03 September 2008

Ramai-Ramai Mengusung Merek Lokal

Kenyataan tak biasa terjadi di industri ponsel belakangan ini; banyak produk mengusung merek asli Indonesia. Sukseskah merek-merek tersebut menggarap ceruk pasar?

Ini benar-benar tantangan! Sejak akhir tahun lalu belasan merek lokal merangsek pasar telepon seluler (ponsel) Indonesia. Meski berbeda merek, sebagian besar dari mereka mengutarakan strategi pemasaran yang nyaris sama. Strategi itu umpamanya memosisikan diri sebagai merek berkelas, mencoba menggabungkan antara produk dan gaya hidup, berfitur lebih lengkap, dan dual mode.

Disebut tantangan karena seperti yang sering diutarakan majalah ini, karakteristik konsumen di Indonesia cenderung tidak percaya dengan produk buatan dalam negeri. Mereka lebih percaya dan bangga membeli produk merek impor daripada produk sendiri.

Namun demikian, para produsen telepon seluler (ponsel) merek lokal berdalih produknya tak kalah berkualitas dengan merek multinasional yang sudah ada. Layanan purnajualnya pun diklaim lebih baik. Tidak jarang di antara mereka “mengiming-imingi” konsumen dengan siap mengganti baru apabila terjadi kerusakan atau keterlambatan proses perbaikannya.

Satu contoh ponsel merek lokal yaitu ViTell, produk yang diluncurkan oleh PT Lintas Cakrawala Persada pada awal tahun ini. ViTell memosisikan diri sebagai merek menengah ke atas (middle-high) dengan harga middle. Dan, ViTell menyatakan dirinya expert in dual mode.

Saat ini ponsel merek ViTell dapat dijumpai di outlet-outlet dengan tipe antara lain DG-V788, DG-V888, DG-V988, DG-V TV88, DG-V100. “Semua ponsel kami memiliki fitur GSM-CDMA dan GSM-GSM. Selain dilengkapi TV tuner, ViTell memiliki keunikan, yaitu double bluetooth,” ujar Zenko Gunawan, Presiden Direktur PT Lintas Cakrawala Persada.

Karena memosisikan diri sebagai ponsel kelas menengah ke atas, Zenko menyatakan bahwa pengeluaran terbesar berada di customer care. Pasalnya, setiap pengguna ViTell akan mendapatkan layanan secara excellent di 22 service center Garansi Seluler Indonesia (Garsindo). Bahkan, ponsel yang melebihi 14 hari masa perbaikan akan diganti dengan yang baru.

“Saat ini kami membangun citra merek terlebih dahulu, menyosialisasikan layanan purnajual, menggerakkan dealer-dealer pasar tradisional, dan melakukan komunikasi merek,” lanjut Zenko seraya menyebutkan anggaran komunikasinya sebesar Rp 30 miliar setahun.

Merek lokal lain adalah HiTech Mobile. Merek yang muncul di pasaran sejak Agustus 2007 lalu itu diklaim sebagai pionir di TV phone. Di bawah bendera PT Tirta Citra Nusantara, HiTech menawarkan tiga tipe ponsel (H38, H382, dan H39) yang mengandalkan fitur TV tuner-nya.

Menurut Kusuma Ruslan, Chief Marketing Officer PT Tirta Citra Nusantara, walaupun HiTech merupakan merek nasional tetapi produknya bertaraf internasional. “HiTech memiliki keunggulan jika dibandingkan dengan merek lain. Dan, HiTech mampu bersaing dengan merek internasional,” tuturnya.

Dalam menciptakan inovasi produk, tandas Kusuma, merek internasional selalu dipikirkan secara global. Itulah yang menjadi kesempatan bagi HiTech untuk merebut pangsa pasar dengan mengeluarkan inovasi produk phone TV tuner. Secara konsisten HiTech merilis inovasi itu yang diperkuat dengan tagline “Handphone gua udah ada TV-nya. Handphone lo?”.

Sama seperti ViTell, HiTech disasarkan untuk segmen menengah ke atas dengan harga Rp 1-2 juta. Untuk memperlancar distribusi dan layanan purnajual, HiTech menggandeng PT Dian Graha Elektrika, distributor ponsel yang sudah memiliki banyak cabang di Tanah Air.

HiTech juga menyediakan customer care online dengan membangun komunitas. Merek tersebut juga dikomunikasikan melalui iklan-iklan di media cetak dan elektronik, billboard, dan lain sebagainya dengan endorser Mario Lawalata. Uniknya, HiTech menggandeng tim bola basket Biangbola Aliansi untuk menggarap penggemar olahraga.

Sementara, kehadiran ponsel merek MyG sejak Januari lalu dilatarbelakangi oleh merebaknya fenomena TV tuner di dalam negeri. Tidak hanya TV tuner, MyG juga mengandalkan kelengkapan fitur multimedia. Walau sekadar fitur, penerimaan pasar memberikan harapan bisnis bagi MyG.

Agus Salim, Direktur Utama MyG Mobile, menegaskan, meski fitur yang ditanam di ponsel begitu lengkap, mereknya disasarkan untuk kelas menengah ke bawah. Menurutnya, kelas tersebut memiliki porsi terbesar sehingga peluangnya terbuka lebar. Target market yang dibidik pun lebih ke arah remaja dengan rata-rata usia 15-30 tahun.

Adapun ketiga seri MyG pertama yang diluncurkan adalah MyG 889, MyG 638, dan MyG 800 dengan banderol harga Rp 1,5-2,2 jutaan. “Promosi awal yang kami lakukan adalah dengan turun langsung ke pasar. Kami menjelaskan seperti apa MyG itu dan menawarkannya,” kata Awit, Marketing Manager MyG.

Selain itu, strategi yang dilakukan adalah menempatkan sales promotion girl (SPG) di beberapa mal di Jabodetabek dan kota-kota besar lainnya untuk mempromosikan merek MyG. Promo langsung juga dilakukan, seperti memberikan hadiah langsung sarung ponsel atau jam dinding berlogo MyG, dengan harapan bisa meningkatkan brand image MyG.

Untuk mempercepat penetrasi pasar, MyG menunjuk Chelsea Olivia Wijaya sebagai ikonnya selama satu tahun. MyG juga memasang iklan di media cetak maupun elektronik, juga berpromosi dengan cara melakukan pameran. Kini, dalam sebulan, MyG melakukan pameran dua kali, dan akan melakukan road show ke beberapa daerah.

Satu lagi adalah merek StarTech. Merek yang diluncurkan pada pertengahan Desember 2007 lalu ini begitu mendengung-dengungkan keunggulan desainnya. “Desain produk kami yang tidak ada di merek lain,” tegas Untung BW, General Manager Marketing StarTech Mobile Indonesia.

Akan tetapi, meski telah meluncurkan seri ST21, ST67, ST57, dan ST88 dengan banderol harga Rp 199.000-Rp 1,9 juta per unit, Untung mengaku belum menentukan positioning dari StarTech. “Ke depan akan diarahkan ke gaya hidup,” jelasnya yang kemudian menyebut segmen yang bidik StarTech adalah kelas A, B, C, dan D.

Sejak diluncurkan, Untung mengaku, ponsel StarTech mendapat respons pasar dengan baik. Itu berkat strategi yang diterapkannya, antara lain dengan menggandeng band baru Frezia sebagai ikon; gaya peluncuran produk yang melibatkan 10 artis terkenal seperti Melly Goeslaw, Putri Patricia, Olga Lidya, Tamara Geraldine, Melanie Putria, Anya Dwinov, dan lain-lain.

“Artis saja mau menggunakan ponsel StarTech, kenapa masyarakat tidak? Dengan begitu, kami berharap terjadi promosi secara word of mouth. Begitu pula dengan Frezia, StarTech adalah satu-satunya merek ponsel lokal yang menggunakan ikon grup band. Ini merupakan terobosan,” tandas Untung bersemangat.

Dalam upaya mempromosikan StarTech, pemilik merek juga melakukan aktivitas above the line dan below the line serta road show ke seluruh Indonesia. Untuk distribusi dan layanan purnajualnya, StarTech juga dipercayakan kepada PT Dian Graha Elektrika. “Kami juga akan mengeluarkan produk TV phone menyusul dual mode GSM-GSM dan GSM-CDMA,” demikian Untung merencanakan.

Menjadi Komoditas
Menanggapi maraknya peluncuran ponsel merek lokal, pengamat pemasaran Roy Goni menyatakan, fenomena pasar yang dibanjiri dengan barang-barang tanpa fitur menonjol (me-too product) membuat produk-produk tersebut menjadi komoditas. Akhirnya, mereka terjebak pada perang harga (price war).

“Fenomena seperti ini tidak akan menghasilkan pemenang. Dalam kenyataannya, mereka akan lebih mengandalkan harga, dan kebanyakan dari mereka menerapkan strategi jangka pendek daripada jangka panjang,” terang Roy menanggapi.

Lebih lanjut, Roy berpendapat, meskipun ponsel-ponsel merek lokal mengaku menyasar segmen menengah ke atas, faktanya merek-merek tersebut cenderung lebih diterima di segmen menengah ke bawah, terutama pasar yang selama ini belum pernah memiliki ponsel (new market).

“Untuk merebut market share dari merek-merek multinasional, jelas tidak mudah. Kalau banyak fitur, ya, tidak bisa. Intinya mereka harus fokus,” imbuh Roy mengakhiri.
Dan yang pasti, ponsel merek lokal tidak hanya HiTech, ViTell, StarTech, dan MyG saja. Di antara empat merek itu masih banyak merek lokal lain yang belum disebutkan, seperti Nexian, D-One, Beyond, VirtuV, Lotus, Mito, Taxco, Micxon, dan lain-lain. Oleh sebab itu, tidak salah jika kini disebut masa bangkitnya merek lokal, walau mayoritas produksinya dilakukan di China (maklon).

Purjono Agus S.
Liputan: Fisamawati
Majalah MARKETING

0 komentar:

Posting Komentar