Setelah “berpetualang” di bidang operasional, ia dipercaya oleh manajemen untuk menangani divisi marketing. Apakah obsesinya dalam berkarier sebanding dengan kompensasinya?
Sudah lama Electronic City menjadi tempat bernaung bagi Wiradi. Hampir tujuh tahun General Manager Marketing Division Head PT Electronic City Indonesia ini bergabung di perusahaan tersebut. Awalnya, ia memulai karier sebagai purchasing barang elektronik, dengan level supervisor.
Kemudian, Wiradi dipercaya untuk menangani operasional toko Electronic City, mulai dari supervisor lapangan, kepala cabang di Jakarta dan luar Jakarta, sampai ke tingkatan kepala cabang untuk beberapa toko Electronic City. “Level kepegawaian saya adalah General Manager, sedangkan level struktural adalah Marketing Divison Head. Ini tahun ketiga saya di posisi tersebut,” katanya.
Ditambahkannya, berada di sekian banyak divisi yang ada di Electronic City, ia bertanggung jawab di divisi marketing. Di divisi itu, ia lebih banyak menangani masalah konsep dan ide-ide untuk pengembangan. “Saya sangat bersyukur, sebelum di posisi ini, saya sudah pernah menangani masalah operasional. Jadi, bisa membantu saya dalam melakukan pertimbangan saat membuat sebuah rancangan atau ide baru yang akan diimplementasikan.”
Wira—begitu ia biasa disapa—sekarang ini boleh berbangga diri. Kerja kerasnya yang dimulai dari titik nol akhirnya membuahkan hasil. Selain sukses di bidangnya, ia pun mahir me-manage karyawannya. “Saat ini saya membawahi 40 orang karyawan, level mereka dimulai dari helper sampai manager,” imbuhnya.
Seperti diketahui, Electronic City merupakan ritel yang menjual alat-alat elektronik dari berbagai merek mulai dari televisi, mesin cuci, komputer, kulkas, hingga kamera digital. Berdiri sejak 11 November 2001, perusahaan ritel ini sudah mempunyai 10 store di antaranya di SCBD, Kelapa Gading, Puri Kembangan, Karawaci, Bandung, Bali, Depok, Bogor, Medan, dan Bekasi.
Konsep Electronic City adalah mengembangkan toko elektronik modern dengan gaya pameran yang memberikan pelayanan terbaik, didukung oleh sumber daya manusia yang kompeten dan mitra usaha yang berkualitas untuk kepuasan customer.
“Dunia yang saya geluti sangat menarik dan dinamis. Electronic City menggabungkan konsep brand dan retail. Di mana segala sesuatu berjalan dengan ‘cepat’ sehingga setiap hari ada sesuatu hal baru dan menantang,” tambahnya. Lebih lanjut, Wira memaparkan, posisi marketer di industri ritel seperti yang diterapkan Electronic City masih terbilang langka. Karena biasanya, marketer atau brand specialist bertugas untuk melakukan branding terhadap sebuah produk— bukan sebuah toko atau ritel.
Sebagai pimpinan di divisi tersebut, Wira pun harus melaporkan segala sesuatu yang bekaitan dengan kinerjanya selama ini. “Saya langsung melapor pada Bapak Roy Santoso selaku BOD di Electronic City,” tegasnya. Untungnya, dalam menjalankan tugas, ia diberi kesempatan dan kepercayaan melakukan program-program yang ditujukan untuk pelayanan kepada customer.
Apalagi, Electronic City mengemban visi untuk menjadi perusahaan terkemuka dalam bisnis ritel elektronik dengan jaringan terluas dan termodern yang didukung pelayanan yang baik dan fasilitas yang lengkap. “Ini tertuang dalam slogan baru kami, yakni ‘Smart Way of Modern Shopping’ dengan sistem pelayanan one stop shopping yang mandiri,” imbuh alumnus Bina Nusantara jurusan akuntansi angkatan 1995 ini.
Tanpa Batas
Dalam tujuh tahun kariernya, sudah pastilah ada tinta emas yang telah ditorehkan Wira untuk perusahaannya. Namun, rupanya ia enggan menonjolkan diri sendiri. “Bila membicarakan prestasi saya pribadi rasanya kurang tepat. Mungkin lebih tepatnya, prestasi apa pun yang diukir Electronic City adalah sebuah prestasi dari keberhasilan tim. Karena sebagus apa pun ide dan program, tak akan berhasil jika tidak didukung dan dijalankan oleh tim di jajaran Electronic City, baik di garis depan maupun back office,” ucapnya dengan rendah hati.
Ia lantas menyebutkan beberapa prestasi yang pernah dilakukan timnya dalam beberapa tahun terakhir. Misalnya pembaharuan konsep toko, template iklan, tagline baru, call center, website, dan program sales yang terus-menerus sepanjang tahun dengan semua partner bank dan brand. Tapi, tegasnya, prestasi tersebut bukanlah akhir, melainkan sebuah “proses” yang akan terus dievaluasi dan disempurnakan. “Karena dinamika di industri ritel dan marketing sendiri adalah ‘even the sky is not the limit’,” ujar pria kelahiran Juli 1977 ini.
Sifat tanpa batas pun berlaku bagi kompensasi yang didapatnya. Meski enggan menyebutkan nilai nominalnya karena berbagai faktor, Wira masih mau menjelaskan hitungan kasarnya. Perhitungan itu dilakukan secara rutin plus Tunjangan Hari Raya (THR). Untuk bonus, ada dua perhitungan: target kolektif dan individu. “Kolektif dilihat dari pencapaian target toko, gross profit, dan budget. Sedangkan reward individu, dilihat dari target program divisi masing-masing seperti program membership dan sales program,” ungkapnya.
Sementara itu, sama halnya marketer lain, Wira pun harus mengagendakan meeting dengan berbagai pihak, baik di kantor maupun luar kantor. Waktunya biasanya ia jadwalkan sore atau malam hari. Selebihnya, ia melakukan pekerjaan di belakang meja seperti menuangkan ide, merapikan proposal dan paper work.
“Di pagi hari saya melakukan pekerjaan-pekerjaan yang memerlukan konsentrasi tinggi. Dengan adanya meeting, bisa sedikit demi sedikit mencair karena berinteraksi dengan mitra meeting,” tambah pria yang berdomisili di Tangerang ini.
Ada satu hal yang menjadi “wajib” baginya tiap hari, yakni membuka dan membaca koran. Kegiatan tersebut dilakukan pada saat berangkat atau pulang kantor. Tetapi, uniknya, bukan barisan tulisan berita maupun artikel yang dibacanya. Ya, ia lebih gemar membaca jajaran iklan yang terpampang di surat kabar itu. Diakuinya, tak jarang mendapat ide-ide baru dari iklan tersebut, meskipun melihatnya secara sepintas saja.
“Karena tantangan di dunia marketing, ke depannya akan banyak dibutuhkan ‘smart marketer to do smart marketing’. Seorang marketer dituntut untuk mempunyai “ide gila”, inovatif, dan kreatif. Di mana ini dilakukan tanpa adanya batasan kreativitas. Namun, marketer pun harus bisa mengukur efektivitas dari ide-ide tersebut. Singkatnya, seorang marketer juga harus bisa berhitung,” tandasnya mengakhiri wawancara.
Fisamawati
Majalah MARKETING
0 komentar:
Posting Komentar