03 September 2008

Retno Tranggono: Tegas Tetapi Penuh Empati

Sikap profesionalisme terlihat jelas pada dirinya. Selain berhasil memimpin 900 pegawai, ia pun mampu berkolaborasi dengan sang suami.

Seakan bisa membaca tanda-tanda zaman, Dr Retno Iswari Tranggono—begitu nama lengkapnya—berinisiatif untuk mengajak suaminya berbisnis. Prakarsa tersebut ia lihat dari maraknya fenomena bisnis kosmetik, ditambah dirinya memang punya kelebihan di bidang tersebut.

“Paling-paling, kalau punya ide, seorang dokter akan membuka klinik saja, dan dengan sendirinya pasien datang. Tapi saya menginginkan lain, yaitu menciptakan produk khususnya healthy cosmetic,” katanya yang ditemui di Grand House of Ristra, Jakarta Selatan.

Awalnya ia terpanggil untuk berupaya mengatasi masalah kosmetik yang bukan mempercantik justru merusak kulit. Maka, tiga cara ia terapkan, yakni: membuat kulit yang sesuai dengan kulit tropis Asia; terjun mengabdi ke lembaga pemerintahan untuk membenahi tata kosmetik di Indonesia; dan mendorong kesadaran masyarakat akan pentingnya unsur kesehatan dalam kosmetik, terutama dalam jangka panjang.

Ajakannya untuk mendirikan Ristra berbasis science cukup menggebu-gebu. Kesempatan ini menjanjikan, apalagi waktu itu, produk-produk buatannya laris manis di pasar. “Inilah waktu yang tepat untuk membuat gebrakan dan mengembangkannya secara nyata,” jelas Retno yang menjabat Presiden Direktur Ristra Group.

Berbekal itu, Retno yang semula bernama Ratna Icwani ini memegang teguh prinsip dalam menciptakan produk kosmetik. Baginya, produk kosmetik harus mencerminkan sisi medis dari perawatan kulit. Ia ingin Ristra tampil sebagai perusahaan yang berciri “cosmedics”, yaitu medicated cosmetics.

Namun, sedikit timbul masalah, sosoknya yang tersohor sebagai perintis ilmu kosmeto-dermatologi di Indonesia, plus istilah cosmedics yang terkesan ilmiah menjadi ganjalan dari segi pemasaran produk. Karenanya, ia kemudian menelurkan sebuah filosofi: “The science of beauty”. Jadi, image Ristra adalah perusahaan kosmetik yang mengedepankan kecantikan dan kesehatan kulit.

Sadar bahwa untuk menggebrak pasar, harus ada promosi dengan target dan sasaran yang tepat, pada periode 1982-1983, langkah-langkah promosi mulai dirintis Ristra. Kala itu mereka menggelar pameran pertama yang merupakan ajang pengenalan produk, tempat yang dikunjungi grosir untuk proses distribusi yang lebih luas.

Ristra yang merupakan akronim dari nama Retno Iswari dan Suharto Tranggono, kini telah memiliki cabang yang tersebar di Jakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya. Ditambahkannya, Ristra pun telah merambah pasar luar negeri sampai ke Malaysia, Singapura, bahkan Eropa.

Perempuan kelahiran 17 November 1939 ini juga berhasil meraih sejumlah penghargaan, di antaranya The Innovation Awards “Innovation in Skincare Cosmetics” dan “The Science of Beauty”; Lencana Satyabhakti “Wirasistha” pada tahun 2005; “The Best Entrepreneur of the Year 2001” dari Ernst & Young; penghargaan dari the Center for Professional Advancement, dan masih banyak lagi.

“Di balik itu semua, saya sesungguhnya hanya mengoptimalkan potensi-potensi yang terkandung dalam gagasan awal. Yaitu, bidang penanganan perawatan kulit, pembuatan produk kosmetik, dan konsultasi dalam perawatan kulit. Keberhasilan itu pun didukung dengan adanya sumber daya manusia yang berkualitas di Ristra,” kata lulusan Universitas Indonesia ini merendah.

Meski berfondasi sebagai perusahaan keluarga, tapi Is—panggilan akrab Retno—tetap memberlakukan sistem yang jelas dalam mengelola perusahaan. Setiap anggota dibagi-bagi sesuai kemampuan, tugas, dan perannya. Sang suami mengelola sistem manajemen perusahaan, dan ia sendiri selaku teknisi. “Keduanya saling melengkapi dan mendukung,” ucapnya tersipu.

Di mata pegawai, ia tergolong wanita “hiperaktif”, pekerja ulet yang tak bisa tinggal diam. Ia merancang segala sesuatunya dengan jelas, menentukan target kerja secara terperinci, terarah, dan terukur. Dalam pelaksanaannya, ia bisa dibilang perfeksionis. Namun, di sisi lain, ia tak segan-segan memberikan kepercayaan penuh kepada bawahan yang dinilai memiliki dedikasi dan loyalitas yang teruji.

“Pastinya harus tegas, tetapi tetap penuh empati. Pendekatan pun harus dilakukan dengan unsur kemanusiaan yang baik dan benar. Maka, banyak pegawai saya yang mengabdi hingga puluhan tahun di Ristra. Loyalitas ini karena ada ikatan batin saya dengan mereka,” ungkapnya.

Di keluarga pun demikian, ibu dari tiga anak dan enam cucu ini tetap mendidik keturunannya agar hidup mandiri. Meski disibukkan dengan rutinitas pekerjaan, hingga dijuluki sebagai “wanita safari”, ia tetap mengutamakan kualitas dibandingkan kuantitas.

“Kebetulan ibu dari suami saya berlatar belakang guru, jadi anak-anak saya percayakan kepadanya. Anak-anak sudah terbiasa dengan kesibukan pekerjaan saya, bahkan sampai praktek malam hari. Namun, saya selalu menyempatkan diri untuk berkumpul dengan mereka di hari libur dan acara keluarga,” kata Is yang baru saja merayakan ulang tahun perkawinannya yang ke-45.

Peran sebagai istri pun disadarinya. Ia memiliki prinsip “keseimbangan” yang bukan hanya dilihat dari warisan Jawa, tetapi juga sebagai produk kesepakatan bersama dengan suami. Menurutnya., untuk mencapai keseimbangan itu, kita harus menyadari bahwa pernikahan sebagai ikatan sakral.

“Hal ini sangat penting, meski saya perempuan karier, tetapi juga perempuan bersuami yang juga punya anak. Kegiatan di luar rumah harus dijaga. Ketika di rumah saya seorang istri dan ibu bagi anak-anak, dan saat di luar rumah barulah saya menjadi perempuan karier,” terangnya.

Fisamawati
Majalah MARKETING

0 komentar:

Posting Komentar