03 September 2008

Mira Lesmana: Dari Semangat Timbul Sinergi

Semula Mira hanya ingin menciptakan “sebuah ruang” komunikasi dengan Miles Film Productions. Nyatanya, kini ia sudah menorehkan segudang prestasi, baik dalam karya maupun dalam membesarkan nama perusahaannya.

Nekat. Itulah kata yang mewakili sejarah perjalanan produser Mira Lesmana dalam membuat film. Pasalnya, waktu itu banyak aturan perfilman yang ia langgar. Sebut saja ketentuan bagi produser, yang diharuskan menjadi anggota PPFI (Persatuan Produser Film Indonesia). Dan juga ketentuan bagi sutradara, yang minimal harus sudah menjadi asisten sutradara sebanyak empat kali.

Sedikit menengok ke belakang, awal karier Mira dimulai di perusahaan periklanan Citra Lintas. Saat itu ia menjabat sebagai asisten produser dan merambah naik ke tingkat produser setelah empat tahun bergabung. Pada tahun 1992, ia memutuskan keluar dan bergabung dengan perusahaan periklanan Katena. Di tempat barunya, ia banyak belajar dan bekerja sama dengan ahli periklanan dari luar negeri seperti dari Amerika Serikat, Inggris, dan Australia.

Kendati hanya dua tahun bergabung dengan Katena, Mira banyak menyerap ilmu bisnis periklanan. Ia jadi tahu berapa biaya anggaran untuk produksi sebuah iklan. “Tahun 1996, saya mendirikan rumah produksi bernama Miles Film Productions. Menurutnya, Miles memiliki banyak arti. Pertama, akronim dari nama saya. Kedua, nama yang diambil dari Miles Davis. Terakhir, diartikan sebuah perjalanan panjang,” kata istri aktor Mathias Muchus ini.

Niat mendirikan rumah produksi ternyata mendapat dukungan dari orang sekitarnya. Sampailah Mira mendapat tawaran dari Alex Kumara untuk membuat tayangan untuk semua usia. Lalu, dibuatlah film bertajuk Anak Seribu Pulau sebanyak 14 episode. “Saya menggandeng Garin Nugroho dan lainnya, karena dalam segi pendanaan cukup besar, yakni Rp 200 juta per episode. Jadi harus matang konsepnya,” imbuh perempuan yang merasa bangga film TV tersebut tayang di lima stasiun televisi swasta sekaligus.

Prestasi Mira terus berkibar. Film pertamanya berjudul Kuldesak berhasil meraih penghargaan dari Forum Film Bandung (1999) dan Festival Film Kine Club (2000). Ia pun melebarkan sayap dengan membuat film layar lebar lainnya seperti Petualangan Sherina, Ada Apa Dengan Cinta?, Soe Hok Gie, dan Rumah Ketujuh. “Saya selalu membuat satu atau dua film dalam satu tahun. Bagi saya, membuat film itu perlu persiapan matang, dan terpenting adalah prosesnya,” imbuh kelahiran Jakarta, 8 Agustus 1964 ini.

Mira berasumsi, keberhasilan Miles Film Productions tidak hanya dilihat dari nilai ekonomis. Ketika memilih jalur film, ia tidak berorientasi untuk menghasilkan uang dari film buatannya. Penekanannya pun tidak terfokus untuk menjadikan Miles menjadi besar. “Seperti ada ‘panggilan’. Saya hanya ingin menciptakan sebuah ruang untuk saya pribadi. Tujuannya sebagai sarana komunikasi dan interaksi. Dan, mengembalikan nama perfilman indonesia,” tegasnya.

Sewaktu membuat film layar lebar, Mira mengatakan, ia terbentur kendala dana dan sumber daya manusia. Yang ada cuma semangat. Akhirnya, jalan yang diambil adalah bersinergi, yakni dengan membuat film bersama Rizal Mantovani, Riri Riza, dan Nan Triveni Achnas. “Modal awal hanya Rp 50 juta dari Miles. Sedangkan dana yang harus terkumpul Rp 250 juta, masing-masing pun menyumbang. Tapi, Rp 250 juta tersebut bersifat free, hanya operasional,” ungkapnya. Cara lain juga ditempuh. Mira menghubungi beberapa kawannya di perusahaan advertising untuk membantu meminjamkan peralatan, dan transportasi.

Terkenal dengan predikat “produser bertangan dingin”, Mira menerapkan sistem kekeluargaan dalam memimpin perusahaannya. Ia tak percaya akan gaya kepemimpinan top-down, apalagi menerapkannya. Baginya, bergerak di bidang kreatif lebih mengutamakan kolaborasi dan partnership untuk bisa membangun perusahaan. Ketiga belas karyawannya pun bisa menyampaikan ide seluas-luasnya, namun untuk keputusan akhir tetap di tangan Mira.

Lebih lanjut, dari segi feminimisme kepemimpinan, Mira berpendapat “saya adalah saya” terlepas dari perbedaan antara perempuan dan laki-laki. Diakuinya, unsur perasaan menjadi bagian penting dalam memilih sesuatu, tidak hanya mengandalkan logika semata. “Mungkin perempuan punya kemampuan lebih dalam mengambil risiko dilihat dari kesabaran dan kesiapannya, tetapi tingkat emosi tinggi pula,” tambah putri pertama pasangan Jack Lesmana dan Nien ini.

Menariknya, di dunia perfilman, Mira melihat orang tetap menilai dari sisi profesionalisme bekerja dan hasil karyanya, bukan karena perempuan. Dalam bekerja pun, ia tidak memosisikan diri sebagai perempuan, melainkan kreator. Sebab, bakat tidak ditentukan dari gender, tapi pada kemampuan yang dimiliki. Namun, di satu sisi, ia tidak pernah memanfaatkan “keperempuanannya”. “Saya tidak memanfaatkan nama keluarga maupun alasan lain,” katanya mencontohkan kalimat: “Sorry sakit, lagi menstruasi”.

Ditambahkan oleh ibu dari Galih dan Kafka ini, seorang perempuan tidak bisa eksis bahkan memimpin perusahaan tanpa adanya dukungan dari keluarga inti dan keluarga besar. Mira beruntung, keluarganya mengerti bahwa ini bukan cuma mata pencarian semata, tapi lebih mengacu pada pilihan hidupnya. Work day yang fleksibel juga memudahkannya dalam mengatur waktu untuk kerja dan keluarga. “Jam efektif bekerja dimulai pukul 10.00 WIB sampai 17.00 WIB, itu terbentuk sendiri. Terkadang jika dibutuhkan bisa lebih pagi, atau bisa 24 jam syuting dan di luar kota. Setelah syuting, bisa ambil break beberapa hari,” jelas pengusung film berjenis unbreakable ini.

Di keluarganya sendiri terbentuk sikap mandiri dan tidak memiliki ritual khusus seperti pengaturan bangun tidur, sarapan sampai pulang kerja. Mira tidak menerapkan sosok seorang ibu dan ayah bagi anak-anaknya. Lebih tepatnya, ia dan sang suami memakai konsep cross. Artinya, siapa pun bisa mengerjakan dan mengganti peran tanpa memilah-milah. Anak juga dibekali sikap keterbukaan satu sama lain, mempunyai privasi, dan bisa mengemukakan pendapat.

Bagi perempuan yang ingin sukses berkarier, Mira menyarankan, harus dipastikan terlebih dulu bahwa lingkungan mendukung karena sejatinya menjadi perempuan tidak mudah. Tetapi, satu hal yang perlu diingat, perempuan pun jangan pernah menggunakan hal “keperempuanannya” untuk mencapai sesuatu. “Itu bisa jadi bumerang,” tandasnya.

Fisamawati
Majalah MARKETING

0 komentar:

Posting Komentar