14 Oktober 2008

Kuasai Market Share Hingga 90%!

Sejak 23 tahun silam, Alfalink mantap menduduki singgasana pasar kamus elektronik di Tanah Air. Pasar mancanegara pun dirambahnya. Apa rahasianya?

Yang namanya kamus bahasa umumnya identik dengan buku yang tebalnya bisa beratus-ratus halaman. Kalau sudah setebal itu, bisa dibayangkan betapa repotnya orang membolak-balik halaman hanya untuk menncari arti dari suatu kata.



Akan tetapi, di dunia bisnis peluang biasanya muncul karena adanya masalah. Melihat adanya kebutuhan konsumen yang menginginkan kepraktisan dalam membuka kamus ini, maka dibuatlah inovasi kamus elektronik berlabel Alfalink. Ya, mendengar merek Alfalink, ingatan kita tentu langsung tertuju pada sebuah perangkat kecil yang berfungsi sebagai kamus elektronik.

“Alfalink menawarkan kemudahan karena bentuknya yang mungil, juga tidak perlu repot membuka lembar per lembar hanya untuk mencari arti dari satu kata atau kalimat. Cukup menekan tombol yang ada, maka langsung terbuka segala informasi yang dibutuhkan,” ungkap Shian Yu, CEO PT Freshindo Marketama Corp.

Sekadar informasi, Alfalink merupakan merek lokal yang diciptakan oleh Shian Yu pada tahun 1985. Waktu itu, pasar produk kamus elektronik belum terbuka lebar. Gaungnya tak sedahsyat produk elektronik lainnya. “Manufacturing Alfalink, pasokan barang dan produksi didatangkan langsung dari Hong Kong, Taiwan, dan China. Tetapi, riset dan development-nya tetap dilakukan di Indonesia,” lanjutnya.

Di kategori kamus elektronik, kompetitor merek ini masih terbilang langka. Pasarnya cuma dihuni oleh beberapa pemain. Alfalink sendiri merupakan pionir yang nyaris menjadi pemain tunggal. Kondisi inilah yang memudahkan mereka menaklukkan pasar Indonesia. Apalagi, PT Freshindo Marketama Corp adalah salah satu distributor besar di Indonesia yang mengkhususkan diri dalam pemasaran dan pendistribusian produk perkantoran.

Dari sisi pricing strategy, menurutnya, Alfalink satu-satunya kamus elektronik yang mematok harga paling murah dibanding lainnya. Harga yang ditawarkan berkisar Rp 89.000 hingga Rp 2 juta. “Kami menargetkan segmen middle-up. Hal ini bisa dilihat dari para pengguna Alfalink yang mayoritas kalangan berpendidikan seperti pelajar, mahasiswa, dan pekerja eksekutif,” ujarnya.

Dijelaskannya, Alfalink menjadi pelopor kamus elektronik sejak 23 tahun lalu, tidak hanya di Indonesia tapi juga di Asia Tenggara. Pemain sejenis hanya ada di China, Hong Kong, Jepang, dan Taiwan. Meski brand lokal, mereka mampu bersaing dengan brand luar negeri. Terbukti, di Singapura, Alfalink menduduki posisi kedua setelah market leader di negara tersebut.

Bermain di pasar internasional, tutur Shian Yu, haruslah berani menekan harga jual serendah mungkin. Strategi inilah yang diterapkan Alfalink untuk menggaet konsumen. Dengan harga relatif murah konsumen bisa mendapatkan produk yang berkualitas—tentunya disertai pula dengan layanan dan garansi selama satu tahun. Di samping itu, Alfalink melengkapi produknya dengan fitur tambahan berupa kalkulator, penunjuk waktu, alarm, buku telepon, mesin talking, MP3/MP4, serta games. “Jadi, Alfalink bukan sekadar kamus, tapi juga mulai menjadi produk lifestyle layaknya handphone,” tegasnya.

Konsistensi harga yang ditawarkan sejak awal pun tetap diperhatikan. Meski belakangan ini terjadi kenaikan harga barang produksi di setiap lini, Shian Yu tidak mau dengan mudah menaikkan harga produknya. Tujuannya untuk menjaga para pelanggan yang price sensitive tidak beralih ke merek lain.

“Strategi lainnya adalah dengan mengikuti permintaan pasar, artinya produk selalu di up-grade sesuai kebutuhan konsumen. Apalagi, kamus sifatnya terkait dengan bahasa, yang bisa saja mengalami perubahan arti dan makna,” imbuhnya. Untuk memenuhi permintaan tersebut, Alfalink melengkapi produk-produknya dengan 40 bahasa, antara lain Indonesia, Inggris, Melayu, Mandarin, dan Arab. Kini, produk Alfalink terdiri dari 30 jenis item yang berbeda-beda.

Hal lain yang mengukuhkan sepak terjang mereka adalah sistem distribusi yang rapi dan sistematis. Mereka memiliki kantor cabang di Bandung, Semarang, Surabaya, dan Bali, serta pusat distribusi di seluruh Indonesia untuk memudahkan coverage Alfalink. Permintaan pasar paling banyak datang dari Pulau Jawa, selebihnya merata di tiap daerah.

Shian Yu memang tak ingin main-main dalam mendistribusikan Alfalink, khususnya di Indonesia. Mereka cuma mempercayakan produknya pada outlet-outlet yang sesuai segmen pasarnya seperti Gramedia dan Gunung Agung. Hal ini dilakukan untuk meminimalisir keraguan konsumen akan layanan purnajual Alfalink. “Tujuannya untuk memudahkan konsumen jika ingin complaint atau servis Alfalink.”

Saat disinggung soal strategi promosi, ia mengatakan bahwa pihaknya berpromosi melalui media cetak maupun elektronik. Namun, diakuinya, iklan Alfalink di televisi kini tidak segencar ketika masa awal launching. Promosi yang paling berpengaruh adalah lewat word of mouth. Untuk menunjang hal itu, sekarang mereka lebih memfokuskan edukasi konsumen lewat jalur below the line seperti penyebaran brosur dan katalog.

“Untungnya, masyarakat cepat memahami apa itu Alfalink. Dan menerimanya karena menyangkut kebutuhan, terutama bagi para wisatawan dan orang yang ingin pergi ke luar negeri tapi terkendala bahasa negara setempat,” terangnya.

Saat ini, Alfalink mendominasi market share kamus elektronik di pasar domestik. Tidak tanggung-tanggung, angkanya hampir mencapai 90%! Merek ini juga merambah pasar internasional (di luar negeri, brand Alfalink tetap digunakan). Negara yang menjadi incarannya antara lain Australia, Jepang, Amerika, Malaysia, dan Singapura. Minat konsumen di sana cukup tinggi, khususnya orang-orang Indonesia yang berdomisili di negara-negara itu.

Yang pasti, persaingan pasar mancanegara tentu jauh lebih ketat dibandingkan pasar domestik. Namun, Shian Yu tidak gentar menghadapi kondisi tersebut. Baginya, harga Alfalink yang jauh lebih murah dibandingkan produk lainnya, kualitas yang bagus, serta variasi pilihan bahasa yang memadai merupakan modal kuat untuk bersaing. “Meski pasaran di luar negeri banyak kompetitor, tapi tidak terlalu signifikan mempengaruhi penjualan Alfalink,” katanya optimistis.

Ke depannya, Alfalink menargetkan pertumbuhan sales di luar negeri mencapai angka 10% per tahun. Tentunya, segmen yang akan dibidik pun akan difokuskan pada middle-up sesuai dengan pasar yang ada di Indonesia.

Fisamawati
Majalah MARKETING

Read More......

13 Oktober 2008

Terry Putri: Rambut Heboh Pagi Hari

Bagi perempuan, rambut memang menjadi satu hal yang dianggap paling sensitif, tidak terkecuali Terry Putri. Gadis cantik kelahiran Banjarmasin, 1 Desember 1979, ini pernah bermasalah dengan “mahkotanya” itu. Sebagai presenter untuk delapan acara televisi, Terry bisa berganti model rambut sebanyak empat hingga lima kali dalam sehari. Bisa saja pagi hari rambutnya berombak dan di siang hari harus lurus kembali.

Terry berpendapat, rambut adalah media untuk mengekspresikan diri. “Karena itu, saya menikmati beragam eksperimen pada rambut saya. Profesi saya sebagai TV presenter dan MC mengharuskan saya sering melakukan berbagai styling. Saking keasyikan, tidak disadari rambut saya rusak,” ceritanya.



Hampir setiap pagi, di sela-sela persiapan siaran, rambut Terry selalu menyisakan cerita heboh. Bahkan, pernah kejadian, hair stylist-nya kesulitan “menjinakkan” rambutnya. Alhasil, ia pun harus stand by sejak pukul empat pagi hanya karena rambut. Sekarang kenyataan itu sudah hilang. Semenjak dinobatkan sebagai brand ambassador Dove Shampoo, ia tak perlu merasakannya lagi.

“Kini, saya bisa menikmati ‘manic morning’ dengan rambut lebih sehat tanpa masalah,” ucap pemilik tinggi badan 158 cm ini. Terry menambahkan, sebagai brand ambassador Dove Shampoo, tugas barunya adalah berbagi pengalaman dan mengajak perempuan Indonesia untuk membuka hari dengan indah dan penuh semangat, tanpa khawatir akan kondisi rambut yang rusak. “Jadi, bisa tampil percaya diri sejak pagi hari dan siap beraktivitas sepanjang hari,” tegas presenter Insert ini.

Fisamawati
Majalah MARKETING

Read More......

Adeza Hamzah: Langsung Jatuh Cinta

Karier yang ditekuni dengan sungguh-sungguh niscaya akan berbuah manis. Setidaknya inilah yang dialami Adeza Hamzah, Communications Manager Hotel Mulia, Senayan, Jakarta. Sejak hari pertama bekerja, diakui Adeza, dirinya langsung “jatuh cinta” pada dunia public relations. Ketika itu ia mengawali karier di Maverick PR Consultancy.

“Kebetulan saya memang sudah mantap dan yakin untuk menekuni satu bidang profesi,” kata pria berusia 29 tahun ini. Berbekal keyakinan itu, kariernya terus menanjak. Akhirnya, ia dipercaya untuk mengepalai Communications Department Hotel Mulia sejak 18 bulan lalu.



“Saya juga bertugas untuk memonitor satu sub-department, yakni Art & Printshop Department,” imbuhnya. Kini, Adeza membawahi 13 orang karyawan. Ia pun harus tetap melapor kepada atasannya lagi. Laporan kerja tersebut ia berikan langsung kepada director of sales & marketing.

Sesuai perannya sebagai “perantara” komunikasi antara perusahaan dan publik, banyak hal menarik yang terjadi dalam perjalanan kariernya. “Saya acap kali bertemu dengan media-media terkemuka, baik nasional maupun internasional. Dari situ, terkadang saya dipercaya untuk menjadi pembicara dalam seminar dan diskusi,” ujar penghobi tulis-menulis ini.

Fisamawati
Majalah MARKETING

Read More......

Pelopor Anti Merkuri dan Hydroquinon

Meski pendatang baru di produk kecantikan, Tje Fuk berhasil menarik perhatian konsumen dengan program kampanyenya. Seperti apa?

Biasanya, sebuah merek akan mengampanyekan keunggulan dari produk yang dikeluarkannya. Tapi tidak demikian dengan Tje Fuk. Produk kosmetik ini justru melakukan hal yang berbeda dari yang pernah ada. Kampanye yang diusung adalah mengedukasi masyarakat akan bahaya merkuri dan hydroquinon.



Namun, bukan berarti kampanye tersebut tidak ada hubungannya sama sekali dengan Tje Fuk. Merek ini hadir sebagai produk perawatan wajah untuk pria dan wanita. Dengan kepeduliannya, Tje Fuk menggebrak pangsa pasar kosmetik melalui bahan-bahan produk yang diklaim benar-benar aman, serta formula whitening-nya yang tidak memakai bahan kimia berbahaya seperti merkuri dan hydroquinon.

”Bagi kami, kepercayaan konsumen adalah segalanya untuk kemajuan brand Tje Fuk. Ketika kali pertama mengenalkan Tje Fuk kepada konsumen, kami benar-benar tulus dan sangat peduli akan pentingnya kesehatan kulit wajah,” kata Pranoto Widjojo, Market Research & Development Manager sekaligus pemilik PT Tje Fuk.

Menyadari betul akan ketatnya persaingan di bisnis kosmetik, Tje Fuk lantas mengatur strategi. Dijelaskan Pranoto, mereka tidak langsung head to head dengan market leader yang sudah ada. Langkah pertama yang diambil adalah mengedukasi pasar tentang bagaimana menggunakan kosmetik yang aman. Begitu pula konsep iklan yang dikeluarkan Tje Fuk, terlihat lain daripada yang lain.

Pada umumnya, iklan-iklan kosmetik selalu memakai model-model cantik dengan harapan bisa mempengaruhi konsumen untuk menggunakan produk yang diiklankan. Public figure berwajah cantik dan putih bisa menjadi daya tarik tersendiri bagi konsumen yang ingin mencoba produk kosmetik. Sebaliknya, Tje Fuk tidak memakai model cantik, melainkan model ”negarawan” Republik Mimpi.

Uniknya lagi, dalam iklan tersebut, mereka tidak terlalu menonjolkan kelebihan produk dan atribut lainnya. Mereka justru memberikan pesan agar berhati-hati dalam memilih kosmetik. ”Karena banyak produk kosmetik yang menggunakan zat kimia berbahaya. Dan secara tidak langsung, iklan tersebut mengajak konsumen untuk berpikir dan membandingkan kosmetik Tje Fuk dengan yang lainnya,” lanjut Pranoto.

Ya, Tje Fuk memang tergolong gencar dalam berpromosi. Di lini atas, aktivitasnya berupa print ad di media cetak maupun menjadi sponsorship program-program televisi swasta. Di Indosiar, mereka melakukan blocking time pada acara Karantina Tje Fuk, sementara di MTV menjadi sponsor program Tje Fuk Present.

”Karantina Tje Fuk adalah semacam program make over wajah dengan perawatan menggunakan produk kami selama 10 minggu. Tujuan acara tersebut untuk memperlihatkan perkembangan hasil dari kondisi sebelum sampai sesudah memakai Tje Fuk. Jadi, program ini memberikan bukti bahwa hasil perawatan Tje Fuk bukan rekayasa,” paparnya.

Hal ini juga tak terlepas dari strategi edukasi pasar yang telah dilakukan. Edukasi yang dimaksud adalah memberikan perawatan gratis sampai tuntas kepada 100 orang yang memiliki masalah pada kulit wajahnya, meski sudah berkali-kali melakukan perawatan.

Selain itu, lanjut Pranoto, untuk mendorong penjualan Tje Fuk, perusahaan ini juga melakukan serangkaian program below the line seperti sampling dan demo perawatan wajah. Ia juga mengakui bahwa kampanye yang paling efektif dilakukan melalui promosi dari mulut ke mulut (word of mouth).

Sejatinya, produk perawatan wajah ini merupakan pendatang baru di industri kosmetik Tanah Air. Masuk ke pasar sejak tahun 2004 lalu, dan pada tahun 2006 mulai mendobrak pasar. Meski begitu, Tje Fuk berhasil mengukir prestasi gemilang, di antaranya terpilih sebagai produk unggulan 2006; mendapat sertifikat sebagai Product Choices 2007; serta Best Brand 2007 kategori whitening.

Rangkaian produk Tje Fuk terdiri dari whitening cream, whitening cream, whitening soap, compact powder, bedak tabur, dan lainnya. Umumnya, produk kosmetik ini hanya berfungsi untuk membersihkan, merawat serta melindungi kulit wajah. Pranoto mengatakan bahwa formula Tje Fuk didatangkan langsung dari Jepang.

Dari sisi harga, Tje Fuk tidak jauh berbeda dari kategori produk yang sama di pasaran. Rentang harga yang dibanderol Tje Fuk pun tergolong lebar, yaitu antara Rp 25.000-450.000. “Untuk menjangkau segmen yang lebih price sensitive, kami berencana meluncurkan paket Tje Fuk berukuran lebih kecil dari sebelumnya. Harganya pun jauh lebih murah sehingga tetap terjangkau bagi semua golongan,” katanya.

Berkat beragam aktivitas pemasaran di atas, akhirnya Tje Fuk mendapat respon positif dari pasar. Penjualannya terus meningkat. ”Dalam tiga tahun terakhir, rata-rata pertumbuhan penjualan kami diperkirakan lebih dari 50%,” pungkas Pranoto.

Fisamawati
Majalah MARKETING

Read More......

Rejuvenasi Merek yang Sukses

Belakangan ini, Softex giat melancarkan brand rejuvenation. Strategi ini pun berhasil men-drive pasar pembalut khusus wanita dewasa modern.

Bicara tentang Softex, hampir bisa dipastikan tidak ada wanita Indonesia yang tak mengenalnya. Diluncurkan tahun 1974, merek ini meraih puncak popularitas pada tahun 1980-an. Saat itu, Softex begitu jumawa dan menjadi market leader produk pembalut wanita. Hampir setiap retail memajang produk yang kala itu bergambar seorang wanita dan sekuntum bunga. Saking tenarnya, Softex pun jadi nama generik untuk menyebut produk pembalut wanita.



Perjalanan Softex meraih kepercayaan perempuan Indonesia tentu saja tak mudah. Banyak sudah strategi yang dibesut, salah satunya dengan melakukan brand rejuvenation (rejuvenasi merek). Dengan mengubah segmen pasar ke remaja putri dan wanita dewasa, Softex ingin mengubah citranya dari pembalut orang tua menjadi pembalut remaja hingga wanita dewasa.

“Selama 30 tahun berdiri, kami telah merasakan pahit-manisnya membesarkan merek. Softex juga telah melakukan terobosan-terobosan yang sifatnya pionir di kelasnya,” kata Dyah Kartika, General Manager Marketing Communication PT Softex Indonesia.

Dari sisi produk, misalnya, Softex memproduksi pembalut dengan fungsi pH balance yang diuji secara klinis, dan menjadi pelopor produk pembalut tipis untuk sehari-hari (panty liners). Tidak cukup sampai di situ, Softex kembali men-drive pasar dengan mengeluarkan produk premium khusus wanita dewasa modern yang aktif dan dinamis. “Agustus 2007 lalu, kami mengeluarkan satu produk premium terbaru yaitu, V Class. Kelebihannya antara lain diproduksi dengan teknologi side guard dan pH balance. V Class juga memiliki V Zone yang memiliki daya serap maksimal sehingga memberikan kenyamanan ekstra,” jelas Dyah.

Menariknya lagi, Softex kian gencar melakukan seminar besar-besaran yang dikemas unik. Belum lama ini mereka mengadakan kegiatan interaktif berupa seminar bertajuk “V Class Female Forum” digelar di Jakarta dan Surabaya—bekerja sama dengan Andy’s Forum dan Binus Business School. Topik-topik yang diangkat pun memikat, misalnya survival guides for working women, personal branding, career change, management coaching, dan women going global. “Ini merupakan sumbangsih kami terhadap dunia kerja dan bangsa melalui wanita. Diharapkan, forum ini bisa menjadi wadah bagi wanita karier untuk memperluas networking dan wawasannya terhadap dunia kerja dan lingkungan,” lanjutnya.

Dalam upaya mendekatkan diri dengan konsumen, Softex juga mulai merambah dunia hiburan. Melalui jalur musik dan film, mereka gencar mengomunikasikan produknya lewat iklan dan sponsorship. “Sebelumnya, kami mengadakan riset pasar. Hasilnya, perempuan dalam usia 12-24 tahun tersebut menyukai tiga aktivitas, yaitu: musik, film, dan olahraga,” ujar Dyah.

Untuk melancarkan strateginya, Softex membentuk divisi pemasaran khusus. Ada divisi Softex Heritage Music yang menangani promosi musik; Softex Heritage Movie untuk film; dan Softex Heritage Sport di olahraga. Dengan adanya divisi khusus ini, mereka bisa leluasa merancang strategi promosi yang berbeda dan belum pernah digarap oleh kompetitor.

Langkah rejuvenasi merek ini dimulai dari pemilihan “3 D’girlz Softex”, yang kemudian berlanjut dengan Softex Heritage Movie menjadi sponsor utama film remaja D’Girls Begins. Ada pula Softex Heritage Sport yang menggelar Liga Bola Basket Remaja Putri. “Sementara Softex Heritage Music, misalnya, menggandeng Ada Band—grup musik yang digandrungi remaja putri, untuk membuatkan lagu khusus sesuai tagline Softex, ‘Karena wanita ingin dimengerti’,” imbuhnya.

Secara spesifik, lanjut Dyah, merek Softex yang mengarah pada gaya hidup dituangkan dalam packaging-nya. Ditambahkannya, semua produk Softex sudah mengarah kepada pengalaman konsumen sehingga penerapan program dan strateginya pasti bersentuhan langsung dengan konsumen itu sendiri.

Kini, Softex pun menjadi satu produk pilihan wanita Indonesia karena strategi komunikasi yang mereka terapkan di setiap lini membuahkan hasil signifikan. Pertumbuhan rata-rata penjualan mereka dalam tiga tahun terakhir ini lebih dari 50% per tahunnya. Semua itu didukung oleh infrastuktur pabrik, yang telah mengantungi akreditasi ISO 9001 dan Quality Management System tahun 1997. “Terutama dukungan dari semua lini produk yang berkualitas, infrastruktur yang modern, jajaran manajemen dan tim yang kuat, serta aktivitas pemasaran yang beragam,” paparnya.

Selain merek Softex, ada pula produk lain yang menjadi andalan PT Softex Indonesia, yakni diapers merek Sweety dan Softlove. Menurut Dyah, Sweety juga memberikan kontribusi besar bagi pertumbuhan perusahaan. Kehadiran Sweety bisa memenuhi kebutuhan para ibu yang ingin membeli popok dengan harga murah, tapi tetap berkualitas. Bukan itu saja. Merek Softex, Sweety, Softlove pun bisa didapatkan di berbagai negara seperti Australia, Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina, China, dan India. Bukti bahwa kualitas produk mereka tidak diragukan lagi.

Fisamawati
Majalah MARKETING

Read More......

08 Oktober 2008

Contact Me

Hubungi saya di...

Email: fisamawati4@yahoo.com
YM : fisalittle@yahoo.com

Read More......

“Menancapkan Kuku” ke 100 Negara

Selain terus berinovasi di produk knockdown, Olympic gencar merangsek ke pasar ABG. Gebrakan inovasinya pun mengantarkannya ke kancah pasar internasional.

Kepiawaian dalam memproduksi dan memasarkan produk-produk furnitur knockdown sejak tahun 1983, berhasil mengukuhkan Olympic sebagai merek nomor wahid di benak konsumen. Di masa awal berdirinya, Olympic cuma memproduksi meja belajar. Kemudian, berkembang ke produk lain seperti bedroom set, children set, kitchen set, dan office set. Berada di bawah naungan bendera PT Cahaya Sakti Multi Intraco, Olympic kini juga gencar menggarap pasar ABG hingga pasar luar negeri.



“Inovasi furnitur knockdown merupakan tonggak keberhasilan Olympic. Padahal, waktu itu kompetitor yang mengandalkan produk knockdown jumlahnya mencapai 150-an, baik yang berlabel maupun non label. Jadi, persaingan tergolong ketat,” kata Petrus Yuniarto, Chief Marketing PT Cahaya Sakti Multi Intraco.

Banyaknya jumlah pemain rupanya tak menciutkan nyali Olympic untuk ikut merasakan manisnya “kue” pasar furnitur knockdown. Menurut Petrus, hal ini didasari oleh corporate positioning yang kuat, yakni sebagai perusahaan yang memberikan kualitas hidup yang lebih baik melalui desain produk yang inovatif dengan harga yang terjangkau.

Selain gencar mengkampanyekan produk knockdown-nya, Olympic juga tidak pernah berhenti menciptakan inovasi produk. Ya, situasi yang mereka hadapi sejak dulu hingga kini memang menuntut mereka untuk kreatif dan inovatif. Inovasi tersebut bisa dilihat pula dari kejelian Olympic masuk ke pasar yang baru dengan melirik segmen remaja alias ABG. Di segmen ini, Olympic secara khusus mendesain produk berlabel Chic & Hip dan Classy Pink.

“Data dari Majalah MARKETING Januari 2008 yang menyebutkan bahwa pasar konsumtif ABG antara 10-12 triliun per tahun, menginspirasikan Olympic untuk segera menggarap pasar ABG. Selain itu, populasi ABG berusia 13-18 tahun berjumlah 20 juta orang yang tersebar di 20 kota besar. Apalagi, ABG merupakan influencer yang sangat powerful sehingga perlu diperkenalkan secara dini,” jelasnya.

Ditambahkan Petrus, di Indonesia sendiri belum banyak pemain furnitur yang secara serius menggarap pasar ABG. Peluang inilah yang dimanfaatkan Olympic untuk menjadi penggerak pasar di lini tersebut. Bahkan, tak menutup kemungkinan sebagai market leader khusus produk ABG.

Olympic juga telah berhasil mengukir prestasi bagus di ajang lokal maupun internasional. Prestasi tersebut ditandai dengan keberhasilam mereka meraih Primaniyarta Award tahun 2006-2007, Indonesian Customer Satisfaction Award (ICSA) berturut-turut dari tahun 2002 hingga 2006, dan penghargaan sejenis lainnya. “Meski demikian, kami tetap melakukan promosi dan edukasi kepada masyarakat dari berbagai kalangan sehingga mereka mengenal lebih jauh produk Olympic,” tegasnya.

Strategi yang diterapkan Olympic dalam mengedukasi pasar misalnya dengan menggelar Lomba Rakit Olympic untuk beberapa kategori seperti anak-anak, selebriti, mahasiswa, dan jurnalis. Ditambah lagi dengan aktivitas bertajuk Olympic School to School yang bertujuan menanamkan brand Olympic sejak usia dini. Dalam program Olympic School to School, para siswa berperan sebagai media promosi produk.

“Di samping itu, Olympic juga membuat inovasi lain, misalnya pada outlet. Sejak Desember 2006 lalu, jumlah outlet Olympic mencapai 92 dari 130 target outlet. Padahal jangka waktu untuk mencapai target tersebut baru berakhir tahun 2008 nanti,” ungkapnya.

Untuk penetrasi ke berbagai daerah, Olympic didukung dengan sistem jaringan distribusi yang luas melalui regional manufacturing dan Depo Bangunan. Penyebarannya sendiri sudah sampai ke Pulau Jawa, Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan. Selain dijual oleh hampir semua toko funitur, Olympic juga melayani penjualan secara online sehingga memberikan kemudahan berbelanja bagi pelanggan.

Sementara itu, Olympic pun mulai “menancapkan kukunya” ke negeri seberang sejak tahun 1989. Kini sudah 100 negara di 5 benua yang dipasok Olympic. Tidak tanggung-tanggung, jumlah volume ekspornya lebih dari 100 kontainer per bulan, dengan maksimum kapasitas sebesar 200 kontainer per bulan.

Aktif mengikuti pameran produk di luar negeri merupakan salah satu entry mode mereka. Komunikasi dengan Badan Pengembangan Ekspor Nasional (BPEN) pun senantiasa dijalin dengan baik, termasuk juga dengan KBRI dan asosiasi furnitur. Tentunya, mereka pun melakukan kunjungan ke negara tujuan ekspor secara kontinu.

“Internasional marketing Olympic rata-rata tumbuh 20% per tahun. Kami pun sering menyelenggarakan pameran di luar negeri untuk mendongkrak awareness Olympic. Pameran dilakukan empat kali dalam setahun di berbagai negara seperti Malaysia, Korea, Afrika (Sudan dan Tanzania), serta Dubai. Sedangkan untuk market share Olympic di antara eksportir Indonesia sekitar 20%,” akunya.

Petrus menambahkan, untuk mengepung pangsa pasar furnitur nasional yang marak dengan kompetitor, mereka mengeluarkan strategi multibrand. Jadi, selain Olympic, PT Cahaya Sakti Multi Intraco juga mengeluarkan merek lain seperti Solid, Albatross, Furnimart, dan lainnya. Masing-masing brand membidik segmen yang berbeda-beda.

Sementara dari sisi komunikasi, Olympic terlihat paling gencar beriklan dan melakukan kegiatan promosi lini bawah. Di above the line, TVC Olympic menggunakan endorser Jaja Miharja. Sedangkan untuk below the line, selain menggunakan brosur, poster, spanduk, dan baliho, mereka juga memanfaatkan transportasi kereta api untuk ruang pameran Olympic.

Nah, dengan semua aktivitas itu, siapakah yang tak kenal dengan Olympic? Hampir bisa dipastikan semua kalangan usia di Indonesia mengenal merek ini. Wajarlah pula kalau perusahaan ini dinobatkan sebagai pemenang kategori “Innovation in Marketing” dan “International Marketing” di ajang Marketing Award 2008.

Fisamawati
Majalah MARKETING

Read More......

Rata-rata Tumbuh 50% Lebih!

Memosisikan diri sebagai one stop shopping lifestyle, gerai ritel seluler Oke Shop berhasil men-drive pasar.

Sepak terjang Oke Shop terbilang luar biasa. Pasalnya, kendati baru diluncurkan tahun 2000, merek ini sudah memiliki 770 gerai yang tersebar di 141 kota di Indonesia. “Oke Shop merupakan one stop shopping lifestyle dalam menyediakan handset semua merek, aksesoris ponsel, handphone, nomor telepon, dengan nilai tambah servis,” kata Sugiono Wiyono, President Director PT Trikomsel Oke.



Oke Shop juga merupakan gerai ritel seluler terbesar di Asia yang mengemban konsep multibrand dan multioperator. Gerainya menjual berbagai merek internasional seperti Nokia, Sony Ericsson, Samsung, Motorola, HTC, dan 6 operator seluler di Indonesia. Selain itu, Oke Shop juga memberikan layanan nilai tambah dan mobile content.

Dengan berbekal 11.000 jaringan distribusi, mereka mampu memasarkan produk dari kota besar hingga kota kabupaten. Tak heran jika Oke Shop menjadi andalan Trikomsel yang memberikan kontribusi terbesar. Merek ini memosisikan diri di pasar sebagai leading distributor dengan cakupan terluas, opsi produk yang lebih lengkap, serta memberikan nilai tambah lebih kepada konsumen dibandingkan dengan kompetitor.

Sugiono menuturkan, rata-rata pertumbuhan penjualan Oke Shop dalam tiga tahun terakhir mencapai 50% lebih. Tentunya, pencapaian itu dibarengi dengan strategi edukasi pasar yang diusung perusahaan. “Sepanjang tahun 2007-2008, kami bekerja sama dengan principal dan operator untuk melakukan berbagai kegiatan edukasi pasar yang berhubungan dengan penggunaan handphone.”

Contohnya, melakukan pengenalan akan layanan Oke Plus berupa mobile content pada gerai-gerai mereka, terutama gerai yang memiliki luas yang lebih besar dibandingkan pesaing. Dengan pengenalan produk Oke Plus yang mengarah pada multimedia, konsumen dapat melakukan beragam transaksi yang berkaitan dengan handphone.

Menurutnya, ini merupakan layanan pertama di Indonesia yang ditawarkan kepada konsumen untuk jenis gerai independent retailers. Dari sisi gerai, Oke Shop memiliki beberapa tipe gerai, yakni: flagship, lifestyle, island, shop in shop, dan midistore. Pada gerai flagship, selain memberikan value added services, Oke Shop menawarkan kenyamanan berbelanja kepada konsumen.

“Oke Shop juga memperkenalkan konsep gerai yang lebih modern dan luas dengan basis lifestyle. Di sana konsumen bisa menikmati pembelian handphone dan berbagai produk termasuk Oke Reload, Oke Plus, Oke Net sampai layanan pembayaran dengan kartu kredit ‘Cashless Society’ dan fasilitas cicilan tanpa bunga,” ungkapnya.

Tentunya, tambah Sugiono, konsumen akan merasakan suasana layanan dan kenyamanan yang berbeda pada saat mereka berbelanja di Oke Shop. Sesuai dengan motto “Gaya hidup, personalisasi dan kemudahan berinteraksi”, di sana life demo dengan penggunaan ponsel asli diberlakukan, dan juga ada pengalaman unik melalui live interaction.

Keberhasilan Oke Shop meraih penghargaan “Market Driving Company” pada Marketing Award 2008, tidak terlepas dari strategi pemasarannya. “Kami bekerja sama dengan dengan beragam institusi keuangan ternama baik nasional maupun internasional. Saat ini, kami satu-satunya gerai yang mendapatkan fasilitas EDC server-to-server dengan Citibank,” ucapnya bangga.

Dengan fasilitas ini, maka implementasi program bisa dilakukan dengan cepat dan seragam di seluruh jaringan Oke Shop, serta memakai teknologi GPRS sehingga tidak terganggu dengan kekurangan line telepon di daerah. Selain itu, Oke Shop juga melayani pembelian secara online melalui situs dan layanan antar (delivery).

Berbagai kegiatan pemasaran yang sifatnya konvensional pun digerakkan melalui pemasangan iklan di media cetak dan elektronik—di samping brosur, flyer dan spanduk. Di non konvensional, Oke Shop menyelenggarakan kampanye yang dikemas secara kreatif melalui penggunaan SMS Blast & Email Blast.

“Kami pun mengadakan konser musik untuk mempromosikan Oke Plus, lomba cheerleader contest saat peresmian gerai Oke Shop di Bandung, dan lomba menulis untuk jurnalis,” ujar Sugiono. Diimbuhkannya, untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat, mereka melakukan radio roadshow program, radio quiz program, mensponsori turnamen olahraga, serta menyelenggarakan acara dealer gathering yang pertama di industri ponsel.

Oke Shop pun melebarkan sayap hingga ke pasar internasional. Melalui Oke Reload, dapat dilakukan penjualan pulsa kepada Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang berada di luar negeri terutama pada beberapa negara tetangga, termasuk Singapura, Malaysia, Hongkong, China, dan Dubai.

“Ke depannya, Oke Shop juga tengah mengembangkan kerja sama dengan perusahaan di Filipina dan Malaysia untuk transfer pulsa dengan memakai Oke Reload sebagai flatform-nya. Ini adalah inovasi terbaru di dunia telekomunikasi,” ujarnya.

Fisamawati
Majalah MARKETING

Read More......

06 Oktober 2008

Alfamart, Luar Biasa!

Strategi pemasaran Alfamart memang layak mendapat ajungan jempol. Mereka berhasil memenangkan hati pelanggannya lewat dukungan TI dan penerapan strategi experiential marketing.

Persaingan yang ketat di minimarket, membuat Alfamart harus memutar otak. Maklum saja, dalam jarak yang tak berjauhan pasti ada minimarket kompetitor yang siap menghadang. Apalagi, mulai dari segmen hingga tata ruangnya pun tidak jauh berbeda karena lingkup bidang usahanya memang sama. Salah satu yang bisa membedakan hanyalah fasilitas, servis, dan pelayanan kepada konsumen.



Faktor inilah yang melandasi Alfamart untuk tampil beda. Contohnya pada Kartu AKU (Alfamart-ku). “Dengan adanya Kartu AKU, Alfamart mencoba memberikan pelayanan terbaik bagi pelanggannya. Bagi anggota pelanggan yang telah memiliki kartu AKU bisa memanfaatkan keuntungan-keuntungan berbelanja di Alfamart,” kata Velina Yulianti, Marketing & Business Development Director, PT Sumber Alfaria Trijaya.

PT Sumber Alfaria Trijaya, selaku pemegang brand Alfamart, merupakan perusahaan nasional yang bergerak dalam bidang perdagangan umum dan jasa eceran yang menyediakan kebutuhan pokok sehari-hari. Perusahaan ritel yang berdiri pada 22 Juni 1999 ini membidik target konsumen dari kelompok middle-class (SES B & C).

Kartu AKU adalah kartu anggota yang diberikan jika pelanggan telah memenuhi ketentuan yang disyaratkan Alfamart. Benefit yang diperoleh pelanggan dari kartu ini antara lain: HematKu, berupa potongan harga hemat atau bonus produk tertentu; SpesialKu, berupa program penjualan produk ekslusif dengan harga spesial; dan HadiahKu, berupa program hadiah langsung atau undian. Pemilik kartu ini juga bisa mendaftar ke website Alfamart untuk memeriksakan jumlah poinnya.

Dijelaskan Velina, adanya program Kartu AKU merupakan efek dari penerapan teknonogi informasi (TI) yang dilakukan tim Alfamart. Keuntungan dari pemanfaatan TI tersebut pun sangat signifikan, khususnya pada sistem marketing. “Program membership dalam bentuk Kartu AKU telah dapat memanfaatkan data mining yang ada untuk lebih memberikan layanan yang sifatnya one-to-one marketing,” lanjutnya. Dengan demikian, konsumen pun bisa merasakan adanya sentuhan personal dari Alfamart.

Contoh implementasinya, sebelum pelanggan bertransaksi, kasir pasti akan menanyakan Kartu AKU dan menawarkan produk-produk tertentu sebagai promosi. Lewat cara itu, diharapkan akan tercipta memorable experience dalam benak pelanggan. “Ini adalah gimmick yang khas di Alfamart,” klaimnya.

Alfamart juga gencar menerapkan experiential marketing yang bertujuan untuk menimbulkan pengalaman dan sensasi dari konsumennya. Bukti nyata yang telah mereka lakukan adalah program sales promotion dengan tema “Kejutan Belanja Gratis”. Dalam program ini, konsumen yang berbelanja dengan nominal tertentu dan beruntung, akan mendapatkan kejutan hadiah uang pada saat transaksi.

Selain itu, ada pula pemberian kue ulang tahun bagi member Kartu AKU yang berulang tahun. “Meski bujetnya tidak terlalu besar, tetapi impaknya bagi konsumen sangat terasa. Konsumen yang mendapat kejutan ini, biasanya surprised. Selanjutnya, konsumen tersebut akan semangat belanja di Alfamart serta memosisikan dirinya sebagai ‘volunteer’ untuk mempromosikan Alfamart dari mulut ke mulut,” ungkap Velina panjang lebar.

Wajar saja jika slogan “Belanja puas, harga pas” begitu melekat di benak jutaan pelanggan mereka. Program yang ditawarkan merujuk pada benefit yang akan didapat pelanggan itu sendiri. Dijelaskannya, kesuksesaan Alfamart juga didukung hasil pengumpulan data informasi dari secondary data dan primary data. “Melalui metode FGD (Focus Group Discussion), kami mengembangkan strategi pemasaran yang lebih efektif,” imbuhnya.

Segudang prestasi pun telah ditorehkan Alfamart. Antara lain Best Brand Equity Gainer Award 2006; Golden Franchise Award 2006, ISO 9001:2000; MURI Award; Hot Brand in 2007; Top Brand 2008; dan Indonesia Best Brand Award 2008. Belum lagi competitive advantage, bahwa Alfamart merupakan satu-satunya minimarket yang memiliki program membership; peraih Store Equity Index tertinggi di antara seluruh format ritel; serta Alfamart sebagai payment point—hasil kerja sama dengan FIF.

Alfamart juga memiliki program CSR (Corporate Social Responsibility) yang terorganisir dalam wadah “Alfamart Care”. Kegiatan CSR tersebut dijalankandengan melakukan pendekatan ke pihak sekolah, lembaga keagamaan, lembaga sosial, maupun instansi pemerintahan. Untuk mengomunikasikan program CSR tersebut kepada konsumen, mereka memasang poster serta menempatkan flyers di seluruh jaringan Alfamart.
Kegiatan sosial Alfamart terdiri dari bidang pendidikan, kesehatan, keagamaan, kebersihan dan keindahan lingkungan, dan bencana lokal atau nasional. “Ke depan dalam rangka CSR di bidang lingkungan, Alfamart akan mengganti kantung plastik dengan kantung yang mudah didaur ulang. Ini bertujuan untuk mendukung kampanye global warming,” ucap Velina.

Ia menegaskan, Alfamart tak hanya memfokuskan diri untuk memenangkan hati pelanggan, tapi juga memenangkan hati masyarakat di seluruh Indonesia melalui program-programnya. Pantas saja, berkat keberhasilan strategi pemasaran mereka, Alfamart berhasil membawa pulang tiga penghargaan sekaligus di ajang Marketing Award 2008, yaitu: “The Best IT in Marketing”, “The Best in Experiential Marketing”, dan “The Best in Social Marketing”. Luar biasa!

Fisamawati
Majalah MARKETING

Read More......

Adu Kuat di Pasar Bedak Gatal

Dari generasi ke generasi, kemasan Caladine dan Herocyn tak pernah berubah. Kedua merek pun sama-sama jadi legendaris. Lantas, apa perbedaan strategi mereka?

Dahulu, hampir sebagian besar orangtua sering menganjurkan anaknya untuk menggunakan bedak talcum atau powder. Kegunaan bedak tersebut diyakini bisa melindungi kulit dan menyerap keringat yang berlebihan. Nah, dari sekian banyak produk bedak gatal, ada dua merek yang amat dipercaya dan menjadi pilihan mereka, yaitu Caladine dan Herocyn.



Di pasar pun Caladine dan Herocyn terus saling kejar-kejaran dalam memimpin pasar sampai saat ini. Sedikit merujuk pada sejarah, Caladine hadir pada tahun 1970-an. Waktu itu Eddy Joesoef, seorang ahli dermatologi, berkeinginan memproduksi obat-obatan. Lalu, tercetuslah ide untuk membangun sebuah perusahaan farmasi.

“Dalam rentang waktu tersebut, kami telah berhasil membina kepercayaan dan kerja sama dengan banyak pihak. Hingga akhirnya, kami mendapat pengakuan sebagai industri obat yang mengutamakan mutu,” kata Eva Situmeang, Head of Sales & Marketing Product Skin Care PT Galenium Pharmasia Laboratories.

Tak lama kemudian, tepatnya tahun 1979, Herocyn muncul dan memasuki pasar skala nasional meski telah diluncurkan sejak tahun 1975. Awalnya Herocyn merupakan sebuah produk home industry asal Surabaya. Namun, menurut Panjang Gunawan, Marketing Director PT Coronet Crown Pharmaceutical Industries, sesuatu yang dibangun dengan tahapan-tahapan yang teruji pasti akan bertahan. Sebaliknya, jika dibandingkan dengan sesuatu yang cepat, tingkat kegagalan dalam mempertahankannya juga besar.

Tak bisa dimungkiri, saat ini pasar bedak gatal cukup menjanjikan di tengah berkembangnya teknologi obat-obatan. Kuenya pun harus dibagi. Untuk itu, Caladine menyiasatinya dengan mengeluarkan rangkaian produk highlight lain dalam bentuk lotion dan cream, di samping powder. “Pada dasarnya, fungsinya tetap sama. Caladine Powder untuk mencegah dan mengobati biang keringat, Caladine Lotion mengatasi gatal akibat alergi, sedangkan Caladine Cream untuk mengatasi gatal akibat gigitan serangga,” ujar Eva.

Berbeda dengan Caladine, Herocyn dari tahun ke tahun hanya diproduksi dalam bentuk powder saja. “Inilah keunggulan Herocyn dibandingkan kompetitor. Kami selalu berusaha menjaga isi atau komposisi Herocyn dari 30 tahun silam hingga sekarang. Terbukti, sudah dua generasi pasar yang menggunakan Herocyn sebagai solusi mengatasi gatal,” klaim Panjang.

Kemasan “Jadul”
Untuk mempertahankan hati konsumen, kedua merek tersebut sama-sama mengandalkan kemasannya yang “jadul” alias zaman dulu. Artinya, sejak keluar pertama kali hingga kini, kemasan kedua produk itu tak berubah. Ciri khasnya, Caladine tampil dengan gambar kemasan yang penuh “taburan bunga” di setiap varian produknya, sementara Herocyn setia pada bentuk kaleng panjangnya.

“Menurut survei yang dilakukan, hal-hal yang diingat konsumen terhadap Caladine adalah bunganya. Sehingga, kami memutuskan untuk mempertahankan citra tersebut sebagai kekuatan merek Caladine. Selain itu, ini memberikan kemudahan dalam mengomunikasikan Caladine secara turun-temurun,” papar Eva.

Demikian pula halnya dengan Herocyn. Panjang menceritakan, ada beberapa alasan mengapa kemasan Herocyn tidak berubah. Pertama, bentuknya sudah sangat familiar di benak konsumen, khususnya ibu-ibu. Kedua, kemasannya mudah digenggam karena sesuai ukuran tangan. “Terakhir, ini merupakan amanah dari owner agar bentuk asli Herocyn tidak diubah. Kalau pun ingin membuat bentuk lain, hanya boleh diaplikasikan pada produk baru seperti Herocyn khusus bayi,” tambahnya.

Di pasar, Herocyn kokoh dengan mengusung slogan “Herocyn selalu setia menemani keluarga Indonesia”. Karena itu, positioning-nya jelas, yakni bedak kesehatan kulit bagi ibu, ayah, anak, serta cucu yang berusia lima tahun ke atas. “Herocyn membidik segmen middle-low,” ujar Panjang.

Tentu saja, baik Caladine maupun Herocyn menyiapkan strategi khusus untuk mengomunikasikan keunggulan produk mereka. Caladine, misalnya, memiliki direct marketing yang khusus menyukseskan program edukasi secara langsung ke masyarakat. Biasanya, program tersebut dikemas secara tematik dari tahun ke tahun. Contohnya, tahun ini tema yang diusung adalah “Caladine produk kecintaan ibu”.

Jadi, tambah Eva, edukasi Caladine sekarang sifatnya saling berintegrasi satu sama lain. “Kami gencar melakukan kampanye dari dahulu hingga sekarang, hanya caranya saja yang sedikit berbeda. Kami tidak hanya mengandalkan above the line sebagai sarana edukasi, tetapi merambah ke below the line juga,” ujarnya.

Target utama Caladine adalah golongan ABC+. Dalam hal ini, Caladine membidik ibu rumah tangga yang berusia 25 tahun ke atas. Eva menambahkan, dengan membidik ibu-ibu, otomatis anggota keluarganya pun ikut menggunakan. Ini mengacu pada sifat dasar kepedulian sang ibu terhadap keluarganya, termasuk urusan bedak. “Harga yang ditawarkan pun terjangkau karena segmen yang dituju sesuai, jadi tidak ada masalah.”

Serupa dengan Caladine, Herocyn melakukan promosi melalui iklan di lini atas maupun bawah. “Komunikasi produk, tentu saja menggunakan media publikasi yang ada. Untuk TVC sendiri, skalanya bisa nasional atau lokal. Begitu juga iklan di radio-radio swasta yang disesuaikan dengan kebutuhan wilayah, serta kegiatan kemanusiaan, khususnya untuk sektor masyarakat middle-low,” ungkap Panjang.

Promo Herocyn dilakukan secara berbeda dengan kompetitor. Tujuannya jelas untuk menarik minat konsumen. Lebih lanjut, Panjang mengatakan, aktivitas promosi yang dilakukan Herocyn juga diimbangi oleh sistem pendistribusian yang jelas. Baginya, pendistribusian yang baik dan terpadu bisa mendongkrak hasil penjualan produk.

“Herocyn didistribusikan secara nasional, dengan dukungan tiga distributor yang berpusat di Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Ditambah bantuan dari subdistributor lain, Herocyn mampu mendominasi di luar Pulau Jawa, di antaranya Sulawesi, Kalimantan Timur, Sumatera, Kupang. Bahkan, pemasaran Herocyn pun sudah sampai ke Malaysia dan Arab Saudi,” akunya.

Tak mau ketinggalan, Caladine pun merangsek coverage distribusi di setiap wilayah Indonesia, mulai dari kota hingga pelosok daerah. Eva memastikan, produk Caladine bisa didapat di mana saja, baik pasar modern, tradisional, maupun farmasi. Untuk memikat konsumen, Caladine juga memberikan promo berupa ekstra isi 25%.

Inovasi Produk
Tidak sebatas itu saja, kedua merek itu merasa perlu untuk terus berinovasi. Selain mengeluarkan produk dalam bentuk lotion dan cream, Caladine menambahkan komposisi calamine, zinc oxide, camphor, menthol, serta parfume. “Meski termasuk kategori medicated powder, kami ingin memastikan bahwa Caladine aman digunakan setiap hari. Oleh karena itu, kandungan calamine di sini berfungsi memberikan rasa dingin dan melindungi kulit dari infeksi,” tandas Eva. Aroma Caladine diformulasikan khusus sehingga tidak berbau obat.

Begitu pula Herocyn. Merek ini telah melakukan inovasi di tingkat sumber daya manusia dan peralatan mesin produksi. Herocyn juga meluncurkan produk pendamping, misalnya Herocyn khusus bayi. Di dalam komposisinya ditambahkan menthol untuk memberikan rasa sejuk pada kulit. “Kami menyadari bahwa Indonesia termasuk daerah tropis sehingga perlu suasana dingin,” kata Panjang.

Berkat semua strategi itu, Herocyn kini menangguk pertumbuhan penjualan sekitar 15% per tahun, setidaknya dalam dua tahun terakhir. Sementara Caladine mengklaim mampu membukukan pertumbuhan hingga 20% per tahun. Hasil ini tidaklah jauh berbeda dengan data Top Brand Index (TBI) 2008. Dalam TBI, Caladine memperoleh indeks 36,3%; sedangkan Herocyn 27,5%.

Panjang berharap pada tahun-tahun mendatang pihaknya bisa mempertahankan atau jika mampu meningkatkan daya jual Herocyn. Keinginan serupa juga diungkapkan Eva. Tampaknya, pertarungan antara kedua merek ini bakal tetap menarik untuk disimak.

Fisamawati
Majalah MARKETING

Read More......

24 September 2008

Olga Lydia: Hati-hati Menjaga Brand Image

Siapa yang tak kenal dengan sosok artis dan presenter cantik bernama Olga Lydia? Selain menekuni dunia keartisan seperti presenter, pemain sinetron bahkan layar lebar, lulusan Teknik Sipil dari Universitas Parahyangan Bandung ini juga punya banyak pekerjaan sambilan. Salah satunya adalah bisnis franchise.

Olga saat ini mengelola tiga jenis usaha, yakni studio rekaman amatir dan les vokal Rumah Bintang; tempat biliar La Forca; dan resto Poke Shusi. “Ketika semua orang mengajak untuk bekerja sama, sebelumnya mereka sudah tahu keinginan saya ke arah mana. Jadi, persepsi yang dimaksud bisa sejalan,” kata kelahiran Jakarta, 4 Desember 1976 ini.



Perempuan yang melejit sebagai pembawa acara Republik Mimpi ini mengatakan, semua itu terbentuk karena brand image yang melekat pada dirinya. Olga mengaku tidak punya trik khusus dalam membangun brand-nya. “Saya melakukan semua pekerjaan berdasarkan interest saya sendiri. Saya tertarik dan perhatian terhadap lingkungan hidup dan masalah sosial. Untungnya, hal itu sesuai dengan image yang ada di masyarakat terhadap diri saya,” ucap pemain film 12 AM ini.

Namun, ditambahkan pemilik tinggi badan 171 sentimeter ini, brand image bisa membawa keberuntungan atau sebaliknya. Maklum saja, keterlibatannya di berbagai bisnis menuntutnya untuk berhati-hati dalam membawa diri. “Contohnya di Poke Shusi. Jika pelayanan di restoran tersebut tidak ramah, maka nama saya yang kebawa-bawa. Karena masyarakat mengenal saya sebagai public figure, jadi semua dikait-kaitkan, baik bagus dan jeleknya,” ujarnya mengakhiri obrolan.

Fisamawati
Majalah MARKETING

Read More......

Heru Gunadi: Dua Lampu Sekali Datang

Jika bekerja sebagai pilot atau pramugari pada perusahaan transportasi udara, sudah pasti Anda bisa menjejakkan kaki ke sejumlah kota, baik lokal maupun mancanegara. Tapi, ternyata dengan bekerja di perusahaan lampu pun Heru Gunadi bisa merasakan hal yang sama.



“Ketika ada event peluncuran produk baru, sudah pasti saya ke luar kota untuk mempromosikan produk tersebut. Ini pengalaman yang mengasyikkan. Karena dari kunjungan itu saya jadi tahu bagaimana suasana daerah dan merasakan masakan khasnya,” ucap Marketing Communication Manager PT Philips Indonesia ini.

Ditambahkannya, secara otomatis dia bisa mengetahui karakter dan budaya di tiap-tiap daerah. Dari kebiasaan masyarakat setempat, ia bisa membuat rencana program launch dan event-event Philips agar hasilnya memuaskan, baik jalannya acara maupun pendongkrakan produk. “Tinggi-rendahnya minat masyarakat terhadap produk, ditentukan dari program tersebut. Jika acara berhasil dan ‘menyentuh’ masyarakat setempat, maka kemungkinan besar produk bisa diterima,” ujarnya.

Pria yang mengawali kariernya di perusahaan otomotif ini, mengaku sekarang bisa merasakan dinamisnya bidang pekerjaan yang digelutinya selama enam tahun. Segala tantangan pun dihadapi. “Intinya bagaimana membuat orang berkonsentrasi pada lampu. Minimal, seseorang membeli dua lampu sekali datang. Maksudnya satu untuk digunakan saat itu, dan satu lagi untuk cadangan,” terang pria kelahiran 15 April 1977 ini.

Fisamawati
Majalah MARKETING

Read More......

Walau Telat, Peluang Masih Terbuka

Setelah menghilang pada akhir 1990-an minuman isotonik, Gatorade belum lama ini muncul kembali. Apa strateginya agar tidak hilang untuk kedua kalinya?

Bagi penggemar minuman sport, nama Gatorade tentunya sudah tidak asing di telinga mereka. Maklum, produk sport drink keluaran Pepsi ini masuk dalam peringkat satu skala dunia dan dijual di lebih dari 80 negara.



Namun, banyak yang menanyakan mengapa Gatorade “Hadir kembali”—begitu slogan yang diusungnya—di Tanah Air setelah hengkang pada akhir 1990-an. Padahal, saat ini produk minuman isotonik sudah penuh sesak oleh berbagai merek. Sebut saja Pocari Sweat, Vitazone, Mizone, dan masih banyak lainnya.

“Tepatnya dua tahun lalu, Pepsi Cola membawa lagi Gatorade ke pasar Indonesia. Waktu itu, ada beberapa alasan Gatorade tidak dipasarkan, salah satunya adalah kondisi perekonomian di Indonesia yang tidak stabil,” terang Amit Bose, Marketing Director PT Pepsi Cola Indobeverages.

Bose—begitu ia biasa disapa—percaya kehadiran Gatorade di Indonesia bisa diterima dengan baik. Apalagi, lanjutnya, Indonesia sendiri masuk ke dalam kategori pasar minuman isotonik terbesar di Asia. Oleh karena itu, meskipun kedatangannya tergolong telat dibandingkan kompetitor, ia tetap optimistis. “Gatorade tetap punya potensi penjualan yang tinggi. Itulah sebabnya, Pepsi Cola me-relaunch Gatorade di sini,” imbuhnya.

Sekadar mengingatkan, minuman isotonik Gatorade ini pertama kali ditemukan oleh Dr Robert Cade dan rekan-rekannya. Ide menciptakan minuman isotonik bermula saat dirinya mengamati tim sepak bola di kampusnya. Cade menemukan fakta bahwa setelah bertanding selama tiga jam, setiap pemain rata-rata kehilangan 8 kg kandungan air atau sekitar 90-95% di bagian tubuhnya.

Gatorade muncul pada tahun 1965 di Florida. Produk ini merupakan minuman yang diformulasikan secara ilmiah, yang dapat menghilangkan dahaga serta mengembalikan cairan tubuh dengan campuran unik bersumber dari karbohidrat dan elektrolit. Gatorade diklia sebagai market leader di kategori minuman sport, khususnya minuman isotonik.
Meski berjaya di luar negeri, upaya memasarkan Gatorade di sini tidaklah mudah. Pasalnya, tak banyak masyarakat yang mengingat Gatorade secara utuh. Di benak mereka mungkin masih ada yang ingat bentuk iklannya tapi lupa nama mereknya, atau sebaliknya. Untuk itu, terang Bose, Gatorade mengubah bentuk iklan dan kemasannya.

Ada dua cara yang digunakan Gatorade dalam strategi komunikasinya. Pertama, menginformasikan serta mendidik masyarakat tentang keunggulan Gatorade, baik dari sisi manfaat maupun teknik pembuatannya yang berdasarkan teknologi laboratorium. Kedua, memperkenalkan lebih lanjut kepada masyarakat bahwa Gatorade sudah hadir kembali dan tersedia di Indonesia.

Ini dilakukan dalam berbagai bentuk promosi, baik lewat media massa dan aktivitas tertentu, misalnya berpartisipasi dan menjadi sponsor dalam event yang berkaitan dengan olahraga seperti sepak bola dan basket. “Selain itu, kami menjalin kerja sama dengan beberapa fitness center,” paparnya.

Tidak mau tanggung-tanggung, Gatorade juga memperkuat image-nya sebagai minuman isotonik para juara dengan menggandeng Suryo Agung Wibowo—peraih medali emas cabang lari 100 meter di SEA Games 2007—sebagai duta atlet Gatorade Indonesia. Di tingkat dunia, duta Gatorade merupakan atlet-atlet terbaik di cabangnya. Umpamanya Maria Sharapova, atlet asal Rusia dari cabang tenis; Ronaldinho (Brasil) dan Frank Lampard (Inggris) dari cabang sepak bola; serta Tiger Woods, atlet berpenghasilan tertinggi di dunia dari cabang golf. “Kami fokus pada minuman sport, itulah kekhasan kami dibanding minuman isotonik lainnya,” kata pria asal India ini.

Dipaparkan Bose, sebenarnya pasar yang dibidik Gatorade tak sebatas kalangan atlet saja. Sebab, target market Gatorade secara umum adalah konsumen berusia 17-32 tahun. Biasanya, produk ini lebih banyak dikonsumsi oleh laki-laki daripada perempuan. Selain itu, Gatorade juga dikhususkan bagi konsumen yang memedulikan kesehatan serta memiliki aktivitas yang tinggi.

Lantas, bagaimana dengan rasa yang ditawarkan? Ada tiga varian rasa berbeda yang diperkenalkan ke publik, yaitu: orange grapefruit, lemon lime dan blue raspberry. “Kami pastikan di semua negara sama. Untuk warna tampilan Gatorade di Indonesia, kami pilihkan sesuai dengan penyebaran Gatorade di dunia. Di mana warna-warna tersebut telah ada sebelumnya,” ucapnya. Begitu pula untuk masalah harga, Gatorade mengikuti harga pasar yang beredar di masing-masing negara. Gatorade kemasan kaleng dijual seharga Rp 3.400, sedangkan kemasan dibanderol Rp 4.800.

Sejak peluncuran ulangnya Mei lalu, pemasaran Gatorade sudah merambah Jakarta. Produk ini bisa ditemukan di swalayan-swalayan dan secepatnya akan melakukan penyebaran distribusi secara nasional. Namun, saat disinggung tentang market share, Bose enggan menyebutkannya. “Kami baru memulai. Saya pikir masih terlalu dini untuk memetakan market share kami,” tegasnya.

Diakuinya, memunculkan merek yang pernah ada sebelumnya jauh lebih sulit dibandingkan membuat satu merek baru. Kesulitan itu berasal ketika memberikan pemahaman kepada konsumen bahwa Gatorade adalah yang terbaik. Untungnya, permintaan konsumen terhadap Gatorade masih tinggi.

“Pada saat menghilang dulu, dari data riset mengemukakan bahwa konsumen tetap mengenang hal-hal positif dari Gatorade. Bahkan, hal terkecil pun mereka masih ingat. Seandainya tidak ada citra positif di mata konsumen, mungkin kami mencanangkan slogan ‘Kami kembali’,” papar Bose.

Untuk mempertahankan eksistensinya di masa yang akan datang, dan belajar dari pengalaman sebelumnya, Bose mengatakan, antisipasi yang dilakukan adalah dengan menginvestasikan dana yang cukup besar di pasar Indonesia. “Adanya dukungan financial, promosi, brand, dan potensi pasar yang bergerak positif merupakan kombinasi strategis terbaik guna mempertahankan merek Gatorade,“ tandasnya.

Sementara itu, pengamat pemasaran Bambang Bhakti mengatakan bahwa peluang Gatorade saat ini masih terbuka, meskipun sudah didahului pemain sejenis. Ia menilai, alasan dasar Gatorade menghilang dulu lebih disebabkan krisis ekonomi semata. “Tapi, sekarang Gatorade bisa diuntungkan dengan kondisi pasar dewasa ini. Pasar minuman isotonik sudah banyak dididik sehingga memudahkan Gatorade dalam mengedukasi minuman isotonik,” ujarnya.

Hanya saja, tambah Bambang, Gatorade harus menguatkan positioning-nya agar bisa bersaing dengan kompetitor. “Apakah image ‘orang berkeringat’ hanya atlet saja? Bagaimana dengan pekerja yang letih? Pasti juga berkeringat. Ini harus dijelaskan Gatorade,” lanjutnya. Menurut Bambang, ada tiga strategi yang harus dilakukan Gatorade untuk menguasai pasar, yakni: sistem distribusi, tampilan kemasan di outlet, dan harga.

Fisamawati
Majalah MARKETING

Read More......

Wiradi: Marketer Dituntut untuk Punya “Ide Gila”

Setelah “berpetualang” di bidang operasional, ia dipercaya oleh manajemen untuk menangani divisi marketing. Apakah obsesinya dalam berkarier sebanding dengan kompensasinya?

Sudah lama Electronic City menjadi tempat bernaung bagi Wiradi. Hampir tujuh tahun General Manager Marketing Division Head PT Electronic City Indonesia ini bergabung di perusahaan tersebut. Awalnya, ia memulai karier sebagai purchasing barang elektronik, dengan level supervisor.



Kemudian, Wiradi dipercaya untuk menangani operasional toko Electronic City, mulai dari supervisor lapangan, kepala cabang di Jakarta dan luar Jakarta, sampai ke tingkatan kepala cabang untuk beberapa toko Electronic City. “Level kepegawaian saya adalah General Manager, sedangkan level struktural adalah Marketing Divison Head. Ini tahun ketiga saya di posisi tersebut,” katanya.

Ditambahkannya, berada di sekian banyak divisi yang ada di Electronic City, ia bertanggung jawab di divisi marketing. Di divisi itu, ia lebih banyak menangani masalah konsep dan ide-ide untuk pengembangan. “Saya sangat bersyukur, sebelum di posisi ini, saya sudah pernah menangani masalah operasional. Jadi, bisa membantu saya dalam melakukan pertimbangan saat membuat sebuah rancangan atau ide baru yang akan diimplementasikan.”

Wira—begitu ia biasa disapa—sekarang ini boleh berbangga diri. Kerja kerasnya yang dimulai dari titik nol akhirnya membuahkan hasil. Selain sukses di bidangnya, ia pun mahir me-manage karyawannya. “Saat ini saya membawahi 40 orang karyawan, level mereka dimulai dari helper sampai manager,” imbuhnya.

Seperti diketahui, Electronic City merupakan ritel yang menjual alat-alat elektronik dari berbagai merek mulai dari televisi, mesin cuci, komputer, kulkas, hingga kamera digital. Berdiri sejak 11 November 2001, perusahaan ritel ini sudah mempunyai 10 store di antaranya di SCBD, Kelapa Gading, Puri Kembangan, Karawaci, Bandung, Bali, Depok, Bogor, Medan, dan Bekasi.

Konsep Electronic City adalah mengembangkan toko elektronik modern dengan gaya pameran yang memberikan pelayanan terbaik, didukung oleh sumber daya manusia yang kompeten dan mitra usaha yang berkualitas untuk kepuasan customer.

“Dunia yang saya geluti sangat menarik dan dinamis. Electronic City menggabungkan konsep brand dan retail. Di mana segala sesuatu berjalan dengan ‘cepat’ sehingga setiap hari ada sesuatu hal baru dan menantang,” tambahnya. Lebih lanjut, Wira memaparkan, posisi marketer di industri ritel seperti yang diterapkan Electronic City masih terbilang langka. Karena biasanya, marketer atau brand specialist bertugas untuk melakukan branding terhadap sebuah produk— bukan sebuah toko atau ritel.

Sebagai pimpinan di divisi tersebut, Wira pun harus melaporkan segala sesuatu yang bekaitan dengan kinerjanya selama ini. “Saya langsung melapor pada Bapak Roy Santoso selaku BOD di Electronic City,” tegasnya. Untungnya, dalam menjalankan tugas, ia diberi kesempatan dan kepercayaan melakukan program-program yang ditujukan untuk pelayanan kepada customer.

Apalagi, Electronic City mengemban visi untuk menjadi perusahaan terkemuka dalam bisnis ritel elektronik dengan jaringan terluas dan termodern yang didukung pelayanan yang baik dan fasilitas yang lengkap. “Ini tertuang dalam slogan baru kami, yakni ‘Smart Way of Modern Shopping’ dengan sistem pelayanan one stop shopping yang mandiri,” imbuh alumnus Bina Nusantara jurusan akuntansi angkatan 1995 ini.

Tanpa Batas
Dalam tujuh tahun kariernya, sudah pastilah ada tinta emas yang telah ditorehkan Wira untuk perusahaannya. Namun, rupanya ia enggan menonjolkan diri sendiri. “Bila membicarakan prestasi saya pribadi rasanya kurang tepat. Mungkin lebih tepatnya, prestasi apa pun yang diukir Electronic City adalah sebuah prestasi dari keberhasilan tim. Karena sebagus apa pun ide dan program, tak akan berhasil jika tidak didukung dan dijalankan oleh tim di jajaran Electronic City, baik di garis depan maupun back office,” ucapnya dengan rendah hati.

Ia lantas menyebutkan beberapa prestasi yang pernah dilakukan timnya dalam beberapa tahun terakhir. Misalnya pembaharuan konsep toko, template iklan, tagline baru, call center, website, dan program sales yang terus-menerus sepanjang tahun dengan semua partner bank dan brand. Tapi, tegasnya, prestasi tersebut bukanlah akhir, melainkan sebuah “proses” yang akan terus dievaluasi dan disempurnakan. “Karena dinamika di industri ritel dan marketing sendiri adalah ‘even the sky is not the limit’,” ujar pria kelahiran Juli 1977 ini.

Sifat tanpa batas pun berlaku bagi kompensasi yang didapatnya. Meski enggan menyebutkan nilai nominalnya karena berbagai faktor, Wira masih mau menjelaskan hitungan kasarnya. Perhitungan itu dilakukan secara rutin plus Tunjangan Hari Raya (THR). Untuk bonus, ada dua perhitungan: target kolektif dan individu. “Kolektif dilihat dari pencapaian target toko, gross profit, dan budget. Sedangkan reward individu, dilihat dari target program divisi masing-masing seperti program membership dan sales program,” ungkapnya.

Sementara itu, sama halnya marketer lain, Wira pun harus mengagendakan meeting dengan berbagai pihak, baik di kantor maupun luar kantor. Waktunya biasanya ia jadwalkan sore atau malam hari. Selebihnya, ia melakukan pekerjaan di belakang meja seperti menuangkan ide, merapikan proposal dan paper work.

“Di pagi hari saya melakukan pekerjaan-pekerjaan yang memerlukan konsentrasi tinggi. Dengan adanya meeting, bisa sedikit demi sedikit mencair karena berinteraksi dengan mitra meeting,” tambah pria yang berdomisili di Tangerang ini.

Ada satu hal yang menjadi “wajib” baginya tiap hari, yakni membuka dan membaca koran. Kegiatan tersebut dilakukan pada saat berangkat atau pulang kantor. Tetapi, uniknya, bukan barisan tulisan berita maupun artikel yang dibacanya. Ya, ia lebih gemar membaca jajaran iklan yang terpampang di surat kabar itu. Diakuinya, tak jarang mendapat ide-ide baru dari iklan tersebut, meskipun melihatnya secara sepintas saja.

“Karena tantangan di dunia marketing, ke depannya akan banyak dibutuhkan ‘smart marketer to do smart marketing’. Seorang marketer dituntut untuk mempunyai “ide gila”, inovatif, dan kreatif. Di mana ini dilakukan tanpa adanya batasan kreativitas. Namun, marketer pun harus bisa mengukur efektivitas dari ide-ide tersebut. Singkatnya, seorang marketer juga harus bisa berhitung,” tandasnya mengakhiri wawancara.

Fisamawati
Majalah MARKETING

Read More......

Dinna Olivia: Dapat Tantangan Baru

Krisis kepercayaan diri pernah menghinggapi pada siapa saja, termasuk Dinna Olivia. Untunglah, artis cantik itu bisa cepat menyadari potensi dan bakatnya di dunia entertainment, yang kemudian mengantarnya sebagai “Pemeran Utama Wanita Terbaik” di ajang Indonesia Movie Award (IMA) 2008.

Bukan cuma itu. Gadis kelahiran 8 Februari 1983 ini juga dipercaya menjadi duta Kotex—merek pembalut wanita dari PT Kimberly-Clark Indonesia.



“Saya senang menjadi brand ambassador Kotex karena bisa mengekspresikan diri. Dari sini saya banyak mendapat arahan dan masukan positif untuk menunjukkan jati diri sehingga mengerti apa yang dimaksud smart, bold, and daring,” ungkap Dinna ketika dijumpai di EX Plaza Indonesia, Jakarta Pusat.

Untuk “peran” barunya itu, ia bakal mengikuti serangkaian kegiatan kampanye Kotex bertajuk “Be You” di beberapa kota besar, yakni Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya. Baginya, kegiatan kampanye tersebut menyenangkan karena bisa menjadi sarana sharing dengan remaja puteri lainnya.

Artis yang pernah membintangi sederet iklan seperti Sari Ayu, Ericsson T10s, dan Ferrero Roche Hong Kong ini juga mengaku suka akan tantangan baru. Lihat saja TVC Kotex terbaru. Di situ ada adegan Dinna menunggang kuda dengan memakai gaun panjang. “Padahal itu belum pernah saya lakukan sebelumnya,” ujar perempuan yang memiliki tinggi badan 172 sentimeter ini.

Akibatnya, ia harus menjalani kursus kilat menunggang kuda sekitar empat jam di lokasi syuting. Pemeran film Mengejar Mas Mas dan 30 Hari Mencari Cinta ini menjelaskan, awalnya ia harus mengerti gerak-gerik kuda, membelai dan mengajak bicara. Syukurlah, kuda yang menjadi “partnernya” tergolong jinak. Jadi, tidak ada adegan jatuh-jatuh...

Fisamawati

Read More......

Meski Ditiru, Tetap Tak Tergoyahkan

Di tengah maraknya follower di kategori produk cat semprot, Pylox tetap bertahan sebagai pemimpin pasar. Apa Kuncinya?

Masih ingat dulu masa ketika lulus SMP atau SMA? Waktu itu mungkin Anda atau teman-teman Anda pernah ikut menerapkan budaya tanda tangan pada pakaian seragam dengan menggunakan spidol dan cat semprot. Ada yang kemudian sampai memajang pakaian itu di kamar sebagai “benda bersejarah” peninggalan zaman sekolah.



Sewaktu menyusuri jalan di kota-kota besar pun Anda pasti pernah melihat coretan warna-warni cat semprot di dinding kosong, halte, metromini hingga tiang listrik. Entah itu tulisan nama gang ataupun kritik terhadap pemerintah. Namun, tidak selamanya cat semprot melulu dipakai untuk aksi coret-mencoret. Penggunaannya juga bisa untuk memodifikasi cat warna mobil, peralatan kayu, besi dan lain sebagainya.

Menilik kisah di atas, cat semprot atau sering disebut Pylox memang sudah sangat populer sejak lama. Jika ditanya merek cat semprot apa yang paling diingat, hampir pasti konsumen akan menjawab, “Pylox”. Maklum, saking kuatnya brand awareness yang dimilikinya, Pylox sudah berkembang menjadi merek generik.

Akan tetapi, agaknya tidak banyak yang tahu bahwa Pylox adalah sebuah merek besutan PT Nipsea Paint & Chemicals (Nippon Paint Indonesia). “Pylox diproduksi oleh Nippon Paint yang diperkenalkan Jepang ke Indonesia pada tahun 1968. Pabrik pertamanya di Ancol, Jakarta. Kemudian kami berturut-turut mendirikan tiga pabrik di Surabaya, Medan, dan Purwakarta,” kata Jon Tan, General Manager PT Nipsea Paint & Chemicals.

Diceritakannya, pada tahun 1960-an, Nippon Paint merupakan pabrik pertama yang memperkenalkan cat semprot di Indonesia. Kesuksesan merek Pylox dalam menggarap pasar, membuat banyak pemain lain tergiur untuk terjun ke bisnis ini. Maka, bermunculanlah followers di segmen cat semprot. Bukan itu saja. Hampir semua produk cat semprot tersebut menjalankan camouflage branding dalam upaya penetrasi pasar. “Produknya muncul di pasaran menggunakan merek dengan cara pengucapan yang hampir sama dengan Pylox,” jelas Jon.

Meski begitu, imbuhnya, para kompetitor yang mayoritas mengunakan merek lokal itu tidak mampu menandingi sang pionir. Masalah yang sering dialami brand lokal tersebut adalah kualitas produk itu sendiri. Misalnya waktu pengeringan yang lama, kerusakan pada panel spray, hingga kurangnya tekanan gas. Memang ada juga segelintir brand asing, tapi harga yang ditawarkan lebih mahal dan cuma dijual di toko-toko specialties seperti Ace Hardware, Depo Bangunan, dan Mitra 10.

“Banyak pemain di kategori ini seperti Krylon buatan USA. Selain itu, ada juga pemain lokal dan regional seperti RJ, Diton, dan Tiloc,” ungkap Jon. Ia menegaskan, sejak berdiri pada awal tahun 1970, Pylox sudah menjadi market leader (ia tidak mengungkapkan berapa persen share yang dikuasai). Walaupun kemudian banyak kompetitor yang nongol di daerah lain di Indonesia, namun mereka terhambat faktor geografis. Jadi, hanya leader di daerah tertentu. Sedangkan Pylox bermain di pasar nasional yang terbentang dari Medan hingga Papua.

Dalam sistem distribusi, merek ini menggunakan dan bekerja sama dengan berbagai distribution channels, yang didukung oleh empat pabrik. Ditambah dengan jaringan yang terdiri sekitar 15.000 retail points dari 30 lebih stock point yang ada. “Kami berani mengatakan bahwa Pylox ada di mana-mana, di seluruh Indonesia, sehingga Pylox mudah dijangkau konsumen,” klaimnya.

Sulit dibantah, Plylox berhasil menguasai pasar karena kualitas produknya. Kualitas memang menjadi perhatian utama mereka. Bayangkan, hingga saat ini pun banyak bahan pendukung untuk cat semprot Pylox diimpor langsung dari Jepang. Nippon Paint memusatkan diri pada produksi cat di Indonesia dengan varian produk cat semprot yang dapat digunakan pada produk otomotif, pelapis kayu, cat tembok, dan pelitur.

Saat ini, Nippon Paint menyediakan berbagai pilihan warna, baik solid maupun metalik. Jumlahnya mencapai 300 lebih varian warna. Dengan demikian, tutur Jon, bisa mengangkat citra pasar dari pabrik otomotif asal Jepang Indonesia—yang notabene menggunakan cat dari Nippon Paint—misalnya Honda, Suzuki, Yamaha, Mitsubishi, Daihatsu, dan lainnya.

“Setiap memperkenalkan varian warna baru untuk produk otomotif, kami juga membuatnya untuk versi Pylox. Tujuannya agar mempermudah pengguna, khususnya kalangan pecinta otomotif yang ingin memperbaiki atau memodifikasi varian warna kendaraannya sendiri,” jelasnya.

Lebih lanjut, Jon Tan mengungkapkan, Nippon Paint tetap percaya pada hal yang fundamental dalam hal produksi, yakni kualitas seperti yang disebutkan di atas. Ditambahkannya, mereka juga terus memastikan ketersediaan Pylox di pasaran—kapan pun dan di mana pun. Teknik lainnya adalah menciptakan kepercayaan kepada pelanggan untuk tetap menggunakan produk Pylox.

Bagaimana dari sisi harga? “Bentuknya menetapkan satu standar harga pada keseluruhan varian warna,” tuturnya. Pricing strategy ini ditetapkan semaksimal mungkin agar menjaga harga jual produk masuk akal serta mudah dijangkau konsumen. Untuk itu, Nippon Paint menerapkan subsidi silang pada kategori penjualan warna (dilihat dari faktor harga). Artinya, warna yang mahal akan menutupi harga jual kategori warna yang lebih rendah.

Uniknya, di balik keberhasilan merek Pylox, Jon mengaku bahwa promosi yang dilakukan hampir tidak ada. Mereka cuma mengandalkan word of mouth. Kuncinya sekali lagi terletak pada kualitas. Dan untuk menghasilkan itu, maka budget promosi digunakan untuk pengembangan serta peningkatan kualitas produk. Pylox juga selalu mengusahakan harga jual serendah mungkin tanpa mengenyampingkan kualitasnya.

Ke depan, Pylox akan melakukan inovasi-inovasi khususnya dalam hal produk. Ia mencontohkan, Pylox akan memperkaya varian warna baru, warna yang tahan lama, cat dengan waktu kering yang lebih cepat, serta smoother spray. “ Target kami adalah pertumbuhan di atas 10%,” katanya dengan lugas.

Fisamawati
Majalah MARKETING

Read More......

22 September 2008

Andy Iskandar: Perlu Customers Insight

Wanita merupakan pasar yang cukup menggiurkan bagi para marketer. Meski demikian, produk yang ditawarkan mesti didukung oleh strategi pemasaran yang tepat. Bila ingin sukses, sang marketer tentu harus memahami keinginan wanita.

Mungkin, gambaran di atas juga mewakili perasaan Andy Iskandar, Marketing Manager Feminine Care PT Kimberly-Clark Indonesia. “Sejak 10 tahun lalu, saya terjun ke dunia marketing di berbagai industri seperti mobil, biskuit, kecap, kosmetik, dan lainnya. Umumnya, semua yang saya pasarkan adalah produk wanita,” kata Andy.



Beragam pengalaman pun sudah dicicipinya. Tanpa sadar senyumnya mengembang mengingat kenangan tersebut. “Uniknya, sewaktu menangani produk kecap, saya tidak bisa masak. Pegang kosmetik pun tidak bisa mencoba. Apalagi sekarang, pegang Kotex juga tidak bisa pakai,” aku pria yang pernah bergabung di Toyota Astra Group, Arnott Biscuit, Kecap ABC, dan Martha Tilaar ini.

Inilah tantangan yang dihadapi pria kelahiran 19 Desember 1971 ini dalam memasarkan produknya. Ia menambahkan, bagaimana bisa presentasi sebuah produk tanpa dilatari pengalaman pribadi. Namun, keinginan Andy untuk mengaplikasikan knowledge sangat besar, meski bukan dari gendernya. Pada dasarnya, dunia marketing secara teori maupun praktik lapangan sifatnya sama. “Pastinya, saya harus tahu apa yang diinginkan konsumen dan mengerti apa kebutuhannya. Jadi, customers insight sangat diperlukan,” tandasnya.

Fisamawati
Majalah MARKETING

Read More......

Purnomo Prawiro: Perlakukan Karyawan sebagai “Manusia”

Slogan “Andal” dijadikan pedoman Blue Bird dalam memberikan service kepada pelanggan. Sang CEO juga berusaha memberikan contoh yang baik kepada bawahannya.

Sulit dibantah, di antara berbagai merek taksi yang beredar di wilayah Jakarta dan sekitarnya, diferensiasi taksi Blue Bird tampak begitu enonjol. Diferensiasi itu terletak pada sistem IT, database management, dan sistem renumerisasi mereka yang baik. Selain itu, dalam hal service, pengemudi Blue Bird juga terkenal lebih baik dan sopan ketimbang supir-supir taksi merek lain.



“Kami memfokuskan diri pada kepuasan pelanggan terhadap semua fasilitas layanan yang ada. Diharapkan, customer yang sudah merasakan pelayanan tersebut, dikemudian hari bisa mengulanginya lagi,” kata Purnomo Prawiro, President Director Blue Bird Group (BBG).

Untuk itu, menurutnya, dari tahun ke tahun pelayanan yang diberikan Blue Bird selalu meningkat. Ini disertai pula dengan tingginya keinginan dari pihak pelanggan terhadap pelayanan tersebut. Misalnya saja dengan memberikan pelayanan sebaik mungkin, bertambahnya layanan ekstra aman dan nyaman.

Kini, seiring perjalanan waktu, slogan Andal pun mereka luncurkan. Ya, Andal merupakan akronim dari: Aman, Nyaman, Mudah dan Personalize. Jadi, service-nya berkembang. Tidak lagi sekadar mengemban tugas mengantarkan pelanggan dari satu titik ke titik yang lain, tapi disesuaikan dengan permintaan customer. “Semua pelanggan memiliki keinginan yang berbeda-beda dalam segi pelayanan yang didapatnya. Kami berusaha memenuhinya sesuai banyaknya permintaan yang masuk dan pertimbangan cost-nya,” imbuh Purnomo yang didampingi Noni Sri Ayati Purnomo (Vice President Business Development) saat wawancara.

Selain kemudahan mendapatkan taksi Blue Bird di ruas jalan raya, untuk memudahkan pelanggan, perusahaan juga menempatkan armadanya di beberapa pangkalan seperti di bandara, mal, dan hotel. Jika ingin lebih mudah lagi, pelanggan bisa memanfaatkan fasilitas call center untuk order pemesanan taksi. Biasanya, dalam hitungan menit mereka sudah menerima nomor taksi dan siap dijemput. “Kami pun menyediakan credit voucher sehingga bisa memudahkan transaksi,” lanjutnya.

Menurut Purnomo, proses utama yang harus dilakukan sebelum memberikan service kepada pelanggan adalah peranan dari manusia di perusahaan tersebut—khususnya para pengemudi yang berjumlah kurang lebih 20.000 orang. Kemudian, berlanjut pada infrastruktur dan sistem manajemen. Oleh karena itu, sebagai atasan yang membawahi ribuan karyawan, ia berusaha memberikan contoh baik kepada bawahannya. Tak perlu susah-susah, cukup memberi ucapan “Selamat pagi” atau “Bagaimana hari ini?” kepada bawahan ketika berpapasan.

Dipaparkannya, slogan Andal tersebut harus diaplikasikan oleh karyawan BBG di semua tingkatan. Tak terkecuali atasan dengan back office, frontliners maupun dengan pelanggan. Jika semua karyawan—khususnya pengemudi—merasa nyaman dalam bekerja, maka hal ini akan berdampak pada pelayanan yang diberikan kepada pelanggan.

Purnomo mengatakan, service vision yang diterapkannya mengacu pada sistem top-down. Artinya, service yang baik harus dimulai pada tingkatan atas yang kemudian berlanjut ke bawah. Praktisnya, ia harus memberikan contoh kepada bawahannya: bagaimana memberikan pelayanan yang baik. Dengan harapan, bawahannya pun melakukan hal yang sama kepada pelanggan Blue Bird.

“Bagi customer, hal lain yang diperhatikan adalah visi dan misi yang diemban oleh sebuah taksi itu. Kemudian berlanjut pada image sang pengemudinya, baik keseluruhan atau perorangan,” paparnya. “Sebab, bagaimana seorang pengemudi mau memberikan service yang baik kepada customer, jika perusahaan tidak memperlakukan pengemudi itu sebagai ‘manusia’.”

Setelah membentuk service culture di BBG, ia pun menyadari benar, tidak mudah menyosialisasikan dan menerapkan kultur tersebut ke dalam diri setiap karyawannya. Faktor utama yang menjadi permasalahan adalah adanya keragaman budaya masing-masing individu. “Mereka harus merasa cocok dengan kultur yang diterapkan di BBG. Mungkin, jika dilihat turnover tiga bulan pertama masuk, banyak yang tidak cocok.”

Namun, Purnomo mengerahkan segala upaya untuk menerapkan kultur tersebut. Ia beralasan, adanya suatu sistem kultur yang seragam merupakan modal bagi Blue Bird untuk tetap bertahan di tengah maraknya serbuan kompetitor. Oleh karena itu, service tak hanya diberikan kepada pelanggan, tetapi juga ke pengemudi. Para pengemudi mendapat seragam, pinjaman motor, pinjaman rumah, asuransi kesehatan, dan sarana penunjang lainnya.

Blue Bird Group juga memberikan reward khusus bagi para pengemudi. Acara penghargaan yang diselenggarakan setiap dua bulan sekali ini dihadiri jajaran manajemen, direktur sampai komisaris. “Reward diberikan untuk pengemudi yang melakukan pengembalian barang milik customer yang tertinggal atau disebut ‘barket’, pengemudi dengan jumlah komplain terkecil, dan lainnya,” ujar pria kelahiran Surabaya, 18 Oktober 1947 ini.

Untuk memonitor service yang telah diberikan oleh pengemudi, perusahaan tak perlu bersusah payah. Teknologi IT yang canggih bisa memudahkan pengawasan dan pengumpulan data dari tiap-tiap pengemudi. Data prestasi pengemudi pun bisa dilihat dari banyaknya komplain yang datang dari customer. Alhasil, jika ada pengemudi punya reputasi buruk dan dikeluarkan dari Blue Bird, maka ia tak bisa bekerja di pool BBG manapun. “Istilahnya, jangan sampai kesalahan satu orang bisa merusak nama baik kami,” tegasnya.

Namun, untuk menjangkau pengawasan hingga ke tingkat bawah, Purnomo punya cara tersendiri. Cukup dengan menjalankan sistem komunikasi dengan pengemudi. Menurutnya, komunikasi ini terlihat mudah, tetapi sulit untuk dilaksanakan karena waktu yang tersedia relatif singkat. Soalnya, para pengemudi lebih banyak menghabiskan waktu di jalan daripada di pool.

Setiap karyawan tentu memiliki keinginan-keinginan di luar yang disediakan BBG. Nah, untuk mengetahui informasi apa yang beredar di antara pengemudi, ia menerapkan sistem koordinasi kelompok. “Dalam satu kelompok yang terdiri 25 anggota, saya tugaskan satu orang untuk menjadi ketua grup. Di atas ketua grup, ada pembina. Pembina inilah yang memberikan informasi, arahan, dan teguran kepada pengemudi tersebut,” terangnya.

Lebih lanjut, Purnomo mengatakan, adanya ketua grup dan pembina memudahkan komunikasi antara pengemudi dengan pihak manajemen. Umumnya, tugas seperti itu menjadi tanggung jawab manajemen. “Sifat komunikasi harus dua arah. Saya rasa, jauh lebih mudah jika informasi dilakukan antar-pengemudi juga,” ucapnya memberi alasan.

Tetap saja, Purnomo berpendapat bahwa membangun service quality jauh lebih sulit dibandingkan mempertahankannya. Ini dilihat dari sifat fisiknya. Namun, untuk mempertahankannya pun diperlukan pemikiran dan ide-ide. “Sekarang, visi dan culture BBG sudah dipahami oleh semua karyawan termasuk pengemudi. Mereka sadar betul akan pentingnya memberikan pelayanan terbaik kepada pelanggan. Dengan demikian, ke depannya, BBG bisa tetap eksis,” katanya mengakhiri wawancara.

Fisamawati
Majalah MARKETING

Read More......

18 September 2008

Benny Tjoeng: Dimulai dari Pihak Internal

Service tak harus terfokus pada kepuasan pelanggan saja. Pihak internal pun harus diperhatikan.

Begitulah pandangan Benny Tjoeng, President Director Astra Credit Companies (ACC) ketika disinggung mengenai service. Sebagai perusahaan yang menangani jasa keuangan, kunci utama ACC terletak pada service itu sendiri. Ini bisa dilihat dari misi yang diembannya, yakni “total solution”.

“Semua harus dimulai dari visi. Untuk menjalankan service yang ditetapkan, harus dimulai dari tingkatan internal dahulu. Contohnya, dari pimpinan tertinggi. Di mana pimpinan tertinggi harus bisa melakukan service ke organisasi-organisasi yang ada di bawahnya. Begitu juga dengan saya, harus memberikan service ke jajaran direksi, kepala divisi, dan officer,” urai Benny.

Memang, secara garis besar, pemahaman service hanya tertuju pada pelanggan. Di balik itu, sebelum mencapai pada muara tingkatan pelanggan, ada sebuah proses. Proses dimana service yang dilakukan atasan sampai ke bawah, hingga pada kepuasan pelanggan ACC.

“Service ke customer ACC berjalan jika saya sudah memberikan service kepada pihak internal. Keinginan internal harus diperhatikan terlebih dahulu, sehingga ke tingkat cabang pun tidak ada masalah. Barulah, cabang-cabang tersebut memberikan service ke customer,” imbuh alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia ini.

Definisi service yang dimaksud pun harus jelas. Artinya, siapa saja yang memakai jasa akhir dari apa pun itu disebut customer. Dicontohkan Benny, di bagian keuangan yang mengerjakan laporan keuangan, maka pelnggannya adalah pemakai laporan keuangan itu. “Customer adalah pemakai jasa setelah proses sebelumnya. Sehingga definisi service ACC is very clear,” katanya.

Kelebihan lain, berada di bawah naungan Astra Group memudahkan ACC dalam menyosialisasikan definisi service tersebut. Sebelumnya, Astra Group sudah membudayakannya di semua jajaran karyawan perusahaan. Nilai yang ditanamkan pada diri karyawan antara lain integrity, orientasi kepada customer, team work, dan quality.

Untuk memberikan service yang sesuai dengan keinginan customer, ACC juga selalu berupaya memahami keinginan mereka. Benny berpendapat, terkadang customer tidak memerlukan penghargaan yang lebih. Cukup dengan hal-hal sederhana saja, seperti ramah, cepat, dan mudah.

Lantas, apakah service di ACC sudah sempurna? “Belum!” tegas Benny. Menurut pria kelahiran Tanjung Karang, 15 Agustus 1958 ini, ukuran dari sebuah service tidak akan pernah berhenti pada satu titik. Ia mengatakan, jika service ACC sudah sempurna, maka service tersebut tidak berkembang lagi. “Setiap tahun harus ada program-program ke arah service internal dan customer,” lanjutnya.

Salah satu program yang dicanangkan ACC tahun 2008 ini adalah ‘Winning Customer Heart’. Program ini menjadi fokus utama ACC dalam memenangkan hati para pelanggannya. Ada banyak strategi yang ditentukan dalam pemenuhan program tersebut, di antaranya kecepatan dan kemudahan pelayanan. Selain itu, program di tahun 2009 dan 2010 pun sudah direncanakan sedini mungkin.

ACC ingin memenangkan hati pelanggan dengan service terbaik. Maka, misi menjadi total solution bisa terwujud sesuai dengan semestinya. ACC memberikan kemudahan bagi customer dalam bentuk pelayanan total dan beragam. Mulai dari pembelian mobil, kebutuhan informasi, dan komplain. Kemudahan tersebut didukung dengan call center, asuransi, hingga perpanjang STNK.

Untuk menunjang itu, ACC memberikan training kepada karyawannya. Training tersebut, dilakukan tiap bulan di 38 cabang retail dan 11 corporate yang tersebar di 27 kota di Indonesia. “Jadi, terlihat grafik perkembangan dan kemajuan service ACC di setiap cabang,” ucap Benny.

Segi pengawasannya pun dilakukan dalam bentuk laporan ke direksi bulanan. Setiap aplikasi program, di tiap-tiap cabang, bisa dikontrol dari nilai skor yang dihasilkannya. Jika hasilnya kurang maksimal, maka dilakukan training kembali untuk target bulan berikutnya. Begitu terus-menerus. “Hari ini harus lebih baik dari kemarin, dan besok harus lebih baik dari hari ini,” tegasnya.

Dalam menerapkan service culture di perusahaan, ungkap Benny, ada tiga poin yang bisa menilai efektivitas service tersebut. Pertama, pimpinan tertinggi harus memberikan contoh kepada bawahannya tentang service yang baik. Kedua, memberikan penjelasan mengenai visi kepada bawahan secara jelas. Terakhir, selalu mengingatkan untuk membuat review kerja setiap hari.

Meski tengah sibuk, Benny selalu menyediakan waktu untuk menghadiri rapat dan diskusi dengan para karyawan. Dari hal seperti itulah, ia jadi mengetahui apa yang diinginkan oleh bawahannya. “Jika ada suatu permasalahan, bisa dicarikan solusi pemecahannya bersama. Kehadiran saya, untuk memberikan support kepada mereka, bahwa ini adalah bentuk komitmen saya,” tambahnya CEO yang menerapkan service dari hal sekecil apa pun.

Sedangkan untuk mengontrol quality service, ACC melakukan dealer survey setiap tahunnya. Survei tersebut untuk mengukur sejauh mana service yang dilakukan diler terhadap customer. Selain itu, dilakukan pula survei kepada customer untuk mengetahui customer survey index. Jika diperlukan, bisa juga dilakukan investigasi langsung. “Ini untuk meminimalisir keluhan customer terhadap service yang dilakukan ACC,” ujarnya.

Bagi Benny, antara membangun sebuah service quality dan mempertahankannya, sama-sama tidak mudah. Karena Astra Group sudah terkenal dengan mental culture yang sudah terbentuk, maka tidak sulit untuk membangun sebuah service quality.

“Namun, jika service quality sudah ada, tetapi tidak dikembangkan secara baik hingga berdampak pada penurunan, maka untuk membangunnya kembali akan lebih sulit. Makanya harus di-manage terus-menerus,” jelasnya.

Fisamawati
Majalah MARKETING

Read More......

Dyonisius Beti: Know Your Customer

Mengetahui siapa dan apa yang diharapkan pelanggan merupakan kunci utama Yamaha dalam men-deliver pelayanan yang berkualitas.

Dyonisius Beti, masih ingat akan pengalamannya dulu ketika berkunjung ke salah satu jaringan resmi Yamaha. Saat itu, sewaktu melayani calon pelanggan, ia banyak terdapat masukan yang amat berharga dalam menentukan program dan strategi perusahaan.

Semula perusahaan beranggapan, diskon harga yang besar akan sangat menarik bagi pelanggan. Ternyata penjelasan informasi mengenai keunggulan produk dan benefit produk adalah hal tepat dan dirasakan sangat berguna bagi calon pelanggan.

Sesuatu yang menurut kita tepat, belum tentu tepat di mata pelanggan. Oleh karena itu, kuncinya adalah know your customer dan selalu mendengarkan apa yang pelanggan katakan.

“Seperti orang berpacaran, bila kita dapat mengetahui isi hatinya maka kita dapat melakukan pelayanan yang dapat merebut hatinya dan kesetiaannya,” ujar Vice President Director PT Yamaha Motor Kencana Indonesia ini.

Customer and Community Satisfaction
Pelanggan adalah manusia yang memiliki emosi. Maka, sesuai dengan filosofi Kando (Touching Your Heart), service culture yang diterapkan Yamaha terfokus pada upaya memberikan pelayanan kepada komunitas, pelanggan maupun calon pelanggan melalui sentuhan pribadi yang mendalam.

“Visi pelayanan kami adalah menciptakan Customer and Community Satisfaction (CCS). Sehingga Yamaha menjadi satu-satunya merek yang dicintai, menjadi aspirasi, dan dikagumi melalui produk maupun brand corporate sehingga dapat memenangi mind and heart share pelanggan,” ungkap Dyon—sapaan akrabnya.

Terkait dengan hal itu, menurutnya, pelanggan Yamaha tidak terbatas hanya pada user, tetapi juga komunitas yang menaunginya. Jadi, meliputi masyarakat di mana user berada. Lalu pengguna itu sendiri serta keluarga besar Yamaha yang mencakup pabrik, diler, pemasok dan segenap orang di dalamnya.

Menurutnya, Yamaha memberikan service yang standardized sesuai dengan filosofi Touching Your Heart. Selain itu, mereka juga memberikan sedikit sentuhan dari Team Management yang rutin ikut turun ke pasar melayani pelanggan. “Intinya, pelayanan yang diberikan setiap jaringan resmi Yamaha harus sama diterima oleh pelanggan.”

Lebih lanjut, ia menjelaskan, kepuasan pelanggan ditentukan oleh dua faktor penting: kualitas produk dan pelayanan terbaik. Keduanya bisa menciptakan secure feeling yang berujung pada loyalitas pelanggan.

Nah, untuk urusan kualitas, produk Yamaha rasanya tak perlu diragukan. Karena diproduksi dengan standar kualitas Jepang yang mengutamakan perfection pada setiap unitnya dan sederetan standar prosedur pemeriksaan hingga saat produk diterima oleh pelanggan. Juga dilengkapi dengan garansi standar untuk tetap menjaga kualitas produk.

Dari sisi pelayanan pun tak jauh beda. “Kami membuat program CCS yang harus diimplementasikan oleh seluruh jaringan resmi Yamaha,” tegasnya. Bahkan, untuk mengembangkan program tersebut, Yamaha mendirikan departemen khusus, yakni Departemen CCS.

Dipaparkannya, di Yamaha, pelanggan merupakan pimpinan perusahaan tertinggi. Oleh karena itu, mereka selalu mendengarkan dan mengamati behavior pelanggan melalui sistem Yamaha Contact Center.

“Jadi, semua program harus mengutamakan kebutuhan dan kepentingan pelanggan dengan output memberikan ‘total solusi’ terhadap seluruh kebutuhan dan kepentingan pelanggan. Fokusnya harus dekat dengan market sehingga dapat menciptakan pelayanan yang Touching Your Heart, dan diferensiasi untuk brand dan produk Yamaha,” jelasnya.

Pelayanan yang berkualitas merupakan sumber diferensiasi utama perusahaan. Nilai-nilai inilah yang ia tanamkan dalam perusahaan dan seluruh jaringan resmi Yamaha. Berlandaskan itu, dalam sistem rekrutmen, orientasi pada pelanggan adalah salah satu screening tools. “Kami menanamkan kultur yang customer centric,” tegas Dyon.

Dalam proses penerapan kultur tersebut, manajemen senantiasa melakukan sosialisasi dan edukasi, baik di jaringan resmi Yamaha maupun internal perusahaan. Edukasi tersebut tidak berhenti di situ, namun terus berevolusi melalui berbagai program campaign yang bertujuan mempromosikan pelayanan kepada customer.

Seiring waktu, tuntutan pelayanan pun terus meningkat. Bagi Dyon, ini merupakan tantangan bagi pimpinan maupun team member. Kepemimpinan tercermin dalam program role modeling yang diberikan setiap pemimpin dalam barisan manajemen/direksi. Mereka juga menerapkan Yamaha Values, yakni challenge, innovative, consistency, dan integrity untuk menciptakan persaingan dan kesempatan kerja yang fair-play.

Mengetahui siapa dan apa yang diharapkan pelanggan, merupakan kunci utama di bidang pelayanan supaya perusahaan dapat terus-menerus men-deliver pelayanan yang tepat dan memberikan value. “Karenanya, diperlukan kerja sama setiap tim untuk mengontrol dan mengembangkan program-program pelayanan kepada pelanggan; dan Yamaha Contact Center untuk mendengar dan memonitor setiap perubahan behavior yang terjadi di pasar,” lanjut Dyon.

Ketika disinggung tentang sistem pengawasan service quality, ia memaparkan, untuk melakukan pengukuran tingkat kepuasan dan loyalitas pelanggan, pihaknya rutin melaksanakan survei dengan berbagai variasi metode. Semua metode pengukuran ini berbuah menjadi ‘improvement priority’ yang menjadi tugas penting setiap departemen dalam meningkatkan kinerja pelayanan.

Berdasarkan hasil pengukuran yang mereka lakukan, loyalitas pelanggan Yamaha tergolong cukup tinggi. Ini juga bisa dilihat dari sederet penghargaan yang mereka terima seperti Indonesian Customer Satisfaction Award (ICSA) dan Service Quality Award (SQA). “Tetapi ini bukan berarti tugas selesai, melainkan tantangan baru untuk terus menjaga hati pelanggan kami,“ kata Dyon.

Fisamawati
Majalah MARKETING

Read More......