24 September 2008

Olga Lydia: Hati-hati Menjaga Brand Image

Siapa yang tak kenal dengan sosok artis dan presenter cantik bernama Olga Lydia? Selain menekuni dunia keartisan seperti presenter, pemain sinetron bahkan layar lebar, lulusan Teknik Sipil dari Universitas Parahyangan Bandung ini juga punya banyak pekerjaan sambilan. Salah satunya adalah bisnis franchise.

Olga saat ini mengelola tiga jenis usaha, yakni studio rekaman amatir dan les vokal Rumah Bintang; tempat biliar La Forca; dan resto Poke Shusi. “Ketika semua orang mengajak untuk bekerja sama, sebelumnya mereka sudah tahu keinginan saya ke arah mana. Jadi, persepsi yang dimaksud bisa sejalan,” kata kelahiran Jakarta, 4 Desember 1976 ini.



Perempuan yang melejit sebagai pembawa acara Republik Mimpi ini mengatakan, semua itu terbentuk karena brand image yang melekat pada dirinya. Olga mengaku tidak punya trik khusus dalam membangun brand-nya. “Saya melakukan semua pekerjaan berdasarkan interest saya sendiri. Saya tertarik dan perhatian terhadap lingkungan hidup dan masalah sosial. Untungnya, hal itu sesuai dengan image yang ada di masyarakat terhadap diri saya,” ucap pemain film 12 AM ini.

Namun, ditambahkan pemilik tinggi badan 171 sentimeter ini, brand image bisa membawa keberuntungan atau sebaliknya. Maklum saja, keterlibatannya di berbagai bisnis menuntutnya untuk berhati-hati dalam membawa diri. “Contohnya di Poke Shusi. Jika pelayanan di restoran tersebut tidak ramah, maka nama saya yang kebawa-bawa. Karena masyarakat mengenal saya sebagai public figure, jadi semua dikait-kaitkan, baik bagus dan jeleknya,” ujarnya mengakhiri obrolan.

Fisamawati
Majalah MARKETING

Read More......

Heru Gunadi: Dua Lampu Sekali Datang

Jika bekerja sebagai pilot atau pramugari pada perusahaan transportasi udara, sudah pasti Anda bisa menjejakkan kaki ke sejumlah kota, baik lokal maupun mancanegara. Tapi, ternyata dengan bekerja di perusahaan lampu pun Heru Gunadi bisa merasakan hal yang sama.



“Ketika ada event peluncuran produk baru, sudah pasti saya ke luar kota untuk mempromosikan produk tersebut. Ini pengalaman yang mengasyikkan. Karena dari kunjungan itu saya jadi tahu bagaimana suasana daerah dan merasakan masakan khasnya,” ucap Marketing Communication Manager PT Philips Indonesia ini.

Ditambahkannya, secara otomatis dia bisa mengetahui karakter dan budaya di tiap-tiap daerah. Dari kebiasaan masyarakat setempat, ia bisa membuat rencana program launch dan event-event Philips agar hasilnya memuaskan, baik jalannya acara maupun pendongkrakan produk. “Tinggi-rendahnya minat masyarakat terhadap produk, ditentukan dari program tersebut. Jika acara berhasil dan ‘menyentuh’ masyarakat setempat, maka kemungkinan besar produk bisa diterima,” ujarnya.

Pria yang mengawali kariernya di perusahaan otomotif ini, mengaku sekarang bisa merasakan dinamisnya bidang pekerjaan yang digelutinya selama enam tahun. Segala tantangan pun dihadapi. “Intinya bagaimana membuat orang berkonsentrasi pada lampu. Minimal, seseorang membeli dua lampu sekali datang. Maksudnya satu untuk digunakan saat itu, dan satu lagi untuk cadangan,” terang pria kelahiran 15 April 1977 ini.

Fisamawati
Majalah MARKETING

Read More......

Walau Telat, Peluang Masih Terbuka

Setelah menghilang pada akhir 1990-an minuman isotonik, Gatorade belum lama ini muncul kembali. Apa strateginya agar tidak hilang untuk kedua kalinya?

Bagi penggemar minuman sport, nama Gatorade tentunya sudah tidak asing di telinga mereka. Maklum, produk sport drink keluaran Pepsi ini masuk dalam peringkat satu skala dunia dan dijual di lebih dari 80 negara.



Namun, banyak yang menanyakan mengapa Gatorade “Hadir kembali”—begitu slogan yang diusungnya—di Tanah Air setelah hengkang pada akhir 1990-an. Padahal, saat ini produk minuman isotonik sudah penuh sesak oleh berbagai merek. Sebut saja Pocari Sweat, Vitazone, Mizone, dan masih banyak lainnya.

“Tepatnya dua tahun lalu, Pepsi Cola membawa lagi Gatorade ke pasar Indonesia. Waktu itu, ada beberapa alasan Gatorade tidak dipasarkan, salah satunya adalah kondisi perekonomian di Indonesia yang tidak stabil,” terang Amit Bose, Marketing Director PT Pepsi Cola Indobeverages.

Bose—begitu ia biasa disapa—percaya kehadiran Gatorade di Indonesia bisa diterima dengan baik. Apalagi, lanjutnya, Indonesia sendiri masuk ke dalam kategori pasar minuman isotonik terbesar di Asia. Oleh karena itu, meskipun kedatangannya tergolong telat dibandingkan kompetitor, ia tetap optimistis. “Gatorade tetap punya potensi penjualan yang tinggi. Itulah sebabnya, Pepsi Cola me-relaunch Gatorade di sini,” imbuhnya.

Sekadar mengingatkan, minuman isotonik Gatorade ini pertama kali ditemukan oleh Dr Robert Cade dan rekan-rekannya. Ide menciptakan minuman isotonik bermula saat dirinya mengamati tim sepak bola di kampusnya. Cade menemukan fakta bahwa setelah bertanding selama tiga jam, setiap pemain rata-rata kehilangan 8 kg kandungan air atau sekitar 90-95% di bagian tubuhnya.

Gatorade muncul pada tahun 1965 di Florida. Produk ini merupakan minuman yang diformulasikan secara ilmiah, yang dapat menghilangkan dahaga serta mengembalikan cairan tubuh dengan campuran unik bersumber dari karbohidrat dan elektrolit. Gatorade diklia sebagai market leader di kategori minuman sport, khususnya minuman isotonik.
Meski berjaya di luar negeri, upaya memasarkan Gatorade di sini tidaklah mudah. Pasalnya, tak banyak masyarakat yang mengingat Gatorade secara utuh. Di benak mereka mungkin masih ada yang ingat bentuk iklannya tapi lupa nama mereknya, atau sebaliknya. Untuk itu, terang Bose, Gatorade mengubah bentuk iklan dan kemasannya.

Ada dua cara yang digunakan Gatorade dalam strategi komunikasinya. Pertama, menginformasikan serta mendidik masyarakat tentang keunggulan Gatorade, baik dari sisi manfaat maupun teknik pembuatannya yang berdasarkan teknologi laboratorium. Kedua, memperkenalkan lebih lanjut kepada masyarakat bahwa Gatorade sudah hadir kembali dan tersedia di Indonesia.

Ini dilakukan dalam berbagai bentuk promosi, baik lewat media massa dan aktivitas tertentu, misalnya berpartisipasi dan menjadi sponsor dalam event yang berkaitan dengan olahraga seperti sepak bola dan basket. “Selain itu, kami menjalin kerja sama dengan beberapa fitness center,” paparnya.

Tidak mau tanggung-tanggung, Gatorade juga memperkuat image-nya sebagai minuman isotonik para juara dengan menggandeng Suryo Agung Wibowo—peraih medali emas cabang lari 100 meter di SEA Games 2007—sebagai duta atlet Gatorade Indonesia. Di tingkat dunia, duta Gatorade merupakan atlet-atlet terbaik di cabangnya. Umpamanya Maria Sharapova, atlet asal Rusia dari cabang tenis; Ronaldinho (Brasil) dan Frank Lampard (Inggris) dari cabang sepak bola; serta Tiger Woods, atlet berpenghasilan tertinggi di dunia dari cabang golf. “Kami fokus pada minuman sport, itulah kekhasan kami dibanding minuman isotonik lainnya,” kata pria asal India ini.

Dipaparkan Bose, sebenarnya pasar yang dibidik Gatorade tak sebatas kalangan atlet saja. Sebab, target market Gatorade secara umum adalah konsumen berusia 17-32 tahun. Biasanya, produk ini lebih banyak dikonsumsi oleh laki-laki daripada perempuan. Selain itu, Gatorade juga dikhususkan bagi konsumen yang memedulikan kesehatan serta memiliki aktivitas yang tinggi.

Lantas, bagaimana dengan rasa yang ditawarkan? Ada tiga varian rasa berbeda yang diperkenalkan ke publik, yaitu: orange grapefruit, lemon lime dan blue raspberry. “Kami pastikan di semua negara sama. Untuk warna tampilan Gatorade di Indonesia, kami pilihkan sesuai dengan penyebaran Gatorade di dunia. Di mana warna-warna tersebut telah ada sebelumnya,” ucapnya. Begitu pula untuk masalah harga, Gatorade mengikuti harga pasar yang beredar di masing-masing negara. Gatorade kemasan kaleng dijual seharga Rp 3.400, sedangkan kemasan dibanderol Rp 4.800.

Sejak peluncuran ulangnya Mei lalu, pemasaran Gatorade sudah merambah Jakarta. Produk ini bisa ditemukan di swalayan-swalayan dan secepatnya akan melakukan penyebaran distribusi secara nasional. Namun, saat disinggung tentang market share, Bose enggan menyebutkannya. “Kami baru memulai. Saya pikir masih terlalu dini untuk memetakan market share kami,” tegasnya.

Diakuinya, memunculkan merek yang pernah ada sebelumnya jauh lebih sulit dibandingkan membuat satu merek baru. Kesulitan itu berasal ketika memberikan pemahaman kepada konsumen bahwa Gatorade adalah yang terbaik. Untungnya, permintaan konsumen terhadap Gatorade masih tinggi.

“Pada saat menghilang dulu, dari data riset mengemukakan bahwa konsumen tetap mengenang hal-hal positif dari Gatorade. Bahkan, hal terkecil pun mereka masih ingat. Seandainya tidak ada citra positif di mata konsumen, mungkin kami mencanangkan slogan ‘Kami kembali’,” papar Bose.

Untuk mempertahankan eksistensinya di masa yang akan datang, dan belajar dari pengalaman sebelumnya, Bose mengatakan, antisipasi yang dilakukan adalah dengan menginvestasikan dana yang cukup besar di pasar Indonesia. “Adanya dukungan financial, promosi, brand, dan potensi pasar yang bergerak positif merupakan kombinasi strategis terbaik guna mempertahankan merek Gatorade,“ tandasnya.

Sementara itu, pengamat pemasaran Bambang Bhakti mengatakan bahwa peluang Gatorade saat ini masih terbuka, meskipun sudah didahului pemain sejenis. Ia menilai, alasan dasar Gatorade menghilang dulu lebih disebabkan krisis ekonomi semata. “Tapi, sekarang Gatorade bisa diuntungkan dengan kondisi pasar dewasa ini. Pasar minuman isotonik sudah banyak dididik sehingga memudahkan Gatorade dalam mengedukasi minuman isotonik,” ujarnya.

Hanya saja, tambah Bambang, Gatorade harus menguatkan positioning-nya agar bisa bersaing dengan kompetitor. “Apakah image ‘orang berkeringat’ hanya atlet saja? Bagaimana dengan pekerja yang letih? Pasti juga berkeringat. Ini harus dijelaskan Gatorade,” lanjutnya. Menurut Bambang, ada tiga strategi yang harus dilakukan Gatorade untuk menguasai pasar, yakni: sistem distribusi, tampilan kemasan di outlet, dan harga.

Fisamawati
Majalah MARKETING

Read More......

Wiradi: Marketer Dituntut untuk Punya “Ide Gila”

Setelah “berpetualang” di bidang operasional, ia dipercaya oleh manajemen untuk menangani divisi marketing. Apakah obsesinya dalam berkarier sebanding dengan kompensasinya?

Sudah lama Electronic City menjadi tempat bernaung bagi Wiradi. Hampir tujuh tahun General Manager Marketing Division Head PT Electronic City Indonesia ini bergabung di perusahaan tersebut. Awalnya, ia memulai karier sebagai purchasing barang elektronik, dengan level supervisor.



Kemudian, Wiradi dipercaya untuk menangani operasional toko Electronic City, mulai dari supervisor lapangan, kepala cabang di Jakarta dan luar Jakarta, sampai ke tingkatan kepala cabang untuk beberapa toko Electronic City. “Level kepegawaian saya adalah General Manager, sedangkan level struktural adalah Marketing Divison Head. Ini tahun ketiga saya di posisi tersebut,” katanya.

Ditambahkannya, berada di sekian banyak divisi yang ada di Electronic City, ia bertanggung jawab di divisi marketing. Di divisi itu, ia lebih banyak menangani masalah konsep dan ide-ide untuk pengembangan. “Saya sangat bersyukur, sebelum di posisi ini, saya sudah pernah menangani masalah operasional. Jadi, bisa membantu saya dalam melakukan pertimbangan saat membuat sebuah rancangan atau ide baru yang akan diimplementasikan.”

Wira—begitu ia biasa disapa—sekarang ini boleh berbangga diri. Kerja kerasnya yang dimulai dari titik nol akhirnya membuahkan hasil. Selain sukses di bidangnya, ia pun mahir me-manage karyawannya. “Saat ini saya membawahi 40 orang karyawan, level mereka dimulai dari helper sampai manager,” imbuhnya.

Seperti diketahui, Electronic City merupakan ritel yang menjual alat-alat elektronik dari berbagai merek mulai dari televisi, mesin cuci, komputer, kulkas, hingga kamera digital. Berdiri sejak 11 November 2001, perusahaan ritel ini sudah mempunyai 10 store di antaranya di SCBD, Kelapa Gading, Puri Kembangan, Karawaci, Bandung, Bali, Depok, Bogor, Medan, dan Bekasi.

Konsep Electronic City adalah mengembangkan toko elektronik modern dengan gaya pameran yang memberikan pelayanan terbaik, didukung oleh sumber daya manusia yang kompeten dan mitra usaha yang berkualitas untuk kepuasan customer.

“Dunia yang saya geluti sangat menarik dan dinamis. Electronic City menggabungkan konsep brand dan retail. Di mana segala sesuatu berjalan dengan ‘cepat’ sehingga setiap hari ada sesuatu hal baru dan menantang,” tambahnya. Lebih lanjut, Wira memaparkan, posisi marketer di industri ritel seperti yang diterapkan Electronic City masih terbilang langka. Karena biasanya, marketer atau brand specialist bertugas untuk melakukan branding terhadap sebuah produk— bukan sebuah toko atau ritel.

Sebagai pimpinan di divisi tersebut, Wira pun harus melaporkan segala sesuatu yang bekaitan dengan kinerjanya selama ini. “Saya langsung melapor pada Bapak Roy Santoso selaku BOD di Electronic City,” tegasnya. Untungnya, dalam menjalankan tugas, ia diberi kesempatan dan kepercayaan melakukan program-program yang ditujukan untuk pelayanan kepada customer.

Apalagi, Electronic City mengemban visi untuk menjadi perusahaan terkemuka dalam bisnis ritel elektronik dengan jaringan terluas dan termodern yang didukung pelayanan yang baik dan fasilitas yang lengkap. “Ini tertuang dalam slogan baru kami, yakni ‘Smart Way of Modern Shopping’ dengan sistem pelayanan one stop shopping yang mandiri,” imbuh alumnus Bina Nusantara jurusan akuntansi angkatan 1995 ini.

Tanpa Batas
Dalam tujuh tahun kariernya, sudah pastilah ada tinta emas yang telah ditorehkan Wira untuk perusahaannya. Namun, rupanya ia enggan menonjolkan diri sendiri. “Bila membicarakan prestasi saya pribadi rasanya kurang tepat. Mungkin lebih tepatnya, prestasi apa pun yang diukir Electronic City adalah sebuah prestasi dari keberhasilan tim. Karena sebagus apa pun ide dan program, tak akan berhasil jika tidak didukung dan dijalankan oleh tim di jajaran Electronic City, baik di garis depan maupun back office,” ucapnya dengan rendah hati.

Ia lantas menyebutkan beberapa prestasi yang pernah dilakukan timnya dalam beberapa tahun terakhir. Misalnya pembaharuan konsep toko, template iklan, tagline baru, call center, website, dan program sales yang terus-menerus sepanjang tahun dengan semua partner bank dan brand. Tapi, tegasnya, prestasi tersebut bukanlah akhir, melainkan sebuah “proses” yang akan terus dievaluasi dan disempurnakan. “Karena dinamika di industri ritel dan marketing sendiri adalah ‘even the sky is not the limit’,” ujar pria kelahiran Juli 1977 ini.

Sifat tanpa batas pun berlaku bagi kompensasi yang didapatnya. Meski enggan menyebutkan nilai nominalnya karena berbagai faktor, Wira masih mau menjelaskan hitungan kasarnya. Perhitungan itu dilakukan secara rutin plus Tunjangan Hari Raya (THR). Untuk bonus, ada dua perhitungan: target kolektif dan individu. “Kolektif dilihat dari pencapaian target toko, gross profit, dan budget. Sedangkan reward individu, dilihat dari target program divisi masing-masing seperti program membership dan sales program,” ungkapnya.

Sementara itu, sama halnya marketer lain, Wira pun harus mengagendakan meeting dengan berbagai pihak, baik di kantor maupun luar kantor. Waktunya biasanya ia jadwalkan sore atau malam hari. Selebihnya, ia melakukan pekerjaan di belakang meja seperti menuangkan ide, merapikan proposal dan paper work.

“Di pagi hari saya melakukan pekerjaan-pekerjaan yang memerlukan konsentrasi tinggi. Dengan adanya meeting, bisa sedikit demi sedikit mencair karena berinteraksi dengan mitra meeting,” tambah pria yang berdomisili di Tangerang ini.

Ada satu hal yang menjadi “wajib” baginya tiap hari, yakni membuka dan membaca koran. Kegiatan tersebut dilakukan pada saat berangkat atau pulang kantor. Tetapi, uniknya, bukan barisan tulisan berita maupun artikel yang dibacanya. Ya, ia lebih gemar membaca jajaran iklan yang terpampang di surat kabar itu. Diakuinya, tak jarang mendapat ide-ide baru dari iklan tersebut, meskipun melihatnya secara sepintas saja.

“Karena tantangan di dunia marketing, ke depannya akan banyak dibutuhkan ‘smart marketer to do smart marketing’. Seorang marketer dituntut untuk mempunyai “ide gila”, inovatif, dan kreatif. Di mana ini dilakukan tanpa adanya batasan kreativitas. Namun, marketer pun harus bisa mengukur efektivitas dari ide-ide tersebut. Singkatnya, seorang marketer juga harus bisa berhitung,” tandasnya mengakhiri wawancara.

Fisamawati
Majalah MARKETING

Read More......

Dinna Olivia: Dapat Tantangan Baru

Krisis kepercayaan diri pernah menghinggapi pada siapa saja, termasuk Dinna Olivia. Untunglah, artis cantik itu bisa cepat menyadari potensi dan bakatnya di dunia entertainment, yang kemudian mengantarnya sebagai “Pemeran Utama Wanita Terbaik” di ajang Indonesia Movie Award (IMA) 2008.

Bukan cuma itu. Gadis kelahiran 8 Februari 1983 ini juga dipercaya menjadi duta Kotex—merek pembalut wanita dari PT Kimberly-Clark Indonesia.



“Saya senang menjadi brand ambassador Kotex karena bisa mengekspresikan diri. Dari sini saya banyak mendapat arahan dan masukan positif untuk menunjukkan jati diri sehingga mengerti apa yang dimaksud smart, bold, and daring,” ungkap Dinna ketika dijumpai di EX Plaza Indonesia, Jakarta Pusat.

Untuk “peran” barunya itu, ia bakal mengikuti serangkaian kegiatan kampanye Kotex bertajuk “Be You” di beberapa kota besar, yakni Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya. Baginya, kegiatan kampanye tersebut menyenangkan karena bisa menjadi sarana sharing dengan remaja puteri lainnya.

Artis yang pernah membintangi sederet iklan seperti Sari Ayu, Ericsson T10s, dan Ferrero Roche Hong Kong ini juga mengaku suka akan tantangan baru. Lihat saja TVC Kotex terbaru. Di situ ada adegan Dinna menunggang kuda dengan memakai gaun panjang. “Padahal itu belum pernah saya lakukan sebelumnya,” ujar perempuan yang memiliki tinggi badan 172 sentimeter ini.

Akibatnya, ia harus menjalani kursus kilat menunggang kuda sekitar empat jam di lokasi syuting. Pemeran film Mengejar Mas Mas dan 30 Hari Mencari Cinta ini menjelaskan, awalnya ia harus mengerti gerak-gerik kuda, membelai dan mengajak bicara. Syukurlah, kuda yang menjadi “partnernya” tergolong jinak. Jadi, tidak ada adegan jatuh-jatuh...

Fisamawati

Read More......

Meski Ditiru, Tetap Tak Tergoyahkan

Di tengah maraknya follower di kategori produk cat semprot, Pylox tetap bertahan sebagai pemimpin pasar. Apa Kuncinya?

Masih ingat dulu masa ketika lulus SMP atau SMA? Waktu itu mungkin Anda atau teman-teman Anda pernah ikut menerapkan budaya tanda tangan pada pakaian seragam dengan menggunakan spidol dan cat semprot. Ada yang kemudian sampai memajang pakaian itu di kamar sebagai “benda bersejarah” peninggalan zaman sekolah.



Sewaktu menyusuri jalan di kota-kota besar pun Anda pasti pernah melihat coretan warna-warni cat semprot di dinding kosong, halte, metromini hingga tiang listrik. Entah itu tulisan nama gang ataupun kritik terhadap pemerintah. Namun, tidak selamanya cat semprot melulu dipakai untuk aksi coret-mencoret. Penggunaannya juga bisa untuk memodifikasi cat warna mobil, peralatan kayu, besi dan lain sebagainya.

Menilik kisah di atas, cat semprot atau sering disebut Pylox memang sudah sangat populer sejak lama. Jika ditanya merek cat semprot apa yang paling diingat, hampir pasti konsumen akan menjawab, “Pylox”. Maklum, saking kuatnya brand awareness yang dimilikinya, Pylox sudah berkembang menjadi merek generik.

Akan tetapi, agaknya tidak banyak yang tahu bahwa Pylox adalah sebuah merek besutan PT Nipsea Paint & Chemicals (Nippon Paint Indonesia). “Pylox diproduksi oleh Nippon Paint yang diperkenalkan Jepang ke Indonesia pada tahun 1968. Pabrik pertamanya di Ancol, Jakarta. Kemudian kami berturut-turut mendirikan tiga pabrik di Surabaya, Medan, dan Purwakarta,” kata Jon Tan, General Manager PT Nipsea Paint & Chemicals.

Diceritakannya, pada tahun 1960-an, Nippon Paint merupakan pabrik pertama yang memperkenalkan cat semprot di Indonesia. Kesuksesan merek Pylox dalam menggarap pasar, membuat banyak pemain lain tergiur untuk terjun ke bisnis ini. Maka, bermunculanlah followers di segmen cat semprot. Bukan itu saja. Hampir semua produk cat semprot tersebut menjalankan camouflage branding dalam upaya penetrasi pasar. “Produknya muncul di pasaran menggunakan merek dengan cara pengucapan yang hampir sama dengan Pylox,” jelas Jon.

Meski begitu, imbuhnya, para kompetitor yang mayoritas mengunakan merek lokal itu tidak mampu menandingi sang pionir. Masalah yang sering dialami brand lokal tersebut adalah kualitas produk itu sendiri. Misalnya waktu pengeringan yang lama, kerusakan pada panel spray, hingga kurangnya tekanan gas. Memang ada juga segelintir brand asing, tapi harga yang ditawarkan lebih mahal dan cuma dijual di toko-toko specialties seperti Ace Hardware, Depo Bangunan, dan Mitra 10.

“Banyak pemain di kategori ini seperti Krylon buatan USA. Selain itu, ada juga pemain lokal dan regional seperti RJ, Diton, dan Tiloc,” ungkap Jon. Ia menegaskan, sejak berdiri pada awal tahun 1970, Pylox sudah menjadi market leader (ia tidak mengungkapkan berapa persen share yang dikuasai). Walaupun kemudian banyak kompetitor yang nongol di daerah lain di Indonesia, namun mereka terhambat faktor geografis. Jadi, hanya leader di daerah tertentu. Sedangkan Pylox bermain di pasar nasional yang terbentang dari Medan hingga Papua.

Dalam sistem distribusi, merek ini menggunakan dan bekerja sama dengan berbagai distribution channels, yang didukung oleh empat pabrik. Ditambah dengan jaringan yang terdiri sekitar 15.000 retail points dari 30 lebih stock point yang ada. “Kami berani mengatakan bahwa Pylox ada di mana-mana, di seluruh Indonesia, sehingga Pylox mudah dijangkau konsumen,” klaimnya.

Sulit dibantah, Plylox berhasil menguasai pasar karena kualitas produknya. Kualitas memang menjadi perhatian utama mereka. Bayangkan, hingga saat ini pun banyak bahan pendukung untuk cat semprot Pylox diimpor langsung dari Jepang. Nippon Paint memusatkan diri pada produksi cat di Indonesia dengan varian produk cat semprot yang dapat digunakan pada produk otomotif, pelapis kayu, cat tembok, dan pelitur.

Saat ini, Nippon Paint menyediakan berbagai pilihan warna, baik solid maupun metalik. Jumlahnya mencapai 300 lebih varian warna. Dengan demikian, tutur Jon, bisa mengangkat citra pasar dari pabrik otomotif asal Jepang Indonesia—yang notabene menggunakan cat dari Nippon Paint—misalnya Honda, Suzuki, Yamaha, Mitsubishi, Daihatsu, dan lainnya.

“Setiap memperkenalkan varian warna baru untuk produk otomotif, kami juga membuatnya untuk versi Pylox. Tujuannya agar mempermudah pengguna, khususnya kalangan pecinta otomotif yang ingin memperbaiki atau memodifikasi varian warna kendaraannya sendiri,” jelasnya.

Lebih lanjut, Jon Tan mengungkapkan, Nippon Paint tetap percaya pada hal yang fundamental dalam hal produksi, yakni kualitas seperti yang disebutkan di atas. Ditambahkannya, mereka juga terus memastikan ketersediaan Pylox di pasaran—kapan pun dan di mana pun. Teknik lainnya adalah menciptakan kepercayaan kepada pelanggan untuk tetap menggunakan produk Pylox.

Bagaimana dari sisi harga? “Bentuknya menetapkan satu standar harga pada keseluruhan varian warna,” tuturnya. Pricing strategy ini ditetapkan semaksimal mungkin agar menjaga harga jual produk masuk akal serta mudah dijangkau konsumen. Untuk itu, Nippon Paint menerapkan subsidi silang pada kategori penjualan warna (dilihat dari faktor harga). Artinya, warna yang mahal akan menutupi harga jual kategori warna yang lebih rendah.

Uniknya, di balik keberhasilan merek Pylox, Jon mengaku bahwa promosi yang dilakukan hampir tidak ada. Mereka cuma mengandalkan word of mouth. Kuncinya sekali lagi terletak pada kualitas. Dan untuk menghasilkan itu, maka budget promosi digunakan untuk pengembangan serta peningkatan kualitas produk. Pylox juga selalu mengusahakan harga jual serendah mungkin tanpa mengenyampingkan kualitasnya.

Ke depan, Pylox akan melakukan inovasi-inovasi khususnya dalam hal produk. Ia mencontohkan, Pylox akan memperkaya varian warna baru, warna yang tahan lama, cat dengan waktu kering yang lebih cepat, serta smoother spray. “ Target kami adalah pertumbuhan di atas 10%,” katanya dengan lugas.

Fisamawati
Majalah MARKETING

Read More......

22 September 2008

Andy Iskandar: Perlu Customers Insight

Wanita merupakan pasar yang cukup menggiurkan bagi para marketer. Meski demikian, produk yang ditawarkan mesti didukung oleh strategi pemasaran yang tepat. Bila ingin sukses, sang marketer tentu harus memahami keinginan wanita.

Mungkin, gambaran di atas juga mewakili perasaan Andy Iskandar, Marketing Manager Feminine Care PT Kimberly-Clark Indonesia. “Sejak 10 tahun lalu, saya terjun ke dunia marketing di berbagai industri seperti mobil, biskuit, kecap, kosmetik, dan lainnya. Umumnya, semua yang saya pasarkan adalah produk wanita,” kata Andy.



Beragam pengalaman pun sudah dicicipinya. Tanpa sadar senyumnya mengembang mengingat kenangan tersebut. “Uniknya, sewaktu menangani produk kecap, saya tidak bisa masak. Pegang kosmetik pun tidak bisa mencoba. Apalagi sekarang, pegang Kotex juga tidak bisa pakai,” aku pria yang pernah bergabung di Toyota Astra Group, Arnott Biscuit, Kecap ABC, dan Martha Tilaar ini.

Inilah tantangan yang dihadapi pria kelahiran 19 Desember 1971 ini dalam memasarkan produknya. Ia menambahkan, bagaimana bisa presentasi sebuah produk tanpa dilatari pengalaman pribadi. Namun, keinginan Andy untuk mengaplikasikan knowledge sangat besar, meski bukan dari gendernya. Pada dasarnya, dunia marketing secara teori maupun praktik lapangan sifatnya sama. “Pastinya, saya harus tahu apa yang diinginkan konsumen dan mengerti apa kebutuhannya. Jadi, customers insight sangat diperlukan,” tandasnya.

Fisamawati
Majalah MARKETING

Read More......

Purnomo Prawiro: Perlakukan Karyawan sebagai “Manusia”

Slogan “Andal” dijadikan pedoman Blue Bird dalam memberikan service kepada pelanggan. Sang CEO juga berusaha memberikan contoh yang baik kepada bawahannya.

Sulit dibantah, di antara berbagai merek taksi yang beredar di wilayah Jakarta dan sekitarnya, diferensiasi taksi Blue Bird tampak begitu enonjol. Diferensiasi itu terletak pada sistem IT, database management, dan sistem renumerisasi mereka yang baik. Selain itu, dalam hal service, pengemudi Blue Bird juga terkenal lebih baik dan sopan ketimbang supir-supir taksi merek lain.



“Kami memfokuskan diri pada kepuasan pelanggan terhadap semua fasilitas layanan yang ada. Diharapkan, customer yang sudah merasakan pelayanan tersebut, dikemudian hari bisa mengulanginya lagi,” kata Purnomo Prawiro, President Director Blue Bird Group (BBG).

Untuk itu, menurutnya, dari tahun ke tahun pelayanan yang diberikan Blue Bird selalu meningkat. Ini disertai pula dengan tingginya keinginan dari pihak pelanggan terhadap pelayanan tersebut. Misalnya saja dengan memberikan pelayanan sebaik mungkin, bertambahnya layanan ekstra aman dan nyaman.

Kini, seiring perjalanan waktu, slogan Andal pun mereka luncurkan. Ya, Andal merupakan akronim dari: Aman, Nyaman, Mudah dan Personalize. Jadi, service-nya berkembang. Tidak lagi sekadar mengemban tugas mengantarkan pelanggan dari satu titik ke titik yang lain, tapi disesuaikan dengan permintaan customer. “Semua pelanggan memiliki keinginan yang berbeda-beda dalam segi pelayanan yang didapatnya. Kami berusaha memenuhinya sesuai banyaknya permintaan yang masuk dan pertimbangan cost-nya,” imbuh Purnomo yang didampingi Noni Sri Ayati Purnomo (Vice President Business Development) saat wawancara.

Selain kemudahan mendapatkan taksi Blue Bird di ruas jalan raya, untuk memudahkan pelanggan, perusahaan juga menempatkan armadanya di beberapa pangkalan seperti di bandara, mal, dan hotel. Jika ingin lebih mudah lagi, pelanggan bisa memanfaatkan fasilitas call center untuk order pemesanan taksi. Biasanya, dalam hitungan menit mereka sudah menerima nomor taksi dan siap dijemput. “Kami pun menyediakan credit voucher sehingga bisa memudahkan transaksi,” lanjutnya.

Menurut Purnomo, proses utama yang harus dilakukan sebelum memberikan service kepada pelanggan adalah peranan dari manusia di perusahaan tersebut—khususnya para pengemudi yang berjumlah kurang lebih 20.000 orang. Kemudian, berlanjut pada infrastruktur dan sistem manajemen. Oleh karena itu, sebagai atasan yang membawahi ribuan karyawan, ia berusaha memberikan contoh baik kepada bawahannya. Tak perlu susah-susah, cukup memberi ucapan “Selamat pagi” atau “Bagaimana hari ini?” kepada bawahan ketika berpapasan.

Dipaparkannya, slogan Andal tersebut harus diaplikasikan oleh karyawan BBG di semua tingkatan. Tak terkecuali atasan dengan back office, frontliners maupun dengan pelanggan. Jika semua karyawan—khususnya pengemudi—merasa nyaman dalam bekerja, maka hal ini akan berdampak pada pelayanan yang diberikan kepada pelanggan.

Purnomo mengatakan, service vision yang diterapkannya mengacu pada sistem top-down. Artinya, service yang baik harus dimulai pada tingkatan atas yang kemudian berlanjut ke bawah. Praktisnya, ia harus memberikan contoh kepada bawahannya: bagaimana memberikan pelayanan yang baik. Dengan harapan, bawahannya pun melakukan hal yang sama kepada pelanggan Blue Bird.

“Bagi customer, hal lain yang diperhatikan adalah visi dan misi yang diemban oleh sebuah taksi itu. Kemudian berlanjut pada image sang pengemudinya, baik keseluruhan atau perorangan,” paparnya. “Sebab, bagaimana seorang pengemudi mau memberikan service yang baik kepada customer, jika perusahaan tidak memperlakukan pengemudi itu sebagai ‘manusia’.”

Setelah membentuk service culture di BBG, ia pun menyadari benar, tidak mudah menyosialisasikan dan menerapkan kultur tersebut ke dalam diri setiap karyawannya. Faktor utama yang menjadi permasalahan adalah adanya keragaman budaya masing-masing individu. “Mereka harus merasa cocok dengan kultur yang diterapkan di BBG. Mungkin, jika dilihat turnover tiga bulan pertama masuk, banyak yang tidak cocok.”

Namun, Purnomo mengerahkan segala upaya untuk menerapkan kultur tersebut. Ia beralasan, adanya suatu sistem kultur yang seragam merupakan modal bagi Blue Bird untuk tetap bertahan di tengah maraknya serbuan kompetitor. Oleh karena itu, service tak hanya diberikan kepada pelanggan, tetapi juga ke pengemudi. Para pengemudi mendapat seragam, pinjaman motor, pinjaman rumah, asuransi kesehatan, dan sarana penunjang lainnya.

Blue Bird Group juga memberikan reward khusus bagi para pengemudi. Acara penghargaan yang diselenggarakan setiap dua bulan sekali ini dihadiri jajaran manajemen, direktur sampai komisaris. “Reward diberikan untuk pengemudi yang melakukan pengembalian barang milik customer yang tertinggal atau disebut ‘barket’, pengemudi dengan jumlah komplain terkecil, dan lainnya,” ujar pria kelahiran Surabaya, 18 Oktober 1947 ini.

Untuk memonitor service yang telah diberikan oleh pengemudi, perusahaan tak perlu bersusah payah. Teknologi IT yang canggih bisa memudahkan pengawasan dan pengumpulan data dari tiap-tiap pengemudi. Data prestasi pengemudi pun bisa dilihat dari banyaknya komplain yang datang dari customer. Alhasil, jika ada pengemudi punya reputasi buruk dan dikeluarkan dari Blue Bird, maka ia tak bisa bekerja di pool BBG manapun. “Istilahnya, jangan sampai kesalahan satu orang bisa merusak nama baik kami,” tegasnya.

Namun, untuk menjangkau pengawasan hingga ke tingkat bawah, Purnomo punya cara tersendiri. Cukup dengan menjalankan sistem komunikasi dengan pengemudi. Menurutnya, komunikasi ini terlihat mudah, tetapi sulit untuk dilaksanakan karena waktu yang tersedia relatif singkat. Soalnya, para pengemudi lebih banyak menghabiskan waktu di jalan daripada di pool.

Setiap karyawan tentu memiliki keinginan-keinginan di luar yang disediakan BBG. Nah, untuk mengetahui informasi apa yang beredar di antara pengemudi, ia menerapkan sistem koordinasi kelompok. “Dalam satu kelompok yang terdiri 25 anggota, saya tugaskan satu orang untuk menjadi ketua grup. Di atas ketua grup, ada pembina. Pembina inilah yang memberikan informasi, arahan, dan teguran kepada pengemudi tersebut,” terangnya.

Lebih lanjut, Purnomo mengatakan, adanya ketua grup dan pembina memudahkan komunikasi antara pengemudi dengan pihak manajemen. Umumnya, tugas seperti itu menjadi tanggung jawab manajemen. “Sifat komunikasi harus dua arah. Saya rasa, jauh lebih mudah jika informasi dilakukan antar-pengemudi juga,” ucapnya memberi alasan.

Tetap saja, Purnomo berpendapat bahwa membangun service quality jauh lebih sulit dibandingkan mempertahankannya. Ini dilihat dari sifat fisiknya. Namun, untuk mempertahankannya pun diperlukan pemikiran dan ide-ide. “Sekarang, visi dan culture BBG sudah dipahami oleh semua karyawan termasuk pengemudi. Mereka sadar betul akan pentingnya memberikan pelayanan terbaik kepada pelanggan. Dengan demikian, ke depannya, BBG bisa tetap eksis,” katanya mengakhiri wawancara.

Fisamawati
Majalah MARKETING

Read More......

18 September 2008

Benny Tjoeng: Dimulai dari Pihak Internal

Service tak harus terfokus pada kepuasan pelanggan saja. Pihak internal pun harus diperhatikan.

Begitulah pandangan Benny Tjoeng, President Director Astra Credit Companies (ACC) ketika disinggung mengenai service. Sebagai perusahaan yang menangani jasa keuangan, kunci utama ACC terletak pada service itu sendiri. Ini bisa dilihat dari misi yang diembannya, yakni “total solution”.

“Semua harus dimulai dari visi. Untuk menjalankan service yang ditetapkan, harus dimulai dari tingkatan internal dahulu. Contohnya, dari pimpinan tertinggi. Di mana pimpinan tertinggi harus bisa melakukan service ke organisasi-organisasi yang ada di bawahnya. Begitu juga dengan saya, harus memberikan service ke jajaran direksi, kepala divisi, dan officer,” urai Benny.

Memang, secara garis besar, pemahaman service hanya tertuju pada pelanggan. Di balik itu, sebelum mencapai pada muara tingkatan pelanggan, ada sebuah proses. Proses dimana service yang dilakukan atasan sampai ke bawah, hingga pada kepuasan pelanggan ACC.

“Service ke customer ACC berjalan jika saya sudah memberikan service kepada pihak internal. Keinginan internal harus diperhatikan terlebih dahulu, sehingga ke tingkat cabang pun tidak ada masalah. Barulah, cabang-cabang tersebut memberikan service ke customer,” imbuh alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia ini.

Definisi service yang dimaksud pun harus jelas. Artinya, siapa saja yang memakai jasa akhir dari apa pun itu disebut customer. Dicontohkan Benny, di bagian keuangan yang mengerjakan laporan keuangan, maka pelnggannya adalah pemakai laporan keuangan itu. “Customer adalah pemakai jasa setelah proses sebelumnya. Sehingga definisi service ACC is very clear,” katanya.

Kelebihan lain, berada di bawah naungan Astra Group memudahkan ACC dalam menyosialisasikan definisi service tersebut. Sebelumnya, Astra Group sudah membudayakannya di semua jajaran karyawan perusahaan. Nilai yang ditanamkan pada diri karyawan antara lain integrity, orientasi kepada customer, team work, dan quality.

Untuk memberikan service yang sesuai dengan keinginan customer, ACC juga selalu berupaya memahami keinginan mereka. Benny berpendapat, terkadang customer tidak memerlukan penghargaan yang lebih. Cukup dengan hal-hal sederhana saja, seperti ramah, cepat, dan mudah.

Lantas, apakah service di ACC sudah sempurna? “Belum!” tegas Benny. Menurut pria kelahiran Tanjung Karang, 15 Agustus 1958 ini, ukuran dari sebuah service tidak akan pernah berhenti pada satu titik. Ia mengatakan, jika service ACC sudah sempurna, maka service tersebut tidak berkembang lagi. “Setiap tahun harus ada program-program ke arah service internal dan customer,” lanjutnya.

Salah satu program yang dicanangkan ACC tahun 2008 ini adalah ‘Winning Customer Heart’. Program ini menjadi fokus utama ACC dalam memenangkan hati para pelanggannya. Ada banyak strategi yang ditentukan dalam pemenuhan program tersebut, di antaranya kecepatan dan kemudahan pelayanan. Selain itu, program di tahun 2009 dan 2010 pun sudah direncanakan sedini mungkin.

ACC ingin memenangkan hati pelanggan dengan service terbaik. Maka, misi menjadi total solution bisa terwujud sesuai dengan semestinya. ACC memberikan kemudahan bagi customer dalam bentuk pelayanan total dan beragam. Mulai dari pembelian mobil, kebutuhan informasi, dan komplain. Kemudahan tersebut didukung dengan call center, asuransi, hingga perpanjang STNK.

Untuk menunjang itu, ACC memberikan training kepada karyawannya. Training tersebut, dilakukan tiap bulan di 38 cabang retail dan 11 corporate yang tersebar di 27 kota di Indonesia. “Jadi, terlihat grafik perkembangan dan kemajuan service ACC di setiap cabang,” ucap Benny.

Segi pengawasannya pun dilakukan dalam bentuk laporan ke direksi bulanan. Setiap aplikasi program, di tiap-tiap cabang, bisa dikontrol dari nilai skor yang dihasilkannya. Jika hasilnya kurang maksimal, maka dilakukan training kembali untuk target bulan berikutnya. Begitu terus-menerus. “Hari ini harus lebih baik dari kemarin, dan besok harus lebih baik dari hari ini,” tegasnya.

Dalam menerapkan service culture di perusahaan, ungkap Benny, ada tiga poin yang bisa menilai efektivitas service tersebut. Pertama, pimpinan tertinggi harus memberikan contoh kepada bawahannya tentang service yang baik. Kedua, memberikan penjelasan mengenai visi kepada bawahan secara jelas. Terakhir, selalu mengingatkan untuk membuat review kerja setiap hari.

Meski tengah sibuk, Benny selalu menyediakan waktu untuk menghadiri rapat dan diskusi dengan para karyawan. Dari hal seperti itulah, ia jadi mengetahui apa yang diinginkan oleh bawahannya. “Jika ada suatu permasalahan, bisa dicarikan solusi pemecahannya bersama. Kehadiran saya, untuk memberikan support kepada mereka, bahwa ini adalah bentuk komitmen saya,” tambahnya CEO yang menerapkan service dari hal sekecil apa pun.

Sedangkan untuk mengontrol quality service, ACC melakukan dealer survey setiap tahunnya. Survei tersebut untuk mengukur sejauh mana service yang dilakukan diler terhadap customer. Selain itu, dilakukan pula survei kepada customer untuk mengetahui customer survey index. Jika diperlukan, bisa juga dilakukan investigasi langsung. “Ini untuk meminimalisir keluhan customer terhadap service yang dilakukan ACC,” ujarnya.

Bagi Benny, antara membangun sebuah service quality dan mempertahankannya, sama-sama tidak mudah. Karena Astra Group sudah terkenal dengan mental culture yang sudah terbentuk, maka tidak sulit untuk membangun sebuah service quality.

“Namun, jika service quality sudah ada, tetapi tidak dikembangkan secara baik hingga berdampak pada penurunan, maka untuk membangunnya kembali akan lebih sulit. Makanya harus di-manage terus-menerus,” jelasnya.

Fisamawati
Majalah MARKETING

Read More......

Dyonisius Beti: Know Your Customer

Mengetahui siapa dan apa yang diharapkan pelanggan merupakan kunci utama Yamaha dalam men-deliver pelayanan yang berkualitas.

Dyonisius Beti, masih ingat akan pengalamannya dulu ketika berkunjung ke salah satu jaringan resmi Yamaha. Saat itu, sewaktu melayani calon pelanggan, ia banyak terdapat masukan yang amat berharga dalam menentukan program dan strategi perusahaan.

Semula perusahaan beranggapan, diskon harga yang besar akan sangat menarik bagi pelanggan. Ternyata penjelasan informasi mengenai keunggulan produk dan benefit produk adalah hal tepat dan dirasakan sangat berguna bagi calon pelanggan.

Sesuatu yang menurut kita tepat, belum tentu tepat di mata pelanggan. Oleh karena itu, kuncinya adalah know your customer dan selalu mendengarkan apa yang pelanggan katakan.

“Seperti orang berpacaran, bila kita dapat mengetahui isi hatinya maka kita dapat melakukan pelayanan yang dapat merebut hatinya dan kesetiaannya,” ujar Vice President Director PT Yamaha Motor Kencana Indonesia ini.

Customer and Community Satisfaction
Pelanggan adalah manusia yang memiliki emosi. Maka, sesuai dengan filosofi Kando (Touching Your Heart), service culture yang diterapkan Yamaha terfokus pada upaya memberikan pelayanan kepada komunitas, pelanggan maupun calon pelanggan melalui sentuhan pribadi yang mendalam.

“Visi pelayanan kami adalah menciptakan Customer and Community Satisfaction (CCS). Sehingga Yamaha menjadi satu-satunya merek yang dicintai, menjadi aspirasi, dan dikagumi melalui produk maupun brand corporate sehingga dapat memenangi mind and heart share pelanggan,” ungkap Dyon—sapaan akrabnya.

Terkait dengan hal itu, menurutnya, pelanggan Yamaha tidak terbatas hanya pada user, tetapi juga komunitas yang menaunginya. Jadi, meliputi masyarakat di mana user berada. Lalu pengguna itu sendiri serta keluarga besar Yamaha yang mencakup pabrik, diler, pemasok dan segenap orang di dalamnya.

Menurutnya, Yamaha memberikan service yang standardized sesuai dengan filosofi Touching Your Heart. Selain itu, mereka juga memberikan sedikit sentuhan dari Team Management yang rutin ikut turun ke pasar melayani pelanggan. “Intinya, pelayanan yang diberikan setiap jaringan resmi Yamaha harus sama diterima oleh pelanggan.”

Lebih lanjut, ia menjelaskan, kepuasan pelanggan ditentukan oleh dua faktor penting: kualitas produk dan pelayanan terbaik. Keduanya bisa menciptakan secure feeling yang berujung pada loyalitas pelanggan.

Nah, untuk urusan kualitas, produk Yamaha rasanya tak perlu diragukan. Karena diproduksi dengan standar kualitas Jepang yang mengutamakan perfection pada setiap unitnya dan sederetan standar prosedur pemeriksaan hingga saat produk diterima oleh pelanggan. Juga dilengkapi dengan garansi standar untuk tetap menjaga kualitas produk.

Dari sisi pelayanan pun tak jauh beda. “Kami membuat program CCS yang harus diimplementasikan oleh seluruh jaringan resmi Yamaha,” tegasnya. Bahkan, untuk mengembangkan program tersebut, Yamaha mendirikan departemen khusus, yakni Departemen CCS.

Dipaparkannya, di Yamaha, pelanggan merupakan pimpinan perusahaan tertinggi. Oleh karena itu, mereka selalu mendengarkan dan mengamati behavior pelanggan melalui sistem Yamaha Contact Center.

“Jadi, semua program harus mengutamakan kebutuhan dan kepentingan pelanggan dengan output memberikan ‘total solusi’ terhadap seluruh kebutuhan dan kepentingan pelanggan. Fokusnya harus dekat dengan market sehingga dapat menciptakan pelayanan yang Touching Your Heart, dan diferensiasi untuk brand dan produk Yamaha,” jelasnya.

Pelayanan yang berkualitas merupakan sumber diferensiasi utama perusahaan. Nilai-nilai inilah yang ia tanamkan dalam perusahaan dan seluruh jaringan resmi Yamaha. Berlandaskan itu, dalam sistem rekrutmen, orientasi pada pelanggan adalah salah satu screening tools. “Kami menanamkan kultur yang customer centric,” tegas Dyon.

Dalam proses penerapan kultur tersebut, manajemen senantiasa melakukan sosialisasi dan edukasi, baik di jaringan resmi Yamaha maupun internal perusahaan. Edukasi tersebut tidak berhenti di situ, namun terus berevolusi melalui berbagai program campaign yang bertujuan mempromosikan pelayanan kepada customer.

Seiring waktu, tuntutan pelayanan pun terus meningkat. Bagi Dyon, ini merupakan tantangan bagi pimpinan maupun team member. Kepemimpinan tercermin dalam program role modeling yang diberikan setiap pemimpin dalam barisan manajemen/direksi. Mereka juga menerapkan Yamaha Values, yakni challenge, innovative, consistency, dan integrity untuk menciptakan persaingan dan kesempatan kerja yang fair-play.

Mengetahui siapa dan apa yang diharapkan pelanggan, merupakan kunci utama di bidang pelayanan supaya perusahaan dapat terus-menerus men-deliver pelayanan yang tepat dan memberikan value. “Karenanya, diperlukan kerja sama setiap tim untuk mengontrol dan mengembangkan program-program pelayanan kepada pelanggan; dan Yamaha Contact Center untuk mendengar dan memonitor setiap perubahan behavior yang terjadi di pasar,” lanjut Dyon.

Ketika disinggung tentang sistem pengawasan service quality, ia memaparkan, untuk melakukan pengukuran tingkat kepuasan dan loyalitas pelanggan, pihaknya rutin melaksanakan survei dengan berbagai variasi metode. Semua metode pengukuran ini berbuah menjadi ‘improvement priority’ yang menjadi tugas penting setiap departemen dalam meningkatkan kinerja pelayanan.

Berdasarkan hasil pengukuran yang mereka lakukan, loyalitas pelanggan Yamaha tergolong cukup tinggi. Ini juga bisa dilihat dari sederet penghargaan yang mereka terima seperti Indonesian Customer Satisfaction Award (ICSA) dan Service Quality Award (SQA). “Tetapi ini bukan berarti tugas selesai, melainkan tantangan baru untuk terus menjaga hati pelanggan kami,“ kata Dyon.

Fisamawati
Majalah MARKETING

Read More......

16 September 2008

Konsumennya Kalangan Ekspatriat

Ternyata tidak selamanya limbah mencemari lingkungan. Di tangan orang kreatif, benda itu bisa diubah menjadi souvenir yang menarik.

Salah satunya adalah limbah kaca. Biasanya, limbah kaca sering dibuang begitu saja tanpa dimanfaatkan terlebih dulu. Sebagian orang pun tak akan pernah menyangka limbah ini bisa menjadi kerajinan yang memiliki nilai jual tinggi sebanding dengan hasilnya.

Seperti yang dilakukan Johan Prasetio. Berkat keterampilan yang dimilikinya, limbah kaca tersebut terlihat unik dan artistik. Berbagai kerajinan seni itu dipajang di galerinya yang terletak di Jalan Wisanggeni, Tegal. Hasil kerajinannya berupa asbak, tempat tisu, jam duduk, vas bunga, kap lampu, meja, hingga Monas, Twin Towers, menara Pisa, bahkan menara Eiffel pun tersedia.

“Bahan baku kaca mudah didapat, yakni diperoleh dari pabrik-pabrik kaca maupun toko-toko kaca, baik yang masih bagus maupun sisa produksi mereka. Tetapi, untuk membuat produk berukuran besar, harus menggunakan kaca lembaran,” ucap Jo, beitu ia biasa disapa.

Jo melanjutkan, dirinya memulai usaha kerajinan kaca sejak tahun 1999. Waktu itu, kaca bukan materi dasar utama produknya melainkan kertas karton, tempurung kelapa dan kerang. Ia membuat souvenir perkawinan semenarik mungkin dengan dihiasi dedaunan kering, rempah-rempah yang diolah agar tahan lama.

Ketika menjalankan usaha kerajinan kaca, Jo hanya menanam modal awal sebesar Rp 70.000 saja. Niatnya, cuma menciptakan lapangan pekerjaan bagi dirinya sendiri maupun orang lain. “Waktu itu, setelah lulus kuliah, saya kesulitan mendapatkan pekerjaan. Hal itu mengilhami diri saya untuk membuka usaha,” kata lulusan SMA 3 Tegal ini.

Limited Edition
Kini galeri yang diberi nama Joe Art mampu menarik minat pembeli. Rata-rata, peminat datang dari mancanegara seperti Australia, Jepang, Prancis, Inggris sampai Eropa. Maka, target pasar yang dilirik Jo adalah kalangan ekspatriat atau menengah ke atas. “Umumnya, mereka menyukai barang-barang kerajinan yang memiliki nilai seni. Apalagi yang bersifat unik dan langka di negaranya,” ujar Jo yang mengklaim produknya bersifat limited edition.

Dari segi pemasaran, Jo lebih menekankan pada sisi word of mouth dan below the line. Ia aktif mengikuti pameran-pameran seperti Inacraft, ICRA, PPI dan event-event lainnya. Di ajang pameran tersebut, banyak turis mancanegara yang pesan produk dalam jumlah banyak dan langsung meminta untuk dikirim. Selain itu, ia pun memasang iklan di media cetak dan internet serta menyebarkan brosur-brosur.

Harga yang ditawarkan pun bervariasi. Hal ini tergantung dari tingkat kesulitan dalam proses pembuatan produknya. Sebagai contoh, asbak kecil dijual seharga Rp 12.000, kap lampu Rp 250.000, sedangkan untuk menara Pisa dijual Rp 500.000.

“Harga produk berkisar Rp 30.000 hingga Rp 3.000.000. Memang jika dilihat dari modal bahan baku, tidak sampai seharga jualnya. Saya lebih condong menjual hasil karya seni. Jadi, harga bukan masalah utama,” ungkapnya.

Selain bersifat limited edition, Jo juga mengatakan bahwa kualitas produk juga diutamakan. Ia selalu berusaha menciptakan karya sebaik mungkin. Maka dari itu, ia tak pernah terburu-buru dalam mengerjakan satu desain dan mematok jumlah produksi per bulannya. Baginya, unsur “rasa” pada produk merupakan kelebihan yang dimilikinya. Ini didukung dengan kemahiran Jo dalam membentuk pecahan kaca, baik yang ready maupun pesanan. Dalam bentuk pesanan, si pembeli hanya memberikan desain gambar yang nantinya akan dibentuk sesuai permintaan.

Ditambahkannya, perkembangan bisnis kerajinan pecahan kaca memiliki prospek yang bagus. Ia berpendapat, kerajinan buatan Indonesia memiliki ciri khas yang bisa menarik minat kalangan pecinta seni. Jangan heran jika mereka rajin “hunting” hingga ke pelosok daerah. “Sambutan dari luar negeri cukup antusias,” aku suami dari Evi Nufiati ini.

“Sekarang persaingan makin ketat untuk kerajinan pecahan kaca. Semua menggaet pasar ekspor dengan keunikan dan cara yang berbeda-beda dalam pemasarannya. Tapi, saya tak khawatir karena bertahannya usaha seperti ini dimulai dari ide orisinil sang pembuat, jadi kami bisa bersaing secara sehat,” paparnya.

Karena sifat bisnis yang tak bisa diprediksi secara kontinyu, Jo hanya merekrut 5 karyawan tetap dan 10 karyawan part time saja. Ini untuk mengurangi risiko biaya operasional tenaga kerja supaya tidak seperti pepatah “besar pasak daripada tiang”.

“Jika pesanan sedang melonjak, saya akan merekrut karyawan sesuai kebutuhan. Datangnya permintaan tidak bisa diduga-duga, apalagi untuk kerajinan seni seperti ini. Diibaratkan keuntungan dan kerugian sulit ditebak. Kadang pesanan banyak, tapi kadang kosong hingga bulan berikutnya,” ujarnya.

Lalu apa rahasia suksesnya menjalani bisnis kerajinan limbah kaca ini? Dengan rendah hati Jo mengungkapkan, dirinya hanya menanamkan sikap keuletan, optimis, dan jujur dalam bekerja. Di luar itu, hubungan baik dengan lingkungan pun diperlukan untuk membentuk jaringan pemasaran produk. “Intinya, bisa memasarkan seluas-luasnya,” akunya.

Ke depan, Jo ingin kerajinan tangan buatan Indonesia bisa diterima lebih baik lagi, khususnya untuk buatannya sendiri. Lebih spesifik lagi, ia ingin kerajinan pecahan kaca bisa menjadi icon daerah tempatnya bernaung—Tegal, Jawa Tengah. “Dan pastinya bisa membuka lapangan pekerjaan untuk warga sekitarnya,” pungkasnya.

Fisamawati
Majalah MARKETING

Read More......

08 September 2008

Indra Bekti: Beban Sekaligus Bangga

Wajah komersil ini kian sering muncul di televisi. Tak hanya jadi presenter, sejumlah iklan pun ia bintangi. Salah satu yang mencuri perhatian adalah iklan kartu Simpati dengan berbagai versi. “Karakternya harus kuat, setiap peran berbeda-beda. Ada yang jadi penari Aceh, suporter bola, sampai goyang ala Inul,” ujar Indra Bekti.

Pria kelahiran 28 Desember 1977 yang bernama asli Bekti Indratomo ini menuturkan, ada trik-trik khusus dalam membintangi iklan. Hal itu terkait dengan pesan dan waktu yang disediakan. Dalam hitungan menit, bahkan detik, endorser harus semaksimal mungkin menarik minat konsumen terhadap produk yang diiklankan.

“Tetapi karakter yang kuat di satu iklan produk tertentu, bisa jadi beban juga. Contohnya, ketika ada tawaran produk lain, maka klien akan ‘terbayang-bayang’ dengan produk yang saya perankan sebelumnya. Maklum, takut pesan tidak sampai ke konsumennya,” tambahnya ketika ditemui di sela syuting Prime Time.

Sejauh ini kondisi tersebut bisa diatasi oleh Bekti. Buktinya, selain sukses sebagai presenter di acara Ceriwis (bersama Indy Barends), ia juga berhasil membintangi sederet iklan seperti Simpati, Sanorine, Kapal Api, Victoria Perfume, Smash, Tabungan Batara, dan Daia.

Pada dasarnya, ia mengaku tidak memilih-milih iklan produk yang akan ia bintangi. Gawean ini bisa memberi kontribusi 40% pada penghasilannya. Hanya saja, dari sisi manajemen, ia punya pertimbangan lain. “Semakin banyak membintangi iklan berarti sedang naik daun. Tapi, penonton jadi bosen juga kan. Pengaruhnya ke image pribadi maupun produk itu sendiri,” celetuk pria yang pernah bermain di film Cinta 24 Karat dan Biarkan Bintang Menari ini.

Bintang iklan harus menghayati karakter sebaik-baiknya. Sebab, dalam iklan lebih ditonjolkan peran yang detil dan totalitas. Tengok saja, untuk adegan tersenyum dan tertawa pun dilakukannya dengan “berlebihan”. “Jadi, kalau kurang pas bisa diulang-ulang terus,” ungkapnya.

Baginya, endorser memiliki peranan penting dalam mengenalkan produk kepada konsumen, terutama untuk produk baru. Maka, tak jarang ia merasa bangga jika produk yang dibintanginya berhasil mencapai target penjualan. “Jika tingkat penjualan terus tinggi, versi iklan berikutnya bisa ditunda karena perusahaan fokus pada permintaan konsumen,” aku lajang yang berharap di hari tuanya nanti masih dipercaya membintangi iklan seperti Titiek Puspa.

Fisamawati
Majalah MARKETING

Read More......

Esia Transfer: Bermula dari Keadaan Darurat

Ketika para operator seluler sibuk menggaet pelanggan dengan iming-iming tarif termurah. Esia justru aktif menjalin keeratan sesama pelanggannya melalui program transfer pulsa. Bagaimana ceritanya?

Tidak banyak memang yang sudah terbiasa dengan program baru berlabel Esia Transfer yang dikeluarkan PT Bakrie Telecom. Tapi, tahukah Anda bahwa ini merupakan salah satu saluran yang digunakan Esia untuk memperluas penyebaran jaringan distribusi yang bersifat direct selling.

“Esia Transfer mulai ada sejak tahun 2006 lalu. Melalui program ini, pelanggan bisa mentransfer pulsa yang dimilikinya kepada pelanggan Esia lainnya tanpa terikat waktu dan lokasi,” ujar Charles Sitorus, Executive Vice President of Sales PT Bakrie Telecom ketika ditemui di Gedung Wisma Bakrie, Jakarta Selatan.

Meskipun bersifat program promo—sama halnya dengan program Untung Pakai Esia seperti menelepon GSM dan jual konten bisa dapat talk time, sebenarnya Esia Transfer juga berfungsi sebagai sarana jualan yang dikemas apik dengan melibatkan partisipasi pelanggannya. Di sini, pelanggan bisa masuk ke dalam sistem distribusi tanpa adanya paksaan dan keharusan tertentu.

Dijelaskan Charles, Esia Transfer hanyalah sebagian kecil dari instrumen distribusi yang diterapkan Esia. Kemunculannya dilatarbelakangi oleh adanya kendala-kendala dari pelanggan yang hendak mendapatkan pulsa. Misalnya, pelanggan tersebut dalam kondisi yang tidak memungkinkan seperti tutupnya outlet di malam hari atau terjebak macet di jalan. “Jadi, pelanggan bisa meminta kepada orang yang dikenalnya untuk mentransfer pulsa. Sistem transaksinya dilakukan di antara mereka sendiri, termasuk cara pembayarannya.”

Penggunaan Esia Transfer ini sederhana saja. Pelanggan cukup mengirimkan short message service (SMS) kepada pelanggan lainnya. Jika pelanggan tersebut mentransfer pulsa, maka si penerima akan mendapat informasi tentang pengisian pulsa yang dapat digunakannya. “Tentu saja ada benefit yang akan diperoleh si pengirim pulsa. Dari Esia berupa bonus talk time, sedangkan dari penerima berupa keuntungan hasil jual pulsanya,” lanjut Charles seraya menuturkan bahwa pihaknya menerapkan konsep win-win dengan pelanggan.

Hanya saja, diakuinya, sistem Esia Transfer masih membutuhkan komunikasi ekstra dalam penetrasi pasar. Untuk memudahkan sosialisasinya, Esia mengadakan campaign dan training di outlet-outlet. Sebab, di benak pelanggan sering muncul pertanyaan mendasar tentang bagaimana tata cara pembayarannya kepada si pemberi pulsa. Karena itulah, penyebarannya hanya terbatas di kalangan teman, rekan kerja, dan keluarga saja. “Sedikit sulit untuk go public,” ungkapnya.

Fenomena transfer pulsa, lanjutnya, di masa mendatang akan meningkat seiring kebutuhan dan gaya hidup masyarakat yang menginginkan kemudahan dalam layanan dan services. Kelebihan dan kekurangannya pun sudah diperhitungkan. Termasuk soal cost yang dirasakan sangat menguntungkan, yakni tidak diperlukan biaya untuk mendirikan outlet baru dan membayar insentif untuk para sales.

Charles optimistis, melalui Esia Transfer tersebut, distribusi memiliki kesempatan untuk memberikan kecepatan layanan kepada pelanggannya. Kini, bisa diibaratkan pelanggan tak perlu susah payah datang ke outlet untuk mendapatkan pulsa. Bagi Esia, tentunya ini bisa menghemat waktu dan tempat. “Sedangkan bagi pelanggan, kami memberikan kesempatan untuk menjalankan usaha dan mendapat penghasilan tambahan,” klaimnya.

Perlu diketahui, Esia memiliki dua sistem distribusi, yakni direct dan indirect selling. Kedua sistem ini punya keunggulan masing-masing. “Tapi, kontribusi yang paling besar tetap berasal dari yang indirect dengan pencapaian angka 90%. Ini mencakup penyebaran wilayah distribusi dan kecepatan memperoleh produk Esia dari gerai ke pelanggan, termasuk services,” tegasnya.

Untuk menunjang penyebaran distribusinya, Esia memiliki total 53 gerai di seluruh Indonesia. Gerai-gerai tersebut bekerja sama dengan distributor setempat untuk memperluas area pemasaran. Disebutkan Charles, di Jakarta saja berjumlah 2.000 outlet yang dipegang satu distributor. Adanya distributor sangat membantu Esia dalam pemasarannya. Hingga kini, Esia sudah merambah ke Jabodetabek, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Makassar, Samarinda, dan lainnya.

Banyaknya gerai yang terus tumbuh selaras dengan meningkatnya jumlah pelanggan Esia. Pada akhir tahun 2005 berjumlah 500 ribu; tahun 2006 mencapai 1,5 juta; dan di penghujung tahun 2007 sekitar 3,8 juta pelanggan. Pencapaian ini didukung sales force yang kompak. Meski enggan menyebutkan jumlah pastinya, ia menjelaskan, tugas sales force secara garis besar adalah memantau situasi harga, ketersediaan produk, dan membantu gerai jika mengalami masalah. “Yang penting jangan sampai kehabisan barang di tiap-tiap gerai, jadi supply barang harus terus dilakukan demi kepuasan pelanggan,” imbuhnya.

Uniknya, Esia belum memiliki patokan baku tentang syarat dan ketentuan mendirikan gerai baru. Tidak ada alasan spesifik mengapa suatu area menjadi pilihan. Bahkan, untuk membaginya secara geografis saja tidak diterapkan. Jumlah pelanggan pun belum tentu jadi ukuran dibukanya gerai tersebut.

“Umpama di Wisma Bakrie ini, hanya dilihat dari strategis eksistensi saja. Tujuannya, hanya ingin mencoba mendekatkan diri dengan gerai-gerai yang ada sehingga lebih efektif dan efisien. Tapi, satu hal, dalam mendirikan gerai baru, patut diperhitungkan potensi pasarnya,” ujarnya.

Diharapkan dengan dibukanya gerai baru di suatu area, mereka bisa memberikan pelayanan kepada pelanggan semaksimal mungkin. Jangan sampai pembukaan gerai baru malah berdampak pada penurunan kualitas pelayanan daripada yang sebelumnya. “Services harus tetap jadi prioritas,” tegasnya.

Ia juga melihat persaingan antara operator seluler semakin panas, plus perang tarif masih berlanjut. Esia pun pasang kuda-kuda. Ia mengatakan, Esia tidak ingin bermain di perang tarif tersebut. “Kami fokus pada kualitas agar perusahaan bisa survive,” ujar Charles menutup pembicaraan.

Fisamawati
Majalah MARKETING

Read More......

05 September 2008

AGEN 1.000 SUNLIGHT: Distribusi Lewat Komunitas

“Agen 1.000 Sunlight” ternyata mampu mendongkrak awareness Sunlight hingga 95% dari semua produk buatan Unilever. Program ini juga berhasil memperkuat distribusi produk tersebut.

Jika diperhatikan secara kasat mata, hampir semua produk-produk keluaran Unilever bisa merambah ke berbagai lini distribusi. Tak terkecuali Sunlight. Produk ini mudah dijumpai di toko-toko besar ataupun di kios-kios di pelosok daerah. “Sunlight mengikuti instrumen distribusi yang diterapkan Unilever baik secara tradisional maupun modern. Sunlight bisa ada di display swalayan hingga ‘pasar basah’,” ungkap Herry Budiazhari, Marketing Manager Household Care & Nomos PT Unilever Indonesia Tbk.

Berada dalam naungan Unilever, memudahkan Sunlight untuk melakukan penetrasi pasar dan pendistribusian produknya. Sejak hadir puluhan tahun silam, produk yang berevolusi bentuk dari sabun batang menjadi cair ini memiliki distribusi skala nasional, dimulai dari Aceh hingga Jayapura. Bahkan, daerah kecil pun tak luput menjadi sasaran penjualan Sunlight.

Untuk mendukung sistem distribusinya, Sunlight tak hanya mengandalkan instrumen yang ada. Untuk itu, dilakukan inovasi produk dan variannya. Kemasan Sunlight terdiri dari 90 mililiter, 200 mililiter, 400 mililiter, dan 800 mililiter baik refill atau bottle dengan tiga varian Lime, Lemon, dan Strawberry. Distribusi dilakukan dengan menyelaraskan pack size untuk tiap-tiap channels. Untuk menjangkau ritel menengah ke bawah, misalnya, dibuatlah Sunlight seharga Rp 1.000 supaya lebih mengena sasaran.

“Semua wilayah Indonesia masuk ke jaringan distribusi Sunlight. Sejauh ini ada sekitar 250 kota yang ada dalam database kami, dan tak menutup kemungkinan lebih banyak lagi. Bahkan, ada beberapa kota yang kami sendiri tidak tahu letaknya di mana, sampai dicari di Google untuk memastikannya,” imbuh Afriani Karina, Brand Manager Sunlight.

Ya, memang banyak nama “daerah aneh” yang masuk ke data mereka sejak program Agen 1.000 Sunlight diluncurkan tahun 2006 lalu. Program ini ditujukan kepada para ibu rumah tangga agar mengajak orang di sekitarnya untuk mencoba Sunlight sehingga menjadi pemakai Sunlight.

Siklus distribusinya sendiri berawal di pabrik, atau biasa disebut central house, yang menyediakan ragam produk Sunlight untuk disebarkan ke seluruh Indonesia. Dari central house tersebut dilanjutkan ke distributor dan sales yang menjajakan hingga ke tingkat ritel. Karena adanya aktivitas Agen 1.000 Sunlight, di tingkat ritel tidak perlu menunggu lama untuk menjual Sunlight.

“Inspirasi itu datang dari adanya kenyataan bahwa ibu rumah tangga memiliki kemampuan untuk mengomunikasikan sesuatu kepada orang lain. Ini merupakan power yang dimiliki para ibu dari kebiasaan kesehariannya. Dengan sendirinya, komunitas Agen 1.000 Sunlight pun terbentuk dengan nama Ibu Bersinar Sunlight,” kata Herry yang ditemui di ruang kerjanya.

Dari observasi dan pengamatan lapangan yang dilakukan, tambahnya, jika mereka menggelar acara-acara Sunlight, antrian paling panjang adalah demo mencuci piring dengan Sunlight. Antusiasme ibu-ibu untuk mencoba dan membuktikan keampuhannya sangat tinggi. “Diharapkan sekali mencoba, tertarik dan pakai Sunlight. Apalagi jika dipromosikan oleh agen yang merupakan sanak saudara atau kerabat yang dikenalnya, akan timbul rasa percaya pada kualitas Sunlight itu sendiri,” ungkapnya.

Herry menjelaskan, dalam mempromosikan “new distribution channel” ini, Sunlight sudah melakukan banyak cara termasuk yang konvensional. Dari segi media komunikasi, ada TV Commercial dengan menampilkan artis Khrisna Mukti sebagai Duta Sunlight dan para Agen 1.000 Sunlight. Untuk below the line, dilakukan event-event khusus yang mengundang para Agen Sunlight untuk mengisi acara.

Dalam program ini, si agen bisa sebanyak-banyaknya merekrut orang lain untuk menggunakan Sunlight. Namun, cara yang digunakan untuk mengedukasi produk Sunlight berbeda-beda, tergantung pilihan masing-masing agen. Ada yang melihat dari kualitas, hemat sabun dan air, mudah dibilas, serta tidak mencemari lingkungan. “Tim Sunlight hanya memberi contoh saja, cukup setetes Sunlight bisa mencuci puluhan piring berlemak,” ujarnya berpromosi.

Agen 1.000 Sunlight bisa diartikan mencari sebanyak 1.000 agen atau harga dari salah satu ukuran produk Sunlight yang dijual Rp 1.000. “Sebenarnya Agen 1.000 Sunlight merupakan market activity yang ditujukan untuk memberikan kontribusi dalam meningkatkan awareness dan trial produk,” imbuh Afriani sambil menerangkan bahwa program ini sukses mendongkrak awareness Sunlight hingga 95% dari semua produk buatan Unilever.

Ternyata, dari satu agen bisa menyebar secara luas dan cepat, apalagi jika si agen termasuk kriteria aktif. Alhasil, ada beberapa yang mendapat ikon “Agen Sunlight” di daerahnya masing-masing. Dijelaskan Herry, sistem Agen 1.000 Sunlight bisa berdampak pada ritel juga. Permintaan akan meningkat di tingkat ritel, sehingga para retailer pun harus mempunyai persediaan stok Sunlight.

Lebih lanjut, Herry memaparkan, jika domain recycle-nya berjalan, dapat dipastikan sistem distribusi akan mengikuti. Jaringan distribusi pun bisa melebarkan sayap hingga ke para user itu sendiri. “Permintaan meningkat, maka volume produk pun bertambah. Jika volume semakin besar, maka biaya produksi jauh lebih murah, dan harga jual pun bisa ditekan. High coverage makin meluas dan menjangkau long tail market,” tambahnya.

Dalam perkembangannya, jumlah Agen 1.000 Sunlight ini sudah mencapai ribuan lebih di sejumlah daerah. Tingkat aktivitas di tiap-tiap daerah pun merata. Afriani mengatakan , di tingkatan daerah, penyebaran Agen 1.000 Sunlight bisa dilihat dari para pemenang yang datang dari Makassar, Jakarta, Surabaya, Medan, dan kota lainnya. “Sampai ke Belitung juga,” tegasnya.

Namun, saat disinggung seberapa besar kontribusi Agen 1.000 Sunlight dalam meningkatkan penjualan, Herry mengungkapkan, sebenarnya ada atau tidak adanya Agen 1.000 Sunlight, sistem distribusi tetap berjalan di lini tradisional dan modern. “Agen 1.000 Sunlight (dibuat) untuk menjangkau dari rumah ke rumah, sifatnya memastikan bahwa Sunlight sudah menjadi pilihan ibu-ibu.”

Fisamawati
Majalah MARKETING

Read More......

04 September 2008

Produknya Kini Beraneka Ragam

Keberanian Columbia untuk bereinkarnasi patut diajungi jempol. Tak hanya menyediakan barang elektronik dan furnitur, tapi juga mencoba memasarkan sepeda motor. Berhasilkah?

Columbia Cash & Credit, yang berdiri sejak 28 Februari 1982, awalnya cuma sebuah jaringan distribusi. Tugasnya adalah memasarkan produk-produk elektronik dan furnitur dari negara Eropa—khususnya Jerman dan Belanda. Lambat laun, produk buatan China dan Jepang pun ikut pula dipasarkan karena tingginya minat beli masyarakat terhadap harga murah. Alhasil, Columbia bereinkarnasi menjadi pusat ritel produk elektronik dan furnitur.

Sekarang, Anda jangan heran jika melihat jajaran sepeda motor terpampang gagah di setiap showroom Columbia. Layaknya dealer-dealer motor resmi lainnya, Columbia melengkapi koleksinya dengan merek-merek sepeda motor yang kualitasnya sudah dikenal masyarakat. “Tahun 2008 ini, Columbia mulai memasarkan sepeda motor, baik dari merek yang sudah ada maupun merek yang dikeluarkan Columbia,” kata Darwin Leo, Marketing & Sales Director PT Columbindo Perdana.

Sepintas jika dilihat dari produk yang ditawarkan, Columbia tak ada bedanya memang dengan dealer-dealer resmi. Hanya saja, gerainya dilengkapi dengan consumer financing agar produk yang dibeli bisa mendapat pengelolaan biaya.

“Grup Columbia mengelola semuanya secara keseluruhan, dimulai dari breading, manufacturing, selling, retailing hingga distribution. Semuanya dengan pembiayaan sendiri. Kami merupakan kombinasi antara retail dan finance. Oleh sebab itu, kami mengetahui secara detil produk-produk secara penjualan, pembiayaan, sampai services,” papar Darwin yang ditemui di kantor pusat Columbia di Jakarta.

Sejauh ini, Columbia menyediakan aneka produk berupa furnitur, consumer electronics, musical instrument, IT products, motorcycle, handphone prepaid and postpaid voucher. Dijelaskannya, dalam menetapkan produk yang ingin didistribusikan, Columbia memberikan kriteria khusus. “Yang pasti top selling untuk memudahkan sistem yang ada. Kedua, fokus terhadap beberapa merek yang sudah memiliki kualitas dan kuantitas produk di mata masyarakat pada umumnya seperti Samsung, LG, Sharp, Olympic, Suzuki, Sanyo, Canon, dan Sony.”

Columbia sendiri mempunyai 550 outlet yang tersebar di seluruh Indonesia. Outlet-outlet tersebut meng-coverage sebanyak 400 kota di titik strategis per wilayah. Sedangkan bentuk outletnya terbagi menjadi beberapa bagian tergantung kondisi masing-masing wilayah. Menurut data Columbia, hampir 90% showroom berbentuk toko atau ruko; mal sekitar 5%; shop in shop ada 3%; dan housing sekitar 2%. Diakuinya, memang untuk beberapa daerah tidak didirikan outlet. Tapi, untuk menjangkau wilayah itu, mereka menyediakan sales mobile demi mendekatkan diri dengan pelanggan.

Dalam hal ini, Columbia dibantu oleh 15.000 karyawan yang mayoritas adalah sales. Sales mereka dibagi dua, yakni sales counter dan sales executive. Jumlah untuk sales counter sekitar 3.200 orang dan sales executive sekitar 6.000 orang. “Perbedaan kedua sales tersebut hanyalah pada sistem kerjanya. Sales counter khusus ditempatkan di konter yang ada, sedangkan sales executive sifatnya door-to-door,” imbuhnya.

Columbia, imbuh Darwin, mampu menjangkau daerah-daerah terpencil dalam pendistribusiannya. Contohnya, di Nusa Tenggara Barat. Banyak prinsipal yang tidak mempunyai jaringan di daerah itu, justru Columbia ada. Dengan demikian, prinsipal bisa mengandalkan Columbia untuk membantu penetrasi pasar di luar jaringan yang dikelolanya sendiri.

Wilayah yang menjadi jaringannya bisa dimulai dari abjad A sampai Z. Columbia tidak terfokus pada satu titik wilayah, tapi mengutamakan spreading sehingga coverage wilayah bisa ditangani. Beberapa nama wilayah yang juga dijangkau Columbia adalah Balikpapan, Banjarmasin, Bangka, Belitung, Bantaeng, Denpasar, Gorontalo, Kendari, Lampung, Madiun, Magelang, Palu, Pare Pare, Pontianak, dan lainnya.

“Kepemilikan dipegang resmi oleh Columbia sendiri, begitu juga dengan pengelolaan dan pengembangan jaringan distribusinya. Tidak ada showroom yang diberlakukan dalam sisitem waralaba maupun business opportunity,” katanya menjawab pertanyaan tentang luasnya jaringan distribusi Columbia. Maklum saja, dalam kurun yang relatif singkat showroom Columbia sudah menggurita hingga ke luar Pulau Jawa.

Dilanjutkan Darwin, banyaknya jumlah showroom Columbia di daerah-daerah bisa memberi keuntungan bagi prinsipal yang mempercayakan pendistribusian produk. Ini dijamin dengan jaringan Columbia yang mampu menjangkau daerah terpencil sekalipun. “Prinsipal tidak perlu membangun cabang atau outlet baru, membayar gaji pegawai serta pengurusan izin ke pemerintah daerah setempat sehingga bisa meminimalisir cost perusahaan,” promosinya. Ia juga menuturkan bahwa kontribusi yang diberikan Columbia kepada prinsipal bisa mencapai kisaran 30-40% dari total penjualan keseluruhan. Sehingga bisa diprediksikan, Columbia membantu peraihan market share para prinsipal.

Dalam hal distribusi, ada beberapa tahap yang dilakukan Columbia dalam proses pengiriman produk. Pertama, pengiriman langsung dari supplier ke gudang-gudang yang ada. Kedua, pengiriman dari satu gudang ke gudang lainnya—tanpa dibatasi wilayah. Ketiga, pengiriman langsung dari gudang ke konsumen. Untuk memperlancar distribusi, Columbia mengerahkan 300 lebih armadanya di luar tenaga outsourcing.

Di tahun 2008 ini, mereka menetapkan perencanaan dalam periode jangka panjang dan pendek. Untuk jangka panjang, Darwin berkeinginan menambahkan beberapa jenis produk seperti automotive berupa mobil, hand tractor, generator, dan insurance. Dari segi services, Columbia akan menerapkan sistem yang sama antar-prinsipal meskipun berbeda segmentasi. Target selanjutnya melakukan perluasan wilayah dengan berekspansi ke Pulau Kalimantan dan Sulawesi. “Sedangkan untuk jangka pendek, dalam waktu dekat ini kami berencana membuka cabang di daerah Ketapang,” katanya pasti.

Fisamawati
Majalah MARKETING

Read More......

Karyawan Juga Bisa Jadi Channel

BNI menilai para pegawainya adalah sebuah potensi saluran distribusi.
Program pemasaran khusus bagi mereka pun dikemas. Mau tahu?

Jangan sia-siakan potensi diri dari setiap pegawai Anda. Itulah kalimat yang pantas menggambarkan “saluran distribusi baru” yang dikembangkan BNI. Bank pelat merah ini sadar bahwa jumlah karyawan yang besar plus kantor cabangnya yang tersebar di seluruh Indonesia bisa menjadi aset utama dalam memasarkan produk, salah satunya kartu kredit. Kedua potensi tersebut jika digabungkan akan membentuk sinergi positif, baik bagi perusahaan maupun pegawai itu sendiri.

Untuk mewujudkannya, BNI membuat program khusus bagi para pegawainya. Program itu berwujud pemasaran oleh para pegawai yang dikemas semenarik mungkin. Seperti dijelaskan Anggoro Eko Cahyo, Vice President Marketing & Sales BNI Card Center, staf merupakan channel distribution yang sangat efektif. Jumlah pegawai mereka yang hampir mencapai 20.000 orang bisa memberikan profit bagi perusahaan jika diorganisir dengan baik.

Dimulai dengan menerbitkan BNI MasterCard sejak Oktober 1997 disusul BNI Visa bulan April 1999 hingga sekarang, BNI menempati posisi nomor dua dilihat dari banyaknya jumlah kartu kredit yang diterbitkan (lebih dari 1,3 juta per September 2007 versi Bank Indonesia). Adapun produk yang telah diterbitkan antara lain BNI VISA, MasterCard Reguler, Affinity Card, dan Matrix BNI.

Selain melalui pegawai yang ada, distribusi juga dilakukan lewat kerja sama penerbitan kartu kredit dengan universitas dan institusi non-profit seperti Universitas Indonesia, Universitas Pancasila, Institut Teknologi Bandung, Universitas Diponegoro, Universitas Brawijaya, Universitas Gajah Mada, Universitas Andalas, dan lainnya. “Bisa juga dengan co-branding dengan Indosat untuk pengguna jasa pascabayar Matrix,” kata Anggoro.

Menurutnya, sistem distribusi yang digunakan BNI adalah model terpusat di daerah perkotaan. Ini sesuai dengan segmen pelanggan yang mereka bidik, yaitu masyarakat yang bank-minded, mempunyai gaya hidup modern, dan didukung sebaran merchant yang dapat menerima transaksi kartu kredit. “Namun, Kartu Kredit BNI juga mulai masuk ke kota kecil yang berdekatan dengan kota besar tersebut,” imbuhnya.

Sebagai informasi, kantor cabang BNI saat ini berjumlah sekitar 919 buah, termasuk kantor cabang pembantu yang tersebar di Indonesia. Bukan cuma di domestik, jaringan BNI pun sampai ke luar negeri—di lokasi strategis pusat-pusat perdagangan dan keuangan internasional utama di dunia. Mereka mempunyai cabang di Hongkong, London, Singapura, Tokyo, serta agency di New York.

Nah, penetrasi pasar untuk produk kartu kredit ini sangat mengandalkan beberapa poin antara lain luasnya cakupan kantor cabang (branch), besarnya jumlah direct selling, serta cross selling atau pangsa pasar nasabah BNI itu sendiri. Dalam hal ini, meski jumlah kartunya menjadi kuantitas utama, namun kualitas pun menjadi dasar prioritas. “Jumlah dan besarnya transaksi dari kartu tersebut juga diperhatikan,” ujarnya.

Anggoro menerangkan, BNI selalu berinovasi dalam menerapkan sistem new distribution channels. Karenanya, saluran distribusi selalu berubah untuk mencapai tingkat penjualan sesuai dengan target dan perencanaan. Ia menambahkan, khusus kartu kredit BNI selalu berganti berdasarkan kebutuhan, perkembangan teknologi, dan disesuaikan dengan perubahan gaya hidup masyarakat.

Bank yang meraih Indonesian Bank Loyalty Award (IBLA) 2008, sebagai “The Best Loyalty Program for Credit Card”, ini memasarkan kartu kreditnya melalui sales force atau direct sales. Kata Anggoro, hingga kini sales force merupakan salah satu channel distribution yang mempunyai peranan besar. “Jumlah sales force BNI lebih dari 2.000 orang yang tersebar di beberapa kota besar,” ucapnya.

Selanjutnya, untuk menunjang kinerja pegawai agar lebih baik dari hari ke hari, sistem pembayaran kepada pegawai diterapkan cara insentif berdasarkan perolehan kartu. Selain itu, imbuh Anggoro, diberikan pula gimmick menarik berdasarkan jenis kartu kreditnya. Semakin banyak kartu dengan tinggi profil yang diperoleh, maka semakin besar pendapatan yang diterima. Pegawai terbaik setiap tahunnya akan diberikan kesempatan untuk menikmati reward tambahan berupa paket wisata ke luar negeri.

Namun, ia tak menyebutkan berapa jumlah distribution channels yang diterapkan oleh BNI. “Total keseluruhannya tidak bisa dihitung karena banyak channel yang digunakan dalam menjalankan bisnis kartu ini. Biasanya, yang mendorong pertumbuhannya adalah perubahan gaya hidup dari target market dan kemajuan teknologi seperti transaksi via SMS,” Anggoro mencontohkan.

Ia berpendapat, adanya new distribution channels bisa memberikan nilai keuntungan tersendiri tanpa terlepas dari faktor kerugiannya. Baginya, keuntungan channels baru bisa dirasakan dengan adanya penyesuaian terhadap perubahan kondisi dari target market sebelumnya. Jika channel baru tersebut bisa menyesuaikan dengan perubahan tersebut, maka hal itu akan berdampak pada hasil yang luar biasa.

Channel baru merupakan salah satu bentuk inovasi, yang diharapkan bisa memberikan kontribusi bagi perusahaan, minimal image baik. Namun, channel baru sering kali belum diketahui tingkat efektivitasnya dalam menyukseskan sistem distribusi yang ada. Mengenai kerugiannya bisa dikatakan relatif, tetapi biasanya berpengaruh langsung kepada tingginya biaya atau cost per account. “Berdasarkan pengalaman BNI, new distribution channels dapat memberikan kontribusi hingga 30% dari total sales,” ungkapnya.

Pada prinsipnya, terang Anggoro, sebelum memilih channels baru perlu diperhatikan sisi coverage, control dan cost-nya. Namun, tak kalah pentingnya dari tiga poin di atas, unsur “kecepatan” dan “besarnya” menjadi hal utama. Yang dimaksud di sini adalah kecepatan dalam menghasilkan account dan besarnya account yang akan dihasilkan nantinya.

Untuk target di tahun 2008 ini, pihaknya akan mengupayakan pencapaian angka 1,7 juta kartu kredit BNI, sehingga menjadi bank penerbit kartu kredit terbesar di Indonesia. Kemudian, mempertahankan posisi di Indonesian Banking Loyalty Award untuk kategori Kartu Kredit dan The Best Loyalty Program. “Terakhir, menjadi most preferable credit card di industri kartu kredit Indonesia,” harapnya optimistis.

Fisamawati
Majalah MARKETING

Read More......

Esia Luncurkan Kartu Gratis Telepon 6 Bulan

PT Bakrie Telecom kembali meluncurkan kartu perdana baru Untung Pake Esia. Kartu perdana baru ini, dipasarkan untuk masyarakat umum dengan harga Rp 15 ribu dengan nilai isi lebih dari Rp 25 ribu. Selain 50% lebih murah dibanding harga kartu perdana sebelumnya, pelanggan nantinya juga akan mendapatkan bonus 300 menit talktime gratis untuk percakapan telepon sesama pelanggan Esia yang akan diberikan secara bertahap selama 6 bulan.

“Kini kami mengeluarkan kartu perdana baru yang sarat dengan bonus yang memberikan pelanggan semakin nyaman berkomunikasi. Peluncuran paket perdana baru ini juga seiring dengan langkah peningkatan performansi jaringan sehingga kualitas suara Esia makin yahud,” ujar Erik Meijer, Wakil Direktur Utama PT Bakrie Telecom.

Pada saat pelanggan mengaktifkan kartunya, pelanggan akan langsung mendapatkan talktime senilai Rp 10.000, yang bisa digunakan untuk menelepon dan mengirim SMS ke semua operator. Sementara itu bonus talktime 300 menit ke semua nomor Esia dalam satu kode area yang sama akan diberikan secara bertahap selama 6 bulan. Bonus tersebut belum diberikan. Bonus baru akan diberikan pada bulan kalender berikut setelah pelanggan mulai mengaktifkan kartunya. Kebijakan ini sengaja dilakukan Esia sebagai langkah edukasi bagi pelanggan sekaligus menjaga loyalitas mereka.

Erik berharap dengan harga paket perdana yang jauh lebih murah daripada sebelumnya, apalagi disertai dengan bonus nilai Talktime didalamnya yang melebihi harga pembelian paket tersebut, pelanggan bisa merasakan sendiri kualitas layanan Esia tanpa harus dibebani lagi dengan biaya paket.

Fisamawati
Majalah MARKETING

Read More......

Softex Selenggarakan “V Class Female Forum”


Pada tanggal 25 April 2008 kemarin, PT Softex Indonesia bekerja sama dengan Andy’s Forum dan Binus Business School, menyelenggarakan V Class Female Forum 2008. Sebuah rangkaian seminar sehari yang didedikasikan khusus kepada konsumen wanita Indonesia.

Bertempat di Ritz Carlton, Jakarta, seminar yang bertujuan membantu dan mengembangkan diri bagi wanita dalam berkarier ini, menghadirkan pembicara Miranda Gultom, Marie Elka Pangestu, Rhenald Kasali, Eileen Rachman, dan Betti Alisjahbana, dengan host Andy F Noya.

“V Class Female Forum 2008, merupakan wujud sumbangsih kami terhadap dunia kerja dan bangsa melalui wanita profesional modern yang aktif, dinamis, dan berprestasi. V Class Female Forum pertama ini bertajuk Survival Guide for Working Woman. Selanjutnya, akan digelar di Surabaya,” kata Rudolf Tjandra, Marketing Director PT Softex Indonesia.

Andy F Noya menambahkan, dalam kesempatan female forum ini bisa dimanfaatkan sebagai wadah bagi para wanita karier untuk mendapatkan networking yang luas dan berinteraksi dengan sesama wanita karie r yang lain serta memperoleh kesempatan untuk mengupas berbagai masalah aktual, menginspirasi, memperoleh gagasan hidup yang seimbang dan melakukan perubahan untuk kehidupan yang lebih baik.

Fisamawati
Majalah MARKETING

Read More......

03 September 2008

Herdiana Anita: Terobsesi ke Level Atas

Di balik tubuhnya yang kecil nan mungil, Nana ternyata memiliki obsesi yang luar biasa tinggi. AV Assistant General Manager PT Sharp Electronics Indonesia yang memiliki nama lengkap Herdiana Anita ini kelak ingin menjabat selevel General Manager dan seterusnya ke atas.

Menurutnya, harapan itu sudah melewati masa pertimbangan yang serius. Bertambahnya tanggung jawab sebagai Assistant GM sekaligus ibu beranak satu, juga bukan kendala baginya. “Dari awal saya memang sudah bekerja. Suami ikut mendukung dan anak pun demikian,” imbuh ibu yang mengaku selalu menanamkan sikap mandiri sejak dini pada buah hatinya.

Meski punya latar belakang pendidikan yang “kurang sesuai” dengan kariernya, yakni lulusan Institut Pertanian Bogor tahun 1990, Nana mengaku tetap optimistis menggapai semua itu. Ini tak terlepas dari kiprah sebelumnya bergelut di perusahaan elektronik seperti LG dan Sony. Prestasinya di Sharp pun patut diacungi jempol, ia tergolong sukses mengedukasi image pasar terhadap produk Ioto lewat TVC.

Tahun 2008 ini, PT Sharp Electronics Indonesia menargetkan pangsa pasar sebesar 32% untuk kategori televisi. Perusahaan asal Jepang ini terus melakukan terobosan baru dan meningkatkan kualitas serta desain yang menarik di setiap produk barunya. Maka, tak heran bila endorser yang dipilih adalah Maia Ahmad.

“Produk Sharp Alexander Ioto, mampu mendongkrak sales, image, dan profit perusahaan. Dulu, Sharp dikenal dengan televisi kuno, tapi sekarang tidak lagi. Menurut saya, nilai dari sebuah merek itu penting. Untuk ke depannya, Sharp akan membuat gebrakan produksi yang semuanya dibuat di lokal seperti model, sound taste maupun produknya,” ujar Nana yang berencana pensiun 15 tahun mendatang.

Fisamawati
Majalah MARKETING

Read More......

Ramai-Ramai Mengusung Merek Lokal

Kenyataan tak biasa terjadi di industri ponsel belakangan ini; banyak produk mengusung merek asli Indonesia. Sukseskah merek-merek tersebut menggarap ceruk pasar?

Ini benar-benar tantangan! Sejak akhir tahun lalu belasan merek lokal merangsek pasar telepon seluler (ponsel) Indonesia. Meski berbeda merek, sebagian besar dari mereka mengutarakan strategi pemasaran yang nyaris sama. Strategi itu umpamanya memosisikan diri sebagai merek berkelas, mencoba menggabungkan antara produk dan gaya hidup, berfitur lebih lengkap, dan dual mode.

Disebut tantangan karena seperti yang sering diutarakan majalah ini, karakteristik konsumen di Indonesia cenderung tidak percaya dengan produk buatan dalam negeri. Mereka lebih percaya dan bangga membeli produk merek impor daripada produk sendiri.

Namun demikian, para produsen telepon seluler (ponsel) merek lokal berdalih produknya tak kalah berkualitas dengan merek multinasional yang sudah ada. Layanan purnajualnya pun diklaim lebih baik. Tidak jarang di antara mereka “mengiming-imingi” konsumen dengan siap mengganti baru apabila terjadi kerusakan atau keterlambatan proses perbaikannya.

Satu contoh ponsel merek lokal yaitu ViTell, produk yang diluncurkan oleh PT Lintas Cakrawala Persada pada awal tahun ini. ViTell memosisikan diri sebagai merek menengah ke atas (middle-high) dengan harga middle. Dan, ViTell menyatakan dirinya expert in dual mode.

Saat ini ponsel merek ViTell dapat dijumpai di outlet-outlet dengan tipe antara lain DG-V788, DG-V888, DG-V988, DG-V TV88, DG-V100. “Semua ponsel kami memiliki fitur GSM-CDMA dan GSM-GSM. Selain dilengkapi TV tuner, ViTell memiliki keunikan, yaitu double bluetooth,” ujar Zenko Gunawan, Presiden Direktur PT Lintas Cakrawala Persada.

Karena memosisikan diri sebagai ponsel kelas menengah ke atas, Zenko menyatakan bahwa pengeluaran terbesar berada di customer care. Pasalnya, setiap pengguna ViTell akan mendapatkan layanan secara excellent di 22 service center Garansi Seluler Indonesia (Garsindo). Bahkan, ponsel yang melebihi 14 hari masa perbaikan akan diganti dengan yang baru.

“Saat ini kami membangun citra merek terlebih dahulu, menyosialisasikan layanan purnajual, menggerakkan dealer-dealer pasar tradisional, dan melakukan komunikasi merek,” lanjut Zenko seraya menyebutkan anggaran komunikasinya sebesar Rp 30 miliar setahun.

Merek lokal lain adalah HiTech Mobile. Merek yang muncul di pasaran sejak Agustus 2007 lalu itu diklaim sebagai pionir di TV phone. Di bawah bendera PT Tirta Citra Nusantara, HiTech menawarkan tiga tipe ponsel (H38, H382, dan H39) yang mengandalkan fitur TV tuner-nya.

Menurut Kusuma Ruslan, Chief Marketing Officer PT Tirta Citra Nusantara, walaupun HiTech merupakan merek nasional tetapi produknya bertaraf internasional. “HiTech memiliki keunggulan jika dibandingkan dengan merek lain. Dan, HiTech mampu bersaing dengan merek internasional,” tuturnya.

Dalam menciptakan inovasi produk, tandas Kusuma, merek internasional selalu dipikirkan secara global. Itulah yang menjadi kesempatan bagi HiTech untuk merebut pangsa pasar dengan mengeluarkan inovasi produk phone TV tuner. Secara konsisten HiTech merilis inovasi itu yang diperkuat dengan tagline “Handphone gua udah ada TV-nya. Handphone lo?”.

Sama seperti ViTell, HiTech disasarkan untuk segmen menengah ke atas dengan harga Rp 1-2 juta. Untuk memperlancar distribusi dan layanan purnajual, HiTech menggandeng PT Dian Graha Elektrika, distributor ponsel yang sudah memiliki banyak cabang di Tanah Air.

HiTech juga menyediakan customer care online dengan membangun komunitas. Merek tersebut juga dikomunikasikan melalui iklan-iklan di media cetak dan elektronik, billboard, dan lain sebagainya dengan endorser Mario Lawalata. Uniknya, HiTech menggandeng tim bola basket Biangbola Aliansi untuk menggarap penggemar olahraga.

Sementara, kehadiran ponsel merek MyG sejak Januari lalu dilatarbelakangi oleh merebaknya fenomena TV tuner di dalam negeri. Tidak hanya TV tuner, MyG juga mengandalkan kelengkapan fitur multimedia. Walau sekadar fitur, penerimaan pasar memberikan harapan bisnis bagi MyG.

Agus Salim, Direktur Utama MyG Mobile, menegaskan, meski fitur yang ditanam di ponsel begitu lengkap, mereknya disasarkan untuk kelas menengah ke bawah. Menurutnya, kelas tersebut memiliki porsi terbesar sehingga peluangnya terbuka lebar. Target market yang dibidik pun lebih ke arah remaja dengan rata-rata usia 15-30 tahun.

Adapun ketiga seri MyG pertama yang diluncurkan adalah MyG 889, MyG 638, dan MyG 800 dengan banderol harga Rp 1,5-2,2 jutaan. “Promosi awal yang kami lakukan adalah dengan turun langsung ke pasar. Kami menjelaskan seperti apa MyG itu dan menawarkannya,” kata Awit, Marketing Manager MyG.

Selain itu, strategi yang dilakukan adalah menempatkan sales promotion girl (SPG) di beberapa mal di Jabodetabek dan kota-kota besar lainnya untuk mempromosikan merek MyG. Promo langsung juga dilakukan, seperti memberikan hadiah langsung sarung ponsel atau jam dinding berlogo MyG, dengan harapan bisa meningkatkan brand image MyG.

Untuk mempercepat penetrasi pasar, MyG menunjuk Chelsea Olivia Wijaya sebagai ikonnya selama satu tahun. MyG juga memasang iklan di media cetak maupun elektronik, juga berpromosi dengan cara melakukan pameran. Kini, dalam sebulan, MyG melakukan pameran dua kali, dan akan melakukan road show ke beberapa daerah.

Satu lagi adalah merek StarTech. Merek yang diluncurkan pada pertengahan Desember 2007 lalu ini begitu mendengung-dengungkan keunggulan desainnya. “Desain produk kami yang tidak ada di merek lain,” tegas Untung BW, General Manager Marketing StarTech Mobile Indonesia.

Akan tetapi, meski telah meluncurkan seri ST21, ST67, ST57, dan ST88 dengan banderol harga Rp 199.000-Rp 1,9 juta per unit, Untung mengaku belum menentukan positioning dari StarTech. “Ke depan akan diarahkan ke gaya hidup,” jelasnya yang kemudian menyebut segmen yang bidik StarTech adalah kelas A, B, C, dan D.

Sejak diluncurkan, Untung mengaku, ponsel StarTech mendapat respons pasar dengan baik. Itu berkat strategi yang diterapkannya, antara lain dengan menggandeng band baru Frezia sebagai ikon; gaya peluncuran produk yang melibatkan 10 artis terkenal seperti Melly Goeslaw, Putri Patricia, Olga Lidya, Tamara Geraldine, Melanie Putria, Anya Dwinov, dan lain-lain.

“Artis saja mau menggunakan ponsel StarTech, kenapa masyarakat tidak? Dengan begitu, kami berharap terjadi promosi secara word of mouth. Begitu pula dengan Frezia, StarTech adalah satu-satunya merek ponsel lokal yang menggunakan ikon grup band. Ini merupakan terobosan,” tandas Untung bersemangat.

Dalam upaya mempromosikan StarTech, pemilik merek juga melakukan aktivitas above the line dan below the line serta road show ke seluruh Indonesia. Untuk distribusi dan layanan purnajualnya, StarTech juga dipercayakan kepada PT Dian Graha Elektrika. “Kami juga akan mengeluarkan produk TV phone menyusul dual mode GSM-GSM dan GSM-CDMA,” demikian Untung merencanakan.

Menjadi Komoditas
Menanggapi maraknya peluncuran ponsel merek lokal, pengamat pemasaran Roy Goni menyatakan, fenomena pasar yang dibanjiri dengan barang-barang tanpa fitur menonjol (me-too product) membuat produk-produk tersebut menjadi komoditas. Akhirnya, mereka terjebak pada perang harga (price war).

“Fenomena seperti ini tidak akan menghasilkan pemenang. Dalam kenyataannya, mereka akan lebih mengandalkan harga, dan kebanyakan dari mereka menerapkan strategi jangka pendek daripada jangka panjang,” terang Roy menanggapi.

Lebih lanjut, Roy berpendapat, meskipun ponsel-ponsel merek lokal mengaku menyasar segmen menengah ke atas, faktanya merek-merek tersebut cenderung lebih diterima di segmen menengah ke bawah, terutama pasar yang selama ini belum pernah memiliki ponsel (new market).

“Untuk merebut market share dari merek-merek multinasional, jelas tidak mudah. Kalau banyak fitur, ya, tidak bisa. Intinya mereka harus fokus,” imbuh Roy mengakhiri.
Dan yang pasti, ponsel merek lokal tidak hanya HiTech, ViTell, StarTech, dan MyG saja. Di antara empat merek itu masih banyak merek lokal lain yang belum disebutkan, seperti Nexian, D-One, Beyond, VirtuV, Lotus, Mito, Taxco, Micxon, dan lain-lain. Oleh sebab itu, tidak salah jika kini disebut masa bangkitnya merek lokal, walau mayoritas produksinya dilakukan di China (maklon).

Purjono Agus S.
Liputan: Fisamawati
Majalah MARKETING

Read More......