14 Oktober 2008

Kuasai Market Share Hingga 90%!

Sejak 23 tahun silam, Alfalink mantap menduduki singgasana pasar kamus elektronik di Tanah Air. Pasar mancanegara pun dirambahnya. Apa rahasianya?

Yang namanya kamus bahasa umumnya identik dengan buku yang tebalnya bisa beratus-ratus halaman. Kalau sudah setebal itu, bisa dibayangkan betapa repotnya orang membolak-balik halaman hanya untuk menncari arti dari suatu kata.



Akan tetapi, di dunia bisnis peluang biasanya muncul karena adanya masalah. Melihat adanya kebutuhan konsumen yang menginginkan kepraktisan dalam membuka kamus ini, maka dibuatlah inovasi kamus elektronik berlabel Alfalink. Ya, mendengar merek Alfalink, ingatan kita tentu langsung tertuju pada sebuah perangkat kecil yang berfungsi sebagai kamus elektronik.

“Alfalink menawarkan kemudahan karena bentuknya yang mungil, juga tidak perlu repot membuka lembar per lembar hanya untuk mencari arti dari satu kata atau kalimat. Cukup menekan tombol yang ada, maka langsung terbuka segala informasi yang dibutuhkan,” ungkap Shian Yu, CEO PT Freshindo Marketama Corp.

Sekadar informasi, Alfalink merupakan merek lokal yang diciptakan oleh Shian Yu pada tahun 1985. Waktu itu, pasar produk kamus elektronik belum terbuka lebar. Gaungnya tak sedahsyat produk elektronik lainnya. “Manufacturing Alfalink, pasokan barang dan produksi didatangkan langsung dari Hong Kong, Taiwan, dan China. Tetapi, riset dan development-nya tetap dilakukan di Indonesia,” lanjutnya.

Di kategori kamus elektronik, kompetitor merek ini masih terbilang langka. Pasarnya cuma dihuni oleh beberapa pemain. Alfalink sendiri merupakan pionir yang nyaris menjadi pemain tunggal. Kondisi inilah yang memudahkan mereka menaklukkan pasar Indonesia. Apalagi, PT Freshindo Marketama Corp adalah salah satu distributor besar di Indonesia yang mengkhususkan diri dalam pemasaran dan pendistribusian produk perkantoran.

Dari sisi pricing strategy, menurutnya, Alfalink satu-satunya kamus elektronik yang mematok harga paling murah dibanding lainnya. Harga yang ditawarkan berkisar Rp 89.000 hingga Rp 2 juta. “Kami menargetkan segmen middle-up. Hal ini bisa dilihat dari para pengguna Alfalink yang mayoritas kalangan berpendidikan seperti pelajar, mahasiswa, dan pekerja eksekutif,” ujarnya.

Dijelaskannya, Alfalink menjadi pelopor kamus elektronik sejak 23 tahun lalu, tidak hanya di Indonesia tapi juga di Asia Tenggara. Pemain sejenis hanya ada di China, Hong Kong, Jepang, dan Taiwan. Meski brand lokal, mereka mampu bersaing dengan brand luar negeri. Terbukti, di Singapura, Alfalink menduduki posisi kedua setelah market leader di negara tersebut.

Bermain di pasar internasional, tutur Shian Yu, haruslah berani menekan harga jual serendah mungkin. Strategi inilah yang diterapkan Alfalink untuk menggaet konsumen. Dengan harga relatif murah konsumen bisa mendapatkan produk yang berkualitas—tentunya disertai pula dengan layanan dan garansi selama satu tahun. Di samping itu, Alfalink melengkapi produknya dengan fitur tambahan berupa kalkulator, penunjuk waktu, alarm, buku telepon, mesin talking, MP3/MP4, serta games. “Jadi, Alfalink bukan sekadar kamus, tapi juga mulai menjadi produk lifestyle layaknya handphone,” tegasnya.

Konsistensi harga yang ditawarkan sejak awal pun tetap diperhatikan. Meski belakangan ini terjadi kenaikan harga barang produksi di setiap lini, Shian Yu tidak mau dengan mudah menaikkan harga produknya. Tujuannya untuk menjaga para pelanggan yang price sensitive tidak beralih ke merek lain.

“Strategi lainnya adalah dengan mengikuti permintaan pasar, artinya produk selalu di up-grade sesuai kebutuhan konsumen. Apalagi, kamus sifatnya terkait dengan bahasa, yang bisa saja mengalami perubahan arti dan makna,” imbuhnya. Untuk memenuhi permintaan tersebut, Alfalink melengkapi produk-produknya dengan 40 bahasa, antara lain Indonesia, Inggris, Melayu, Mandarin, dan Arab. Kini, produk Alfalink terdiri dari 30 jenis item yang berbeda-beda.

Hal lain yang mengukuhkan sepak terjang mereka adalah sistem distribusi yang rapi dan sistematis. Mereka memiliki kantor cabang di Bandung, Semarang, Surabaya, dan Bali, serta pusat distribusi di seluruh Indonesia untuk memudahkan coverage Alfalink. Permintaan pasar paling banyak datang dari Pulau Jawa, selebihnya merata di tiap daerah.

Shian Yu memang tak ingin main-main dalam mendistribusikan Alfalink, khususnya di Indonesia. Mereka cuma mempercayakan produknya pada outlet-outlet yang sesuai segmen pasarnya seperti Gramedia dan Gunung Agung. Hal ini dilakukan untuk meminimalisir keraguan konsumen akan layanan purnajual Alfalink. “Tujuannya untuk memudahkan konsumen jika ingin complaint atau servis Alfalink.”

Saat disinggung soal strategi promosi, ia mengatakan bahwa pihaknya berpromosi melalui media cetak maupun elektronik. Namun, diakuinya, iklan Alfalink di televisi kini tidak segencar ketika masa awal launching. Promosi yang paling berpengaruh adalah lewat word of mouth. Untuk menunjang hal itu, sekarang mereka lebih memfokuskan edukasi konsumen lewat jalur below the line seperti penyebaran brosur dan katalog.

“Untungnya, masyarakat cepat memahami apa itu Alfalink. Dan menerimanya karena menyangkut kebutuhan, terutama bagi para wisatawan dan orang yang ingin pergi ke luar negeri tapi terkendala bahasa negara setempat,” terangnya.

Saat ini, Alfalink mendominasi market share kamus elektronik di pasar domestik. Tidak tanggung-tanggung, angkanya hampir mencapai 90%! Merek ini juga merambah pasar internasional (di luar negeri, brand Alfalink tetap digunakan). Negara yang menjadi incarannya antara lain Australia, Jepang, Amerika, Malaysia, dan Singapura. Minat konsumen di sana cukup tinggi, khususnya orang-orang Indonesia yang berdomisili di negara-negara itu.

Yang pasti, persaingan pasar mancanegara tentu jauh lebih ketat dibandingkan pasar domestik. Namun, Shian Yu tidak gentar menghadapi kondisi tersebut. Baginya, harga Alfalink yang jauh lebih murah dibandingkan produk lainnya, kualitas yang bagus, serta variasi pilihan bahasa yang memadai merupakan modal kuat untuk bersaing. “Meski pasaran di luar negeri banyak kompetitor, tapi tidak terlalu signifikan mempengaruhi penjualan Alfalink,” katanya optimistis.

Ke depannya, Alfalink menargetkan pertumbuhan sales di luar negeri mencapai angka 10% per tahun. Tentunya, segmen yang akan dibidik pun akan difokuskan pada middle-up sesuai dengan pasar yang ada di Indonesia.

Fisamawati
Majalah MARKETING

Read More......

13 Oktober 2008

Terry Putri: Rambut Heboh Pagi Hari

Bagi perempuan, rambut memang menjadi satu hal yang dianggap paling sensitif, tidak terkecuali Terry Putri. Gadis cantik kelahiran Banjarmasin, 1 Desember 1979, ini pernah bermasalah dengan “mahkotanya” itu. Sebagai presenter untuk delapan acara televisi, Terry bisa berganti model rambut sebanyak empat hingga lima kali dalam sehari. Bisa saja pagi hari rambutnya berombak dan di siang hari harus lurus kembali.

Terry berpendapat, rambut adalah media untuk mengekspresikan diri. “Karena itu, saya menikmati beragam eksperimen pada rambut saya. Profesi saya sebagai TV presenter dan MC mengharuskan saya sering melakukan berbagai styling. Saking keasyikan, tidak disadari rambut saya rusak,” ceritanya.



Hampir setiap pagi, di sela-sela persiapan siaran, rambut Terry selalu menyisakan cerita heboh. Bahkan, pernah kejadian, hair stylist-nya kesulitan “menjinakkan” rambutnya. Alhasil, ia pun harus stand by sejak pukul empat pagi hanya karena rambut. Sekarang kenyataan itu sudah hilang. Semenjak dinobatkan sebagai brand ambassador Dove Shampoo, ia tak perlu merasakannya lagi.

“Kini, saya bisa menikmati ‘manic morning’ dengan rambut lebih sehat tanpa masalah,” ucap pemilik tinggi badan 158 cm ini. Terry menambahkan, sebagai brand ambassador Dove Shampoo, tugas barunya adalah berbagi pengalaman dan mengajak perempuan Indonesia untuk membuka hari dengan indah dan penuh semangat, tanpa khawatir akan kondisi rambut yang rusak. “Jadi, bisa tampil percaya diri sejak pagi hari dan siap beraktivitas sepanjang hari,” tegas presenter Insert ini.

Fisamawati
Majalah MARKETING

Read More......

Adeza Hamzah: Langsung Jatuh Cinta

Karier yang ditekuni dengan sungguh-sungguh niscaya akan berbuah manis. Setidaknya inilah yang dialami Adeza Hamzah, Communications Manager Hotel Mulia, Senayan, Jakarta. Sejak hari pertama bekerja, diakui Adeza, dirinya langsung “jatuh cinta” pada dunia public relations. Ketika itu ia mengawali karier di Maverick PR Consultancy.

“Kebetulan saya memang sudah mantap dan yakin untuk menekuni satu bidang profesi,” kata pria berusia 29 tahun ini. Berbekal keyakinan itu, kariernya terus menanjak. Akhirnya, ia dipercaya untuk mengepalai Communications Department Hotel Mulia sejak 18 bulan lalu.



“Saya juga bertugas untuk memonitor satu sub-department, yakni Art & Printshop Department,” imbuhnya. Kini, Adeza membawahi 13 orang karyawan. Ia pun harus tetap melapor kepada atasannya lagi. Laporan kerja tersebut ia berikan langsung kepada director of sales & marketing.

Sesuai perannya sebagai “perantara” komunikasi antara perusahaan dan publik, banyak hal menarik yang terjadi dalam perjalanan kariernya. “Saya acap kali bertemu dengan media-media terkemuka, baik nasional maupun internasional. Dari situ, terkadang saya dipercaya untuk menjadi pembicara dalam seminar dan diskusi,” ujar penghobi tulis-menulis ini.

Fisamawati
Majalah MARKETING

Read More......

Pelopor Anti Merkuri dan Hydroquinon

Meski pendatang baru di produk kecantikan, Tje Fuk berhasil menarik perhatian konsumen dengan program kampanyenya. Seperti apa?

Biasanya, sebuah merek akan mengampanyekan keunggulan dari produk yang dikeluarkannya. Tapi tidak demikian dengan Tje Fuk. Produk kosmetik ini justru melakukan hal yang berbeda dari yang pernah ada. Kampanye yang diusung adalah mengedukasi masyarakat akan bahaya merkuri dan hydroquinon.



Namun, bukan berarti kampanye tersebut tidak ada hubungannya sama sekali dengan Tje Fuk. Merek ini hadir sebagai produk perawatan wajah untuk pria dan wanita. Dengan kepeduliannya, Tje Fuk menggebrak pangsa pasar kosmetik melalui bahan-bahan produk yang diklaim benar-benar aman, serta formula whitening-nya yang tidak memakai bahan kimia berbahaya seperti merkuri dan hydroquinon.

”Bagi kami, kepercayaan konsumen adalah segalanya untuk kemajuan brand Tje Fuk. Ketika kali pertama mengenalkan Tje Fuk kepada konsumen, kami benar-benar tulus dan sangat peduli akan pentingnya kesehatan kulit wajah,” kata Pranoto Widjojo, Market Research & Development Manager sekaligus pemilik PT Tje Fuk.

Menyadari betul akan ketatnya persaingan di bisnis kosmetik, Tje Fuk lantas mengatur strategi. Dijelaskan Pranoto, mereka tidak langsung head to head dengan market leader yang sudah ada. Langkah pertama yang diambil adalah mengedukasi pasar tentang bagaimana menggunakan kosmetik yang aman. Begitu pula konsep iklan yang dikeluarkan Tje Fuk, terlihat lain daripada yang lain.

Pada umumnya, iklan-iklan kosmetik selalu memakai model-model cantik dengan harapan bisa mempengaruhi konsumen untuk menggunakan produk yang diiklankan. Public figure berwajah cantik dan putih bisa menjadi daya tarik tersendiri bagi konsumen yang ingin mencoba produk kosmetik. Sebaliknya, Tje Fuk tidak memakai model cantik, melainkan model ”negarawan” Republik Mimpi.

Uniknya lagi, dalam iklan tersebut, mereka tidak terlalu menonjolkan kelebihan produk dan atribut lainnya. Mereka justru memberikan pesan agar berhati-hati dalam memilih kosmetik. ”Karena banyak produk kosmetik yang menggunakan zat kimia berbahaya. Dan secara tidak langsung, iklan tersebut mengajak konsumen untuk berpikir dan membandingkan kosmetik Tje Fuk dengan yang lainnya,” lanjut Pranoto.

Ya, Tje Fuk memang tergolong gencar dalam berpromosi. Di lini atas, aktivitasnya berupa print ad di media cetak maupun menjadi sponsorship program-program televisi swasta. Di Indosiar, mereka melakukan blocking time pada acara Karantina Tje Fuk, sementara di MTV menjadi sponsor program Tje Fuk Present.

”Karantina Tje Fuk adalah semacam program make over wajah dengan perawatan menggunakan produk kami selama 10 minggu. Tujuan acara tersebut untuk memperlihatkan perkembangan hasil dari kondisi sebelum sampai sesudah memakai Tje Fuk. Jadi, program ini memberikan bukti bahwa hasil perawatan Tje Fuk bukan rekayasa,” paparnya.

Hal ini juga tak terlepas dari strategi edukasi pasar yang telah dilakukan. Edukasi yang dimaksud adalah memberikan perawatan gratis sampai tuntas kepada 100 orang yang memiliki masalah pada kulit wajahnya, meski sudah berkali-kali melakukan perawatan.

Selain itu, lanjut Pranoto, untuk mendorong penjualan Tje Fuk, perusahaan ini juga melakukan serangkaian program below the line seperti sampling dan demo perawatan wajah. Ia juga mengakui bahwa kampanye yang paling efektif dilakukan melalui promosi dari mulut ke mulut (word of mouth).

Sejatinya, produk perawatan wajah ini merupakan pendatang baru di industri kosmetik Tanah Air. Masuk ke pasar sejak tahun 2004 lalu, dan pada tahun 2006 mulai mendobrak pasar. Meski begitu, Tje Fuk berhasil mengukir prestasi gemilang, di antaranya terpilih sebagai produk unggulan 2006; mendapat sertifikat sebagai Product Choices 2007; serta Best Brand 2007 kategori whitening.

Rangkaian produk Tje Fuk terdiri dari whitening cream, whitening cream, whitening soap, compact powder, bedak tabur, dan lainnya. Umumnya, produk kosmetik ini hanya berfungsi untuk membersihkan, merawat serta melindungi kulit wajah. Pranoto mengatakan bahwa formula Tje Fuk didatangkan langsung dari Jepang.

Dari sisi harga, Tje Fuk tidak jauh berbeda dari kategori produk yang sama di pasaran. Rentang harga yang dibanderol Tje Fuk pun tergolong lebar, yaitu antara Rp 25.000-450.000. “Untuk menjangkau segmen yang lebih price sensitive, kami berencana meluncurkan paket Tje Fuk berukuran lebih kecil dari sebelumnya. Harganya pun jauh lebih murah sehingga tetap terjangkau bagi semua golongan,” katanya.

Berkat beragam aktivitas pemasaran di atas, akhirnya Tje Fuk mendapat respon positif dari pasar. Penjualannya terus meningkat. ”Dalam tiga tahun terakhir, rata-rata pertumbuhan penjualan kami diperkirakan lebih dari 50%,” pungkas Pranoto.

Fisamawati
Majalah MARKETING

Read More......

Rejuvenasi Merek yang Sukses

Belakangan ini, Softex giat melancarkan brand rejuvenation. Strategi ini pun berhasil men-drive pasar pembalut khusus wanita dewasa modern.

Bicara tentang Softex, hampir bisa dipastikan tidak ada wanita Indonesia yang tak mengenalnya. Diluncurkan tahun 1974, merek ini meraih puncak popularitas pada tahun 1980-an. Saat itu, Softex begitu jumawa dan menjadi market leader produk pembalut wanita. Hampir setiap retail memajang produk yang kala itu bergambar seorang wanita dan sekuntum bunga. Saking tenarnya, Softex pun jadi nama generik untuk menyebut produk pembalut wanita.



Perjalanan Softex meraih kepercayaan perempuan Indonesia tentu saja tak mudah. Banyak sudah strategi yang dibesut, salah satunya dengan melakukan brand rejuvenation (rejuvenasi merek). Dengan mengubah segmen pasar ke remaja putri dan wanita dewasa, Softex ingin mengubah citranya dari pembalut orang tua menjadi pembalut remaja hingga wanita dewasa.

“Selama 30 tahun berdiri, kami telah merasakan pahit-manisnya membesarkan merek. Softex juga telah melakukan terobosan-terobosan yang sifatnya pionir di kelasnya,” kata Dyah Kartika, General Manager Marketing Communication PT Softex Indonesia.

Dari sisi produk, misalnya, Softex memproduksi pembalut dengan fungsi pH balance yang diuji secara klinis, dan menjadi pelopor produk pembalut tipis untuk sehari-hari (panty liners). Tidak cukup sampai di situ, Softex kembali men-drive pasar dengan mengeluarkan produk premium khusus wanita dewasa modern yang aktif dan dinamis. “Agustus 2007 lalu, kami mengeluarkan satu produk premium terbaru yaitu, V Class. Kelebihannya antara lain diproduksi dengan teknologi side guard dan pH balance. V Class juga memiliki V Zone yang memiliki daya serap maksimal sehingga memberikan kenyamanan ekstra,” jelas Dyah.

Menariknya lagi, Softex kian gencar melakukan seminar besar-besaran yang dikemas unik. Belum lama ini mereka mengadakan kegiatan interaktif berupa seminar bertajuk “V Class Female Forum” digelar di Jakarta dan Surabaya—bekerja sama dengan Andy’s Forum dan Binus Business School. Topik-topik yang diangkat pun memikat, misalnya survival guides for working women, personal branding, career change, management coaching, dan women going global. “Ini merupakan sumbangsih kami terhadap dunia kerja dan bangsa melalui wanita. Diharapkan, forum ini bisa menjadi wadah bagi wanita karier untuk memperluas networking dan wawasannya terhadap dunia kerja dan lingkungan,” lanjutnya.

Dalam upaya mendekatkan diri dengan konsumen, Softex juga mulai merambah dunia hiburan. Melalui jalur musik dan film, mereka gencar mengomunikasikan produknya lewat iklan dan sponsorship. “Sebelumnya, kami mengadakan riset pasar. Hasilnya, perempuan dalam usia 12-24 tahun tersebut menyukai tiga aktivitas, yaitu: musik, film, dan olahraga,” ujar Dyah.

Untuk melancarkan strateginya, Softex membentuk divisi pemasaran khusus. Ada divisi Softex Heritage Music yang menangani promosi musik; Softex Heritage Movie untuk film; dan Softex Heritage Sport di olahraga. Dengan adanya divisi khusus ini, mereka bisa leluasa merancang strategi promosi yang berbeda dan belum pernah digarap oleh kompetitor.

Langkah rejuvenasi merek ini dimulai dari pemilihan “3 D’girlz Softex”, yang kemudian berlanjut dengan Softex Heritage Movie menjadi sponsor utama film remaja D’Girls Begins. Ada pula Softex Heritage Sport yang menggelar Liga Bola Basket Remaja Putri. “Sementara Softex Heritage Music, misalnya, menggandeng Ada Band—grup musik yang digandrungi remaja putri, untuk membuatkan lagu khusus sesuai tagline Softex, ‘Karena wanita ingin dimengerti’,” imbuhnya.

Secara spesifik, lanjut Dyah, merek Softex yang mengarah pada gaya hidup dituangkan dalam packaging-nya. Ditambahkannya, semua produk Softex sudah mengarah kepada pengalaman konsumen sehingga penerapan program dan strateginya pasti bersentuhan langsung dengan konsumen itu sendiri.

Kini, Softex pun menjadi satu produk pilihan wanita Indonesia karena strategi komunikasi yang mereka terapkan di setiap lini membuahkan hasil signifikan. Pertumbuhan rata-rata penjualan mereka dalam tiga tahun terakhir ini lebih dari 50% per tahunnya. Semua itu didukung oleh infrastuktur pabrik, yang telah mengantungi akreditasi ISO 9001 dan Quality Management System tahun 1997. “Terutama dukungan dari semua lini produk yang berkualitas, infrastruktur yang modern, jajaran manajemen dan tim yang kuat, serta aktivitas pemasaran yang beragam,” paparnya.

Selain merek Softex, ada pula produk lain yang menjadi andalan PT Softex Indonesia, yakni diapers merek Sweety dan Softlove. Menurut Dyah, Sweety juga memberikan kontribusi besar bagi pertumbuhan perusahaan. Kehadiran Sweety bisa memenuhi kebutuhan para ibu yang ingin membeli popok dengan harga murah, tapi tetap berkualitas. Bukan itu saja. Merek Softex, Sweety, Softlove pun bisa didapatkan di berbagai negara seperti Australia, Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina, China, dan India. Bukti bahwa kualitas produk mereka tidak diragukan lagi.

Fisamawati
Majalah MARKETING

Read More......

08 Oktober 2008

Contact Me

Hubungi saya di...

Email: fisamawati4@yahoo.com
YM : fisalittle@yahoo.com

Read More......

“Menancapkan Kuku” ke 100 Negara

Selain terus berinovasi di produk knockdown, Olympic gencar merangsek ke pasar ABG. Gebrakan inovasinya pun mengantarkannya ke kancah pasar internasional.

Kepiawaian dalam memproduksi dan memasarkan produk-produk furnitur knockdown sejak tahun 1983, berhasil mengukuhkan Olympic sebagai merek nomor wahid di benak konsumen. Di masa awal berdirinya, Olympic cuma memproduksi meja belajar. Kemudian, berkembang ke produk lain seperti bedroom set, children set, kitchen set, dan office set. Berada di bawah naungan bendera PT Cahaya Sakti Multi Intraco, Olympic kini juga gencar menggarap pasar ABG hingga pasar luar negeri.



“Inovasi furnitur knockdown merupakan tonggak keberhasilan Olympic. Padahal, waktu itu kompetitor yang mengandalkan produk knockdown jumlahnya mencapai 150-an, baik yang berlabel maupun non label. Jadi, persaingan tergolong ketat,” kata Petrus Yuniarto, Chief Marketing PT Cahaya Sakti Multi Intraco.

Banyaknya jumlah pemain rupanya tak menciutkan nyali Olympic untuk ikut merasakan manisnya “kue” pasar furnitur knockdown. Menurut Petrus, hal ini didasari oleh corporate positioning yang kuat, yakni sebagai perusahaan yang memberikan kualitas hidup yang lebih baik melalui desain produk yang inovatif dengan harga yang terjangkau.

Selain gencar mengkampanyekan produk knockdown-nya, Olympic juga tidak pernah berhenti menciptakan inovasi produk. Ya, situasi yang mereka hadapi sejak dulu hingga kini memang menuntut mereka untuk kreatif dan inovatif. Inovasi tersebut bisa dilihat pula dari kejelian Olympic masuk ke pasar yang baru dengan melirik segmen remaja alias ABG. Di segmen ini, Olympic secara khusus mendesain produk berlabel Chic & Hip dan Classy Pink.

“Data dari Majalah MARKETING Januari 2008 yang menyebutkan bahwa pasar konsumtif ABG antara 10-12 triliun per tahun, menginspirasikan Olympic untuk segera menggarap pasar ABG. Selain itu, populasi ABG berusia 13-18 tahun berjumlah 20 juta orang yang tersebar di 20 kota besar. Apalagi, ABG merupakan influencer yang sangat powerful sehingga perlu diperkenalkan secara dini,” jelasnya.

Ditambahkan Petrus, di Indonesia sendiri belum banyak pemain furnitur yang secara serius menggarap pasar ABG. Peluang inilah yang dimanfaatkan Olympic untuk menjadi penggerak pasar di lini tersebut. Bahkan, tak menutup kemungkinan sebagai market leader khusus produk ABG.

Olympic juga telah berhasil mengukir prestasi bagus di ajang lokal maupun internasional. Prestasi tersebut ditandai dengan keberhasilam mereka meraih Primaniyarta Award tahun 2006-2007, Indonesian Customer Satisfaction Award (ICSA) berturut-turut dari tahun 2002 hingga 2006, dan penghargaan sejenis lainnya. “Meski demikian, kami tetap melakukan promosi dan edukasi kepada masyarakat dari berbagai kalangan sehingga mereka mengenal lebih jauh produk Olympic,” tegasnya.

Strategi yang diterapkan Olympic dalam mengedukasi pasar misalnya dengan menggelar Lomba Rakit Olympic untuk beberapa kategori seperti anak-anak, selebriti, mahasiswa, dan jurnalis. Ditambah lagi dengan aktivitas bertajuk Olympic School to School yang bertujuan menanamkan brand Olympic sejak usia dini. Dalam program Olympic School to School, para siswa berperan sebagai media promosi produk.

“Di samping itu, Olympic juga membuat inovasi lain, misalnya pada outlet. Sejak Desember 2006 lalu, jumlah outlet Olympic mencapai 92 dari 130 target outlet. Padahal jangka waktu untuk mencapai target tersebut baru berakhir tahun 2008 nanti,” ungkapnya.

Untuk penetrasi ke berbagai daerah, Olympic didukung dengan sistem jaringan distribusi yang luas melalui regional manufacturing dan Depo Bangunan. Penyebarannya sendiri sudah sampai ke Pulau Jawa, Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan. Selain dijual oleh hampir semua toko funitur, Olympic juga melayani penjualan secara online sehingga memberikan kemudahan berbelanja bagi pelanggan.

Sementara itu, Olympic pun mulai “menancapkan kukunya” ke negeri seberang sejak tahun 1989. Kini sudah 100 negara di 5 benua yang dipasok Olympic. Tidak tanggung-tanggung, jumlah volume ekspornya lebih dari 100 kontainer per bulan, dengan maksimum kapasitas sebesar 200 kontainer per bulan.

Aktif mengikuti pameran produk di luar negeri merupakan salah satu entry mode mereka. Komunikasi dengan Badan Pengembangan Ekspor Nasional (BPEN) pun senantiasa dijalin dengan baik, termasuk juga dengan KBRI dan asosiasi furnitur. Tentunya, mereka pun melakukan kunjungan ke negara tujuan ekspor secara kontinu.

“Internasional marketing Olympic rata-rata tumbuh 20% per tahun. Kami pun sering menyelenggarakan pameran di luar negeri untuk mendongkrak awareness Olympic. Pameran dilakukan empat kali dalam setahun di berbagai negara seperti Malaysia, Korea, Afrika (Sudan dan Tanzania), serta Dubai. Sedangkan untuk market share Olympic di antara eksportir Indonesia sekitar 20%,” akunya.

Petrus menambahkan, untuk mengepung pangsa pasar furnitur nasional yang marak dengan kompetitor, mereka mengeluarkan strategi multibrand. Jadi, selain Olympic, PT Cahaya Sakti Multi Intraco juga mengeluarkan merek lain seperti Solid, Albatross, Furnimart, dan lainnya. Masing-masing brand membidik segmen yang berbeda-beda.

Sementara dari sisi komunikasi, Olympic terlihat paling gencar beriklan dan melakukan kegiatan promosi lini bawah. Di above the line, TVC Olympic menggunakan endorser Jaja Miharja. Sedangkan untuk below the line, selain menggunakan brosur, poster, spanduk, dan baliho, mereka juga memanfaatkan transportasi kereta api untuk ruang pameran Olympic.

Nah, dengan semua aktivitas itu, siapakah yang tak kenal dengan Olympic? Hampir bisa dipastikan semua kalangan usia di Indonesia mengenal merek ini. Wajarlah pula kalau perusahaan ini dinobatkan sebagai pemenang kategori “Innovation in Marketing” dan “International Marketing” di ajang Marketing Award 2008.

Fisamawati
Majalah MARKETING

Read More......

Rata-rata Tumbuh 50% Lebih!

Memosisikan diri sebagai one stop shopping lifestyle, gerai ritel seluler Oke Shop berhasil men-drive pasar.

Sepak terjang Oke Shop terbilang luar biasa. Pasalnya, kendati baru diluncurkan tahun 2000, merek ini sudah memiliki 770 gerai yang tersebar di 141 kota di Indonesia. “Oke Shop merupakan one stop shopping lifestyle dalam menyediakan handset semua merek, aksesoris ponsel, handphone, nomor telepon, dengan nilai tambah servis,” kata Sugiono Wiyono, President Director PT Trikomsel Oke.



Oke Shop juga merupakan gerai ritel seluler terbesar di Asia yang mengemban konsep multibrand dan multioperator. Gerainya menjual berbagai merek internasional seperti Nokia, Sony Ericsson, Samsung, Motorola, HTC, dan 6 operator seluler di Indonesia. Selain itu, Oke Shop juga memberikan layanan nilai tambah dan mobile content.

Dengan berbekal 11.000 jaringan distribusi, mereka mampu memasarkan produk dari kota besar hingga kota kabupaten. Tak heran jika Oke Shop menjadi andalan Trikomsel yang memberikan kontribusi terbesar. Merek ini memosisikan diri di pasar sebagai leading distributor dengan cakupan terluas, opsi produk yang lebih lengkap, serta memberikan nilai tambah lebih kepada konsumen dibandingkan dengan kompetitor.

Sugiono menuturkan, rata-rata pertumbuhan penjualan Oke Shop dalam tiga tahun terakhir mencapai 50% lebih. Tentunya, pencapaian itu dibarengi dengan strategi edukasi pasar yang diusung perusahaan. “Sepanjang tahun 2007-2008, kami bekerja sama dengan principal dan operator untuk melakukan berbagai kegiatan edukasi pasar yang berhubungan dengan penggunaan handphone.”

Contohnya, melakukan pengenalan akan layanan Oke Plus berupa mobile content pada gerai-gerai mereka, terutama gerai yang memiliki luas yang lebih besar dibandingkan pesaing. Dengan pengenalan produk Oke Plus yang mengarah pada multimedia, konsumen dapat melakukan beragam transaksi yang berkaitan dengan handphone.

Menurutnya, ini merupakan layanan pertama di Indonesia yang ditawarkan kepada konsumen untuk jenis gerai independent retailers. Dari sisi gerai, Oke Shop memiliki beberapa tipe gerai, yakni: flagship, lifestyle, island, shop in shop, dan midistore. Pada gerai flagship, selain memberikan value added services, Oke Shop menawarkan kenyamanan berbelanja kepada konsumen.

“Oke Shop juga memperkenalkan konsep gerai yang lebih modern dan luas dengan basis lifestyle. Di sana konsumen bisa menikmati pembelian handphone dan berbagai produk termasuk Oke Reload, Oke Plus, Oke Net sampai layanan pembayaran dengan kartu kredit ‘Cashless Society’ dan fasilitas cicilan tanpa bunga,” ungkapnya.

Tentunya, tambah Sugiono, konsumen akan merasakan suasana layanan dan kenyamanan yang berbeda pada saat mereka berbelanja di Oke Shop. Sesuai dengan motto “Gaya hidup, personalisasi dan kemudahan berinteraksi”, di sana life demo dengan penggunaan ponsel asli diberlakukan, dan juga ada pengalaman unik melalui live interaction.

Keberhasilan Oke Shop meraih penghargaan “Market Driving Company” pada Marketing Award 2008, tidak terlepas dari strategi pemasarannya. “Kami bekerja sama dengan dengan beragam institusi keuangan ternama baik nasional maupun internasional. Saat ini, kami satu-satunya gerai yang mendapatkan fasilitas EDC server-to-server dengan Citibank,” ucapnya bangga.

Dengan fasilitas ini, maka implementasi program bisa dilakukan dengan cepat dan seragam di seluruh jaringan Oke Shop, serta memakai teknologi GPRS sehingga tidak terganggu dengan kekurangan line telepon di daerah. Selain itu, Oke Shop juga melayani pembelian secara online melalui situs dan layanan antar (delivery).

Berbagai kegiatan pemasaran yang sifatnya konvensional pun digerakkan melalui pemasangan iklan di media cetak dan elektronik—di samping brosur, flyer dan spanduk. Di non konvensional, Oke Shop menyelenggarakan kampanye yang dikemas secara kreatif melalui penggunaan SMS Blast & Email Blast.

“Kami pun mengadakan konser musik untuk mempromosikan Oke Plus, lomba cheerleader contest saat peresmian gerai Oke Shop di Bandung, dan lomba menulis untuk jurnalis,” ujar Sugiono. Diimbuhkannya, untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat, mereka melakukan radio roadshow program, radio quiz program, mensponsori turnamen olahraga, serta menyelenggarakan acara dealer gathering yang pertama di industri ponsel.

Oke Shop pun melebarkan sayap hingga ke pasar internasional. Melalui Oke Reload, dapat dilakukan penjualan pulsa kepada Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang berada di luar negeri terutama pada beberapa negara tetangga, termasuk Singapura, Malaysia, Hongkong, China, dan Dubai.

“Ke depannya, Oke Shop juga tengah mengembangkan kerja sama dengan perusahaan di Filipina dan Malaysia untuk transfer pulsa dengan memakai Oke Reload sebagai flatform-nya. Ini adalah inovasi terbaru di dunia telekomunikasi,” ujarnya.

Fisamawati
Majalah MARKETING

Read More......

06 Oktober 2008

Alfamart, Luar Biasa!

Strategi pemasaran Alfamart memang layak mendapat ajungan jempol. Mereka berhasil memenangkan hati pelanggannya lewat dukungan TI dan penerapan strategi experiential marketing.

Persaingan yang ketat di minimarket, membuat Alfamart harus memutar otak. Maklum saja, dalam jarak yang tak berjauhan pasti ada minimarket kompetitor yang siap menghadang. Apalagi, mulai dari segmen hingga tata ruangnya pun tidak jauh berbeda karena lingkup bidang usahanya memang sama. Salah satu yang bisa membedakan hanyalah fasilitas, servis, dan pelayanan kepada konsumen.



Faktor inilah yang melandasi Alfamart untuk tampil beda. Contohnya pada Kartu AKU (Alfamart-ku). “Dengan adanya Kartu AKU, Alfamart mencoba memberikan pelayanan terbaik bagi pelanggannya. Bagi anggota pelanggan yang telah memiliki kartu AKU bisa memanfaatkan keuntungan-keuntungan berbelanja di Alfamart,” kata Velina Yulianti, Marketing & Business Development Director, PT Sumber Alfaria Trijaya.

PT Sumber Alfaria Trijaya, selaku pemegang brand Alfamart, merupakan perusahaan nasional yang bergerak dalam bidang perdagangan umum dan jasa eceran yang menyediakan kebutuhan pokok sehari-hari. Perusahaan ritel yang berdiri pada 22 Juni 1999 ini membidik target konsumen dari kelompok middle-class (SES B & C).

Kartu AKU adalah kartu anggota yang diberikan jika pelanggan telah memenuhi ketentuan yang disyaratkan Alfamart. Benefit yang diperoleh pelanggan dari kartu ini antara lain: HematKu, berupa potongan harga hemat atau bonus produk tertentu; SpesialKu, berupa program penjualan produk ekslusif dengan harga spesial; dan HadiahKu, berupa program hadiah langsung atau undian. Pemilik kartu ini juga bisa mendaftar ke website Alfamart untuk memeriksakan jumlah poinnya.

Dijelaskan Velina, adanya program Kartu AKU merupakan efek dari penerapan teknonogi informasi (TI) yang dilakukan tim Alfamart. Keuntungan dari pemanfaatan TI tersebut pun sangat signifikan, khususnya pada sistem marketing. “Program membership dalam bentuk Kartu AKU telah dapat memanfaatkan data mining yang ada untuk lebih memberikan layanan yang sifatnya one-to-one marketing,” lanjutnya. Dengan demikian, konsumen pun bisa merasakan adanya sentuhan personal dari Alfamart.

Contoh implementasinya, sebelum pelanggan bertransaksi, kasir pasti akan menanyakan Kartu AKU dan menawarkan produk-produk tertentu sebagai promosi. Lewat cara itu, diharapkan akan tercipta memorable experience dalam benak pelanggan. “Ini adalah gimmick yang khas di Alfamart,” klaimnya.

Alfamart juga gencar menerapkan experiential marketing yang bertujuan untuk menimbulkan pengalaman dan sensasi dari konsumennya. Bukti nyata yang telah mereka lakukan adalah program sales promotion dengan tema “Kejutan Belanja Gratis”. Dalam program ini, konsumen yang berbelanja dengan nominal tertentu dan beruntung, akan mendapatkan kejutan hadiah uang pada saat transaksi.

Selain itu, ada pula pemberian kue ulang tahun bagi member Kartu AKU yang berulang tahun. “Meski bujetnya tidak terlalu besar, tetapi impaknya bagi konsumen sangat terasa. Konsumen yang mendapat kejutan ini, biasanya surprised. Selanjutnya, konsumen tersebut akan semangat belanja di Alfamart serta memosisikan dirinya sebagai ‘volunteer’ untuk mempromosikan Alfamart dari mulut ke mulut,” ungkap Velina panjang lebar.

Wajar saja jika slogan “Belanja puas, harga pas” begitu melekat di benak jutaan pelanggan mereka. Program yang ditawarkan merujuk pada benefit yang akan didapat pelanggan itu sendiri. Dijelaskannya, kesuksesaan Alfamart juga didukung hasil pengumpulan data informasi dari secondary data dan primary data. “Melalui metode FGD (Focus Group Discussion), kami mengembangkan strategi pemasaran yang lebih efektif,” imbuhnya.

Segudang prestasi pun telah ditorehkan Alfamart. Antara lain Best Brand Equity Gainer Award 2006; Golden Franchise Award 2006, ISO 9001:2000; MURI Award; Hot Brand in 2007; Top Brand 2008; dan Indonesia Best Brand Award 2008. Belum lagi competitive advantage, bahwa Alfamart merupakan satu-satunya minimarket yang memiliki program membership; peraih Store Equity Index tertinggi di antara seluruh format ritel; serta Alfamart sebagai payment point—hasil kerja sama dengan FIF.

Alfamart juga memiliki program CSR (Corporate Social Responsibility) yang terorganisir dalam wadah “Alfamart Care”. Kegiatan CSR tersebut dijalankandengan melakukan pendekatan ke pihak sekolah, lembaga keagamaan, lembaga sosial, maupun instansi pemerintahan. Untuk mengomunikasikan program CSR tersebut kepada konsumen, mereka memasang poster serta menempatkan flyers di seluruh jaringan Alfamart.
Kegiatan sosial Alfamart terdiri dari bidang pendidikan, kesehatan, keagamaan, kebersihan dan keindahan lingkungan, dan bencana lokal atau nasional. “Ke depan dalam rangka CSR di bidang lingkungan, Alfamart akan mengganti kantung plastik dengan kantung yang mudah didaur ulang. Ini bertujuan untuk mendukung kampanye global warming,” ucap Velina.

Ia menegaskan, Alfamart tak hanya memfokuskan diri untuk memenangkan hati pelanggan, tapi juga memenangkan hati masyarakat di seluruh Indonesia melalui program-programnya. Pantas saja, berkat keberhasilan strategi pemasaran mereka, Alfamart berhasil membawa pulang tiga penghargaan sekaligus di ajang Marketing Award 2008, yaitu: “The Best IT in Marketing”, “The Best in Experiential Marketing”, dan “The Best in Social Marketing”. Luar biasa!

Fisamawati
Majalah MARKETING

Read More......

Adu Kuat di Pasar Bedak Gatal

Dari generasi ke generasi, kemasan Caladine dan Herocyn tak pernah berubah. Kedua merek pun sama-sama jadi legendaris. Lantas, apa perbedaan strategi mereka?

Dahulu, hampir sebagian besar orangtua sering menganjurkan anaknya untuk menggunakan bedak talcum atau powder. Kegunaan bedak tersebut diyakini bisa melindungi kulit dan menyerap keringat yang berlebihan. Nah, dari sekian banyak produk bedak gatal, ada dua merek yang amat dipercaya dan menjadi pilihan mereka, yaitu Caladine dan Herocyn.



Di pasar pun Caladine dan Herocyn terus saling kejar-kejaran dalam memimpin pasar sampai saat ini. Sedikit merujuk pada sejarah, Caladine hadir pada tahun 1970-an. Waktu itu Eddy Joesoef, seorang ahli dermatologi, berkeinginan memproduksi obat-obatan. Lalu, tercetuslah ide untuk membangun sebuah perusahaan farmasi.

“Dalam rentang waktu tersebut, kami telah berhasil membina kepercayaan dan kerja sama dengan banyak pihak. Hingga akhirnya, kami mendapat pengakuan sebagai industri obat yang mengutamakan mutu,” kata Eva Situmeang, Head of Sales & Marketing Product Skin Care PT Galenium Pharmasia Laboratories.

Tak lama kemudian, tepatnya tahun 1979, Herocyn muncul dan memasuki pasar skala nasional meski telah diluncurkan sejak tahun 1975. Awalnya Herocyn merupakan sebuah produk home industry asal Surabaya. Namun, menurut Panjang Gunawan, Marketing Director PT Coronet Crown Pharmaceutical Industries, sesuatu yang dibangun dengan tahapan-tahapan yang teruji pasti akan bertahan. Sebaliknya, jika dibandingkan dengan sesuatu yang cepat, tingkat kegagalan dalam mempertahankannya juga besar.

Tak bisa dimungkiri, saat ini pasar bedak gatal cukup menjanjikan di tengah berkembangnya teknologi obat-obatan. Kuenya pun harus dibagi. Untuk itu, Caladine menyiasatinya dengan mengeluarkan rangkaian produk highlight lain dalam bentuk lotion dan cream, di samping powder. “Pada dasarnya, fungsinya tetap sama. Caladine Powder untuk mencegah dan mengobati biang keringat, Caladine Lotion mengatasi gatal akibat alergi, sedangkan Caladine Cream untuk mengatasi gatal akibat gigitan serangga,” ujar Eva.

Berbeda dengan Caladine, Herocyn dari tahun ke tahun hanya diproduksi dalam bentuk powder saja. “Inilah keunggulan Herocyn dibandingkan kompetitor. Kami selalu berusaha menjaga isi atau komposisi Herocyn dari 30 tahun silam hingga sekarang. Terbukti, sudah dua generasi pasar yang menggunakan Herocyn sebagai solusi mengatasi gatal,” klaim Panjang.

Kemasan “Jadul”
Untuk mempertahankan hati konsumen, kedua merek tersebut sama-sama mengandalkan kemasannya yang “jadul” alias zaman dulu. Artinya, sejak keluar pertama kali hingga kini, kemasan kedua produk itu tak berubah. Ciri khasnya, Caladine tampil dengan gambar kemasan yang penuh “taburan bunga” di setiap varian produknya, sementara Herocyn setia pada bentuk kaleng panjangnya.

“Menurut survei yang dilakukan, hal-hal yang diingat konsumen terhadap Caladine adalah bunganya. Sehingga, kami memutuskan untuk mempertahankan citra tersebut sebagai kekuatan merek Caladine. Selain itu, ini memberikan kemudahan dalam mengomunikasikan Caladine secara turun-temurun,” papar Eva.

Demikian pula halnya dengan Herocyn. Panjang menceritakan, ada beberapa alasan mengapa kemasan Herocyn tidak berubah. Pertama, bentuknya sudah sangat familiar di benak konsumen, khususnya ibu-ibu. Kedua, kemasannya mudah digenggam karena sesuai ukuran tangan. “Terakhir, ini merupakan amanah dari owner agar bentuk asli Herocyn tidak diubah. Kalau pun ingin membuat bentuk lain, hanya boleh diaplikasikan pada produk baru seperti Herocyn khusus bayi,” tambahnya.

Di pasar, Herocyn kokoh dengan mengusung slogan “Herocyn selalu setia menemani keluarga Indonesia”. Karena itu, positioning-nya jelas, yakni bedak kesehatan kulit bagi ibu, ayah, anak, serta cucu yang berusia lima tahun ke atas. “Herocyn membidik segmen middle-low,” ujar Panjang.

Tentu saja, baik Caladine maupun Herocyn menyiapkan strategi khusus untuk mengomunikasikan keunggulan produk mereka. Caladine, misalnya, memiliki direct marketing yang khusus menyukseskan program edukasi secara langsung ke masyarakat. Biasanya, program tersebut dikemas secara tematik dari tahun ke tahun. Contohnya, tahun ini tema yang diusung adalah “Caladine produk kecintaan ibu”.

Jadi, tambah Eva, edukasi Caladine sekarang sifatnya saling berintegrasi satu sama lain. “Kami gencar melakukan kampanye dari dahulu hingga sekarang, hanya caranya saja yang sedikit berbeda. Kami tidak hanya mengandalkan above the line sebagai sarana edukasi, tetapi merambah ke below the line juga,” ujarnya.

Target utama Caladine adalah golongan ABC+. Dalam hal ini, Caladine membidik ibu rumah tangga yang berusia 25 tahun ke atas. Eva menambahkan, dengan membidik ibu-ibu, otomatis anggota keluarganya pun ikut menggunakan. Ini mengacu pada sifat dasar kepedulian sang ibu terhadap keluarganya, termasuk urusan bedak. “Harga yang ditawarkan pun terjangkau karena segmen yang dituju sesuai, jadi tidak ada masalah.”

Serupa dengan Caladine, Herocyn melakukan promosi melalui iklan di lini atas maupun bawah. “Komunikasi produk, tentu saja menggunakan media publikasi yang ada. Untuk TVC sendiri, skalanya bisa nasional atau lokal. Begitu juga iklan di radio-radio swasta yang disesuaikan dengan kebutuhan wilayah, serta kegiatan kemanusiaan, khususnya untuk sektor masyarakat middle-low,” ungkap Panjang.

Promo Herocyn dilakukan secara berbeda dengan kompetitor. Tujuannya jelas untuk menarik minat konsumen. Lebih lanjut, Panjang mengatakan, aktivitas promosi yang dilakukan Herocyn juga diimbangi oleh sistem pendistribusian yang jelas. Baginya, pendistribusian yang baik dan terpadu bisa mendongkrak hasil penjualan produk.

“Herocyn didistribusikan secara nasional, dengan dukungan tiga distributor yang berpusat di Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Ditambah bantuan dari subdistributor lain, Herocyn mampu mendominasi di luar Pulau Jawa, di antaranya Sulawesi, Kalimantan Timur, Sumatera, Kupang. Bahkan, pemasaran Herocyn pun sudah sampai ke Malaysia dan Arab Saudi,” akunya.

Tak mau ketinggalan, Caladine pun merangsek coverage distribusi di setiap wilayah Indonesia, mulai dari kota hingga pelosok daerah. Eva memastikan, produk Caladine bisa didapat di mana saja, baik pasar modern, tradisional, maupun farmasi. Untuk memikat konsumen, Caladine juga memberikan promo berupa ekstra isi 25%.

Inovasi Produk
Tidak sebatas itu saja, kedua merek itu merasa perlu untuk terus berinovasi. Selain mengeluarkan produk dalam bentuk lotion dan cream, Caladine menambahkan komposisi calamine, zinc oxide, camphor, menthol, serta parfume. “Meski termasuk kategori medicated powder, kami ingin memastikan bahwa Caladine aman digunakan setiap hari. Oleh karena itu, kandungan calamine di sini berfungsi memberikan rasa dingin dan melindungi kulit dari infeksi,” tandas Eva. Aroma Caladine diformulasikan khusus sehingga tidak berbau obat.

Begitu pula Herocyn. Merek ini telah melakukan inovasi di tingkat sumber daya manusia dan peralatan mesin produksi. Herocyn juga meluncurkan produk pendamping, misalnya Herocyn khusus bayi. Di dalam komposisinya ditambahkan menthol untuk memberikan rasa sejuk pada kulit. “Kami menyadari bahwa Indonesia termasuk daerah tropis sehingga perlu suasana dingin,” kata Panjang.

Berkat semua strategi itu, Herocyn kini menangguk pertumbuhan penjualan sekitar 15% per tahun, setidaknya dalam dua tahun terakhir. Sementara Caladine mengklaim mampu membukukan pertumbuhan hingga 20% per tahun. Hasil ini tidaklah jauh berbeda dengan data Top Brand Index (TBI) 2008. Dalam TBI, Caladine memperoleh indeks 36,3%; sedangkan Herocyn 27,5%.

Panjang berharap pada tahun-tahun mendatang pihaknya bisa mempertahankan atau jika mampu meningkatkan daya jual Herocyn. Keinginan serupa juga diungkapkan Eva. Tampaknya, pertarungan antara kedua merek ini bakal tetap menarik untuk disimak.

Fisamawati
Majalah MARKETING

Read More......