbeda-beda dalam memilih dan membeli produk kebutuhan kantornya. Ada yang menginginkan kualitas, ada juga yang mengedepankan harga murah. “Pintar-pintar sales force-nya saja mengambil hati customer. Maka, kami pun membekali mereka dengan product knowledge. Termasuk strategi dalam memberikan diskon dan jaminan,” ujarnya.
Asaba sendiri pun terbilang royal dalam memperlakukan pelanggannya. Momen-momen istimewa seperti Tahun Baru, Natal, dan Idul Fitri selalu mereka manfaatkan untuk mempererat hubungan kerja sama. Belum lagi pemberian spesial gift bagi customer yang membeli produk dalam jumlah banyak disertai service.
Dengan segala upaya di atas, tidak mengherankan jika pertumbuhan bisnis Asaba dari tahun ke tahun terus meningkat. Setiap hari selalu saja ada transaksi penjualan yang menggelembungkan omzet perusahaan.
Irene menuturkan, kiatnya dimulai dari pengembangan sumber daya manusianya lebih dulu, baru kemudian bisa mengetahui karakteristik dan permintaan customer terhadap produk Asaba. “Dan satu hal yang penting, selalu adakan evaluasi berkala untuk mengontrol kinerja yang telah dilakukan,” tandasnya.(fis)
Majalah MARKETING Agustus 2008